MEKKAH (voa-islam.com)--Jamaah haji Indonesia yang tercatat di Kementrian Agama RI pada tahun ini berjumlah 231 ribu orang. Rinciannya adalah 214 ribu jamaah reguler dan 17 ribu jamaah haji khusus.
Bagi para pedagang, jumlah tersebut menjadi peluang besar untuk meraup keuntungan.
Di wilayah sekitar Masjidil Haram, mulai Misfalah, Mahbas Jin, Jarwal, Syisyah, Raudhah, hingga Rea Bakhsy, banyak berjejer kios bertuliskan "Toko Indonesia", meskipun tidak semua barang asal Indonesia yang dijual disini.
Bukan hanya produk Indonesia yang dijual, tetapi para pelayan pun bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Hal ini memudahkan komunikasi saat transaksi berlangsung. Para pelayan rata-rata adalah orang Bangladesh. Saking seringnya komunikasi dengan orang Indonesia, mereka lama kelamaan bisa berbahasa Indonesia.
Diantara produk yang wajib ada di "Toko Indonesia" ini, adalah Indomie. Makanan ini banyak dicari oleh jamaah haji Indonesia. Dengan kemasan praktis berbentuk gelas, tinggal seduh dengan air panas, langsung bisa disantap. Harganya 3 riyal.
Selain toko-toko yang berjejer, banyak didapati pula pedagang kaki lima dadakan. Mereka menggelar lapak di depan hotel-hotel Indonesia.
Para pedagang ini biasanya menjajakan barang dagangannya mulai sebelum subuh, hingga sholat subuh selesai, dan berakhir pukul 7.30 WAS. Barang yang dijual mulai pakaian, mushaf Al Quran, hingga makanan, seperti nasi kuning dan nasi uduk.
Suasana pagi hari di depan hotel yang dihuni jamaah haji Indonesia berlangsung meriah, terutama setelah shalat Subuh.
Ramai suara pedagang terdengar hingga beberapa meter. Betul-betul mirip seperti pasar yang ada di tanah air. Hal ini terlihat di sepanjang wilayah Misfalah.
Jamaah haji yang baru selesai menunaikan shalat Subuh di Masjidil Haram, biasanya langsung pulang ke hotel dan memanfaatkan waktu pagi untuk beli sarapan serta belanja oleh-oleh.
"Murah.. Murah.., 15 riyal dapat 2," kata salah satu pedagang baju di depan hotel Rizq Palace, Misfalah, Mekkah pada Ahad (28/7/2019).
Harga barang yang dijual disini tergolong murah. Tidak seperti yang dijual di toko. Meskipun kualitasnya memang berbeda.
Para pedagang didominasi oleh anak-anak Burma (Rohingya). Mereka lahir di Mekkah, dalam keadaan sebagai pengungsi, mengikuti kedua orang tuanya. Selain itu, ada juga sebagian mukimin WNI yang turut berjualan makanan.
Omset pedagang musiman ini menggiurkan. Perhari, pedagang bisa meraih keuntungan hingga ratusan riyal.
Hasyim, salah satu pedagang makanan yang saya temui, mendapat keuntungan dari jualannya mencapai ratusan riyal. Kalau dinilai dengan rupiah bisa jutaan.
"Paling banyak sih dapat 500 riyal," kata dia.
Satu-satunya yang ditakuti oleh para pedagang ini adalah Baladiyah, sebutan untuk polisi yang berwenang untuk menertibkan pedagang. Kalau di negeri kita seperti Satpol PP.
Saat Baladiyah ini datang, mereka berhamburan lari meninggalkan dagangannya. Ketika sudah menjauh, para pedagang ini biasanya akan kembali lagi. Demikian terus berulang hampir setiap hari.
Hukuman terberat bagi pedagang yang tertangkap Baladiyah adalah deportasi. Kalau anak-anak Rohingya ya tidak mungkin di deportasi, lha wong mereka gak punya negara.*
Sumber: Facebook Budi Marta Saudin, petugas haji Indonesia 2019