JAKARTA (voa-islam.com)—Usulan ekspor ganja Aceh untuk bahan baku kebutuhan medis dan turunannya menuai polemik. Wacana ini sempat disampaikan oleh politikus PKS Rafly dalam rapat Komisi VI DPR dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis, 30 Januari 2020 lalu.
Ekspor ganja ini diusulkan akan diatur dalam regulasi dan dikawal oleh negara sehingga menjadi pendapatan negara dan tentunya berdampak ekonomi kepada petani dan pengusaha.
Wacana ekspor ganja ini ditanggapi oleh Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis). Melalui Ketua Bidang Garapan Ekonomi dan Keuangan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Latief Awaludin disebutkan bahwa ganji lebih banyak mudaratanya daripada manfaatnya.
Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuan. Daun ganja bila diolah sedemikian rupa menjadi lintingan rokok, dibakar lalu asapnya dihirup, akan menimbulkan iskar (mabuk).
Latief mengungkapkan dalam prespektif hukum Islam secara substansi ganja dewasa ini cenderung dijadikan bahan yang bisa mengarahkan kepada kemungkaran yakni memabukkan dan merusak akal sehingga statusnya sama dengan khamr. Adanya unsur manfaat penggunaan ganja untuk dewasa ini sulit dikendalikan karena penggunaannya sudah menjadi zat adaptif yang membahayakan.
"Status hukum ganja sebelumnya difatwakan boleh (halal) oleh sebagian para ulama karena sudah menjadi budaya Aceh dimanfaatkan sebagai bumbu masakan, namun kondisi dewasa ini berubah,” ungkap Latief seperti dikutip dari laman Persis.or.id, Ahad (2/2/2020).
Doktor Ekonomi Islam itu juga menerangkan dalam kaidah para ulama ushul, hukum berubah karena perubahan kondisi, kebiasaan dan kemaslahatan. "Faktanya hari ini penggunaan ganja untuk kemungkaran di tengah rusaknya moral manusia dan tentu dampaknya merusak generasi muda,” tanda Latief.
“Dalam menghukumi sesuatu, hendaknya harus mengutamakan sisi madharat (bahaya/negatifnya) dari pada sisi manfaat (positif),” terang Latief.
Soal bakal membawa manfaat pemasukan bagi negara jika ganja diekspor, Latief membantahnya. Justru hal ini bertentangan dengan hukum, ekonomi, sosial dan politik.
"Cukup jelas, selain diharamkan secara syariat, dalam hukum positif ganja tidak dapat dilegalkan di Indonesia karena akan bertentangan dengan UN Single Convention 1961 dan UN Convention 1988 tentang narkotika dan obat-obat terlarang" tambahnya.
Latief menegaskan, bahwa dalam konvensi tersebut disebutkan segala perbuatan yang menyangkut masalah ganja adalah sebuah tindak pidana yang harus dikenakan hukuman yang setimpal dengan hukuman penjara. Ketentuan-ketentuan dari kedua konvensi tersebut telah diratifikasi dan diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baik mengenai penggolongan ganja dalam narkotika golongan I maupun ketentuan pidana yang cukup berat.* [Syaf/voa-islam.com]