JAKARTA (voa-islam.com)--Minggu (23/2/2020) Aliansi Cerahkan Negeri menyelenggarakan diskusi terbuka dengan tema “Nanti Kita Cerita Tentang Ketahanan Keluarga”, diskusi terbuka ini mengundang Fatimah Azzahra Hanifah, Alumnus FH UI tahun 2015 sebagai pemateri dan Mira Fajri, Direktur Lembaga Kajian Hukum KAMMI (LKHK) sebagai moderator. Fatimah memulai diskusi terbuka tersebut dengan sebuah gagasan “RUU Ketahanan Keluarga Sebagai Solusi Ketahanan Bangsa”
“Sebenarnya sebelum isu mengenai RUU Ketahanan Keluarga ini booming sudah ada beberapa daerah yang menerapkan konsep ketahanan keluarga ini dalam suatu perundang-undangan di level peraturan daerah, di antaranya DI Yogyakarta, Depok dan Deli Serdang,” ungkap perempuan yang pernah menjadi asisten peneliti yang membahas evaluasi pelaksanaan peraturan daerah tentang ketahanan keluarga tersebut.
“Setiap daerah ini memiliki ciri khasnya masing-masing, misalnya Depok yang berorientasi pada anak, Depok menganggap keramahan suatu kota terhadap anak dibentuk dari keluarga yang mendukung perkembangan anak,” lanjutnya.
“Saya memberikan judul pembahasan RUU Ketahanan Keluarga Sebagai Solusi Ketahanan Bangsa karena hal ini dapat kita baca dengan jelas dalam naskah akademik RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK). Dalam naskah akademiknya RUU KK menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan filosofis. Kemudian landasan sosiologis yang berdasarkan pada sosiologi bangsa Indonesia dan yang terakhir adalah landasan yuridis” jelas Fatimah.
Fatimah menjelaskan yang membuat RUU Ketahanan Keluarga relevan untuk Indonesia adalah RUU tersebut tidak berdasarkan pada konvensi internasional yang diratifikasi kemudian diadopsi dalam bentuk rancangan undang-undang, RUU hasil adopsi konvensi internasional biasanya melewatkan aspek sosiologis bangsa seperti undang-undang HAM yang merupakan hasil konvensi DUHAM dan UU PKDRT yang merupakan hasil konvensi anti domestic violence. Bahkan yang mendasari RUU KK adalah daerah-daerah yang sudah terlebih dahulu menerapkan konsep ketahanan keluarga dalam peraturan daerah.
Dalam landasan yuridis, Fatimah menambahkan, ternyata Indonesia sudah memiliki konsep ketahanan keluarga yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang berbunyi “Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil dan psikis-mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.”
Siang itu Fatimah juga menjelaskan mengapa ketahanan keluarga dapat berpengaruh kepada ketahanan bangsa, “Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, jadi jika negara concern dalam menjadikan unit terkecil tersebut baik, maka akan menghasilkan negara yang baik juga.”
“Di naskah akademik juga tertulis bahwa keluarga itu melindungi, membentuk, membesarkan, dan memperkuat individu sejak dalam kandungan hingga menjadi dewasa. Hal ini juga diterapkan pada pola pengasuhan yang ada dalam keluarga, karena setiap orang dalam keluarga adalah unit dari keluarga maka pola pengasuhan akan berdampak pada setiap anggota keluarga. Mengingat setiap orang dalam keluarga adalah unit terkecil dari setiap keluarga, maka pola pengasuhan tersebut akan berdampak pada dan memberikan peran penting dalam sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, pengasuhan yang berkualitas memiliki efek jangka panjang dalam ketahanan keluarga, terhadap sistem sosial masyarakat dan akhirnya terhadap ketahanan bangsa,” lanjutnya.
Fatimah juga menanggapi kritik bahwa RUU KK akan memicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga dengan membandingkan perspektif feminisme dan perspektif ketahanan keluarga dalam memandang kekerasan dalam rumah tangga, “Dalam suatu jurnal tentang domestic violence, feminis mengklaim berjasa dalam mengangkat isu kekerasan dalam rumah tangga ke ranah publik setelah sebelumnya isu ini dianggap tabu. Namun secara umum, semangat feminisme dalam mengangkat isu ini adalah semangat kebencian kepada laki-laki. Feminis menganggap kekerasan dalam rumah tangga itu utamanya ada karena kejahatan laki-laki. Bahkan mereka nge-frame bahwa pernikahan adalah tipu daya laki-laki. Mereka merasa bahwa institusi perkawinan dan keluarga adalah tipu daya lelaki untuk bisa memanfaatkan dan menindas perempuan.”
“Dalam perspektif feminis, kata cinta seperti dalam RUU KK itu dipandang sebagai salah satu sumber masalah kekerasan dalam rumah tangga. Feminis menganggap kekerasan dalam rumah tangga ini adalah sebuah siklus. Jadi kenapa ada kekerasan dalam rumah tangga? Karena laki-laki menindas perempuan. Kenapa perempuan mau saja ditindas? Karena mereka cinta pada lelaki tersebut. Jadi menurut feminis, walaupun perempuan mengalami kekerasan tapi mereka cinta jadi ya mereka nerima-nerima aja. Itulah yang menyebabkan satu siklus kekerasan yang tidak ada ujungnya,” ungkap perempuan yang terlibat dalam penyusunan buku “Keluarga Bahagia, Keluarga Bebas KDRT” tersebut.
“Padahal kalau kita mau adil dalam memandang dan tidak menyalahkan satu pihak yaitu suami saja, sebenarnya yang menjadi masalah dalam kekerasan rumah tangga adalah tidak adanya pengetahuan yang mapan mengenai apa itu harmonis dalam keluarga. Sebenarnya harmonis itu tidak hanya suami memimpin dan istri taat, tapi mereka sama-sama mengetahui peran, hak dan kewajiban mereka masing-masing dalam rumah tangga,” jelas Fatimah saat menerangkan tentang kesalahan sudut pandang feminis dalam melihat kekerasan dalam rumah tangga.
Fatimah juga menjelaskan bahwa ia merasa kritik terhadap kewajiban istri dalam mengatur rumah tangga di RUU tersebut kurang tepat karena menurutnya itu hanya sudut pandang dari satu pasal tentang kewajiban istri saja, sedangkan di RUU tersebut juga dijelaskan kewajiban suami.
"Iya, jadi harmonis itu kan gak saklek tapi saling melengkapi dengan saling melakukan kewajiban masing-masing dan memenuhi hak pasangan. Hal itu lah yang coba diterapkan oleh RUU Ketahanan Keluarga,” lanjutnya.
"Dan yang menjadikan kita tidak perlu khawatir dengan RUU Ketahanan Keluarga ini adalah Bab tentang Sanksi. Kalau tadi kan banyak netizen yang mengira kalau di dalam rumah tangga tidak ada cinta ia akan langsung dipidana. Padahal dalam bab sanksi ini yang dituntut untuk mendapatkan hukuman adalah pendonor sperma dan perempuan yang melakukan surogasi (sewa rahim). Hukum itu tidak melulu akan menimbulkan sanksi pidana kalau dilanggar. Selain itu yang menjadi utama dari suatu undang-undang adalah norma apa yang sebenarnya ingin diperkenalkan dalam undang-undang itu. Hukum itu tidak selalu untuk menindak suatu kejahatan tapi juga mematenkan suatu norma ke dalam undang-undang.” jelas Fatimah mengakhiri materinya.
Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta, Iza dari ITJ Jakarta menanyakan seberapa besar kemungkinan RUU ini menyentuh ranah privat dan menjadikan pemerintah otoriter karena yang diatur adalah unit terkecil dalam tatanan masyarakat. Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Fatimah, “Sebenernya kalau mengatur hal yang privasi mungkin iya, tapi itu bukan hal yang baru. Karena kalau kita lihat dalam dalam undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di tahun 1974, sebenarnya perkawinan itu adalah hal privat. Bahkan undang-undang PKDRT di tahun 2004 itu lebih privat lagi,”
“Justru mereka sejak tahun 2004, kalau kita membaca CATAHU 2018 dan CATAHU 2019, Komnas Perempuan banyak mengapresiasi hasil kinerja dari UU PKDRT. Jadi menurut mereka dengan adanya undang-undang ini domestic violence jadi lebih bisa terungkap dan orang-orang jadi lebih bisa menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah domestic violence. Meski kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat, mereka frame hal tersebut sebagai suatu capaian. Capaian bahwa perempuan sadar bahwa mereka ditindas,” ungkap Fatimah.
“Bahkan sebenarnya orang-orang yang bilang bahwa RUU ini melanggar privasi itu sangat bertentangan dengan kultur Indonesia yang guyub dan peduli satu sama lain. Seperti mau memasukkan asas individualistik di Barat dalam negara kita yang gotong royong dan pluralistik ini,” bantah Fatimah terhadap kritik bahwa RUU KK melanggar privasi.
Moderator diskusi siang itu, Mira Fajri menambahkan bahwa secara inti sudah jelas bahwa RUU KK bertujuan untuk memperbaiki generasi untuk mencegah terjadinya kejahatan di ranah keluarga dan lahir dari dorongan sosiologis yang kuat. Ia juga tidak sepakat dengan kritik bahwa RUU ini dapat menjadikan pemerintah otoriter, “Soalnya kalau di dalam rancangan undang-undang ini kita bisa lihat justru pemerintah pusat dan pemerintah daerah didorong untuk menyediakan dan menyelenggarakan kesejahteraan langsung pada keluarga lewat Rencana Ketahanan Keluarga. Jadi kalau misalnya kalau ada isu tentang bagaimana dengan masyarakat pra sejahtera yang gak bisa afford rumah yang kamarnya cukup untuk anak-anaknya, jawabannya adalah justru dalam rancangan undang-undang ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah disuruh untuk menyediakan fasilitas itu untuk menyejahterakan keluarga,”
“Jadi kalau misalkan negara selama ini memikirkan soal diskursus immaterial tentang gimana caranya untuk menambah kuota pembelanjaan negara untuk pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Justru di RUU Ketahanan Keluarga ini dari aspek ekonomi pemerintah didorong untuk menyelenggarakan kesejahteraan langsung secara materiil ke masyarakatnya langsung,” pungkas Mira.* [Ril/Syaf/voa-islam.com]