BANDUNG (voa-islam.com) - Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persatuan Islam Garut, Nashruddin Syarief mengkritisi pendapat dari kalangan pemikir Muslim, Nasr Hamid Abu Zaid dan Mohammed Arkoun terkait Al-Qur’an, pada perkuliahan yang diselenggarakan oleh Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung di Gedung PPPPTK IPA Bandung pada Kamis (12/03/2020).
Nashruddin menyangkal pendapat Abu Zaid dan Arkoun yang menilai Al-Qur’an harus dimengerti secara hermeneutis, yakni menimbang aspek budaya, sosial, biologis, dan aspek lain yang melingkupi ayat tersebut.
“Al-Qur’an harus didekati dengan tafsir, bukan hermeneutika,” tegas Nashruddin menanggapi pandangan tersebut.
Menurut pandangan hermeneutika, jelas Nashruddin, yang disebut wahyu adalah ilhamnya saja, yakni keadilan, kesetaraan, kebijaksanaan, dan lain-lain. Kemudian ditransmisikan ke dalam bahasa manusia dan mengalami modifikasi, revisi dan substitusi. Sehingga lanjut Nashruddin, begitu wahyu ilahi telah membumi maka tidak bisa mengelak untuk diperlakukan secara hermeneutis.
“Al-Qur’an itu tanzil, diturunkan langsung,” lanjut Nashruddin.
Ia menerangkan, bahwa Al-Qur’an berbeda dengan Injil yang biasa dikaji dengan hermeneutika. Sebab Al-Qur’an itu diturunkan langsung secara utuh sejak dari langit sampai ia diturunkan.
Memperkuat pemaparannya, pendiri situs pemikiran-islam.net ini mengutip pendapat Quraish Shihab yang memaparkan kesepakatan ulama Islam, tentang semua teks Al-Qur’an yang otentik, benar, pada tempatnya dan tidak berubah sedikitpun (seragam) dengan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.
“Keseragaman inilah, yang menjadi bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu,” tambah Nashruddin.
Mematahkan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah karya manusia, Nashruddin mengutip pendapat Wan Mohd Nor Wan Daud yang menyatakan bahwa tidak adanya satu pun manusia yang bisa membuat karya tandingan untuk Al-Qur’an, merupakan bukti bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang tidak dapat ditiru oleh manusia.
“Karenanya, sampai di sini sangat jelas bahwa Al-Qur’an adalah metahistoris yang tidak terikat sejarah, ruang dan waktu. Maka kaidah seorang muslim untuk menanggapi hermeneutika ini adalah dengan sami’na wa ashoyna (kami mendengar, dan kami tidak mentaati),” tandas Nashruddin.
Syamila Karunia, salah seorang peserta turut berpendapat tentang hermeneutika. Menurutnya hermeneutika itu merupakan studi kritis untuk karya sastra bukan untuk tafsir Al-Qur’an.
“Hermeneutika ini banyak diikuti oleh umat muslim, yang salahnya diterapkan ke objek yang bukan seharusnya. Seperti mengupas buah semangka tapi pakai kapak, jelas bukan alatnya. Hermeneutika ini merupakan studi kritis untuk karya sastra yang jelas buatan manusia. Sedangkan Qur’an merupakan wahyu dari Tuhan, yang tidak akan pas jika dikaji dengan hermeneutika,” terang Syamila. [syahid/maya/voa-islam.com]