View Full Version
Senin, 06 Apr 2020

Sejak Awal Penguasa Dinilai Masa Bodoh Tanggapi Corona

DEPOK (voa-islam.com)--Di hadapan sekitar 166 peserta online, Ketua Tim Penanggulangan Kanker Terpadu Paripurna (PKTP) Kecamatan Bojongsari, Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Kota Depok, dr Prastuti Waraharini, mengungkapkan penguasa negeri ini masa bodoh tangani pandemi Covid-19.

“Penguasa negeri ini bersikap masa bodoh dengan permasalahan besar yang terjadi di dunia,” ungkap Pemerhati Masalah Remaja dan Umat dalam acara MTR online, Ngobrol Seru Online: Covid-19 Pendemi yang Menghantui Dunia, Bagaimana Islam Menjawabnya, Ahad, (5/4/2020), via online WhatsApp grup. 

“Kita melihat satu kondisi sangat miris. Sejak awal sebelum wabah ini muncul kasusnya di Indonesia, penguasa menjadikan wabah ini seperti candaan, takabur, sombong. Tidak terhitung berapa banyak lontaran-lontaran dari penguasa yang mengatakan Indonesia aman, kita kebal, tak akan masuk Indonesia. Padahal, dalam ilmu kebijakan publik gestur penguasa itu sudah menunjukkan relasi dengan kebijakan sesungguhnya yang diambil,” bebernya.

Alumni FKUI tahun 2006 ini pun menegaskan bahwa negara hanya beretorika soal prioritas keselamatan rakyat, namun kebijakannya nyata tidak memberi jaminan. Hal ini bisa dilihat dari perhitungan materi yang masih menjadi pertimbangan dominan pengambilan keputusannya, sehingga tidak melakukan travel ban/larangan bepergian dan lockdown/isolasi. Kemudian, lamban dalam penanganan setelah kasus pertama muncul (identifikasi, isolasi, melacak kontak dan karantina). 

“Yang lebih miris lagi, ibaratnya ilmu perang, tenaga medis sebagai garda terdepan pun tidak mendapat perhatian memadai dari penguasa (APD kurang, stigmatisasi, kelelahan). Sampai hari ini puluhan tenaga medis gugur dalam perang melawan Covid-19. Ketika kasus ini sudah banyak, angka kejadiannya cukup tinggi, seharusnya lockdown itu diperlukan. Upaya agar tidak terjadi perluasan pandemi itu setengah-setengah dilakukan pemerintah. Pertimbangan penguasa selalu implikasinya masalah ekonomi. Karena lockdown ini ekstrim, otomatis akan menghentikan laju perekonomian. Itu artinya penguasa punya konsekuensi yang berat memjamin pasokan suplai kebutuhan pokok ke masyarakat,” ujarnya. 

“Yang terbaru diberlakukan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pada 30 Maret 2020, mendorong orang untuk melakukan karantina mandiri atau social distancing mandiri. Artinya tidak ada kewajiban penguasa untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Pemerintah tidak mau rugi!!” bebernya. 

“Memburuknya implikasi pandemi yang terjadi di Indonesia adalah dampak dari pola pikir dan kebijakan liberal penguasa yang kapitalistik orientasinya pada ekonomi dan materialistik. Semua diukur dari materi, bukan pada pelayanan/kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

 

Penanganan Pandemi dalam Islam

Dr Prastuti pun mengungkapkan bagaimana penguasa dalam sistem Islam menangani pandemi ini. “Penguasa, prioritas perhatiannya terhadap keselamatan rakyat nomor satu dan mandiri dalam pengambilan keputusan. Sehingga akan melakukan lockdown dengan mengerahkan seluruh sumber daya dan potensi negara dan umat. Adanya optimasi kemampuan negara lockdown, optimasi peran sumber daya manusia (tenaga kesehatan, relawan, tokoh umat dan lainnya), sumber daya ekonomi dan pengembangan sains teknologi.”

“Penguasa memastikan suplai kebutuhan vital pada wilayah yang diisolasi. Membiayai aktivitas edukasi dan promosi hidup sehat pada masyarakat di luar wilayah pusat penyakit. Bahkan, penguasa melarang praktik ihtikar (penimbunan) pada barang apa pun, baik sembako, masker, hand sanitizer dan lainnya. Jika terbukti melanggar, pelaku akan diberi sanksi,” ungkapnya. 

“Ketika negara sudah menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, maka akan melahirkan sikap rakyat yang tawakkal dan rakyat tidak panik karena hak mereka pasti dipenuhi. Mereka akan tenang mengikuti mekanisme, karena sistem Islam sifatnya, rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta,” pungkasnya.* [Siti Aisyah/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version