View Full Version
Rabu, 15 Jul 2020

Direktur LPPOM MUI Jelaskan Biaya Sertifikasi Halal

JAKARTA (voa-islam.com)—Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim memberi penjelasan terkait pertanyaan masyarakat soal biaya sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI melalui LPPOM MUI.

Lukmanul menceritakan awal mula pemerintah menugaskan MUI urus sertifikasi halal. Sertifikasi halal oleh MUI, jelas Lukmanul, bermula pada kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988. MUI diberi tugas untuk meredakan kasus lemak babi tersebut.

“Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom yakni  Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989. Tugas utama LPPOM MUI adalah melakukan pemeriksaan kehalalan produk,” ungkap Lukmanul dalam keterangannya, Rabu (15/7/2020).

Mengingat LPPOM MUI adalah bukan instansi atau lembaga pemerintah, lanjut Lukmanul, maka dalam menjalankan amanah melakukan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Sementara dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai lembaga pemeriksa halal, utamanya untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), LPPOM MUI kerap menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan.

“Seperti halnya lembaga sertifikasi lain, misalnya sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya LPPOM MUI memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal, dengan besaran dan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad, jadi bersifat sukarela,” jelas Lukmanul.

Kemudian, untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.

Dijelaskan Lukmanul, biaya sertifikasi halal LPPOM MUI meliputi antara lain biaya pendaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal.

“Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Online LPPOM MUI (Cerol SS 23000),” kata Lukmanul.

Lebih lanjut Lukmanul menjelaskan, basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk. Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai (misalnya cukai minuman, rokok, dan sejenisnya).

Sebagai ilustrasi, hingga Juni 2020 LPPOM MUI telah mengeluarkan sebanyak 2.662 Sertifikat Halal bagi 2.180 perusahaan, dengan jumlah produk mencapai 125.703 produk. Artinya, biaya sertifikasi halal yang diterima oleh LPPOM MUI adalah berasal dari 2.662  sertifikat halal, bukan dari 125.703 produk.

Sebagai lembaga halal, kinerja LPPOM MUI telah diakui secara nasional maupun internasional. LPPOM MUI telah mendapatkan sertifikat ISO 17065 untuk kategori Lembaga sertifikasi halal dari Badan Sertifikasi Nasional (BSN).

Melalui sertifikasi tersebut LPPOM MUI dapat beroperasi sebagai lembaga sertifikasi sesuai standar internasional, termasuk keberterimaan produk yang disertifikasi LPPOM MUI ke negara-negara yang mengimplementasikan acuan standar yang sama. 

Begitu juga Laboratorium Halal LPPOM MUI yang memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) berupa sertifikat ISO 17025.  Sistem Jaminan Halal (SJH) LPPOM MUI telah diadopsi dan menjadi rujukan oleh lembaga-lembaga halal di sejumlah negara.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), selama 30 tahun terakhir proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela oleh pihak perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan memenuhi tuntutan konsumen muslim yang menghendaki produk yang terjamin halal.

Lukman menegaskan proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela dan pendaftarannya dilakukan secara online dan transparan serta dituangkan dalam bentuk akad yang ditandatangani oleh pihak perusahaan.

“Maka  tuduhan dan anggapan akan adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal adalah  fitnah dan merupakan pencemaran nama baik MUI maupun LPPOM MUI sebagai lembaga yang secara sah diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Lukmanul.* [Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version