BOGOR (voa-islam.com)—Anggota Badan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) KH Prof Didin Hafidhuddin mengatakan, sikap juru dakwah maupun ormas Islam terhadap penguasa harus bersifat relatif. Hal ini juga berlaku untuk Dewan Dakwah.
Artinya, jelas Kyai Didin, ketika penguasa atau pemerintah sejalan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditaati.
“Ketika ulil amri melaksanakan perintah Allah dan Rasul, melaksanakan manfaat untuk masyarakat sesuai dengan ketentuan Islam, maka kita harus mendukungnya,” jelas Kyai Didin ketika ditemui di Masjid Al Hijri 2, Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/9/2020).
Tetapi ketika pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, merusak bangsa dan negara, tidak mensejahterakan bahkan memiskinkan masyarakat dan bangsa maka wajib menolaknya , mengoreksinya, memperbaikinya dengan cara-cara yang baik.
Relasi dakwah dengan kekuasaan telah diteladankan Dr M Natsir, pendiri Dewan Dakwah.
Dalam buku berjudul Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) susunan tim Tempo, tersaji bagaimana high-politics diperankan Natsir dalam konteks hubungan dakwah dan penguasa.
“Prinsip hubungan adalah tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Khalik, kepada Allah,” tegas Kyai Didin.
Menurut Kyai Didin mengoreksi kekeliruan penguasa adalah bagian dari dakwah. Jadi dalam membangun hubungan dengan penguasa harus berdasar nilai.
“Yang mendekatkan itu nilainya. Bukan kedekatan-kedekatan yang lain. Ketika kebijakannya merugikan kepentingan Islam, tentu kita harus memperbaiki, mengoreksi. Di situlah kepentingan amar ma’ruf nahi munkar,” demikian Kyai Didin.* [Syaf/voa-islam.com]