View Full Version
Rabu, 14 Oct 2020

Sekolah Pemikiran Islam Bahas Kerancuan Definisi Pluralisme

BANDUNG (voa-islam.com) – Kuliah pekan ke-16 Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung Angkatan VI kembali digelar secara daring pada Kamis malam (08/10/2020) dengan pembicara Akmal Sjafril.

Tema pertemuan kali ini tentang pluralisme dan fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) atasnya.

“Sebenarnya, pluralisme bisa menyangkut banyak hal, dari suku hingga nilai, tapi khusus di Indonesia, kata pluralisme umumnya merujuk pada pluralisme agama,” terang Akmal. 

Pria berdarah Minang itu kemudian membahas kerancuan definisi pluralisme beserta tren-trennya.“Definisi pluralisme sendiri tidak jelas di kalangan pengusungnya, khususnya di Indonesia, bahkan pengertian mereka bisa saling bertentangan, hanya mencomot-comot sesuai narasi yang ingin mereka kembangkan saja,” jelas penulis buku Islam Liberal 101 itu.

“Karena itu, kajian tentang pluralisme dapat menggunakan alat bantu dengan menggolongkannya ke dalam beberapa tren,” tambahnya.

Kemudian Akmal menerangkan lima tren pluralisme yang berkembang, baik di dunia maupun Indonesia, meliputi humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi atau filsafat perenial, dan teosofi-mason bebas.

“Nyaris seluruhnya berpangkal dari pemikiran Barat, kecuali sinkretisme yang lebih banyak berkembang di India,” imbuhnya.

Menurut pendiri gerakan Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal (JIL) itu, semua tren pluralisme agama mempromosikan pandangan bahwa semua agama itu sama. Humanisme-sekuler mengklaim tidak ada agama yang lebih superior karena berasal dari pengalaman religius, sehingga semuanya tunduk pada akal sekuler manusia. Teologi global mengajarkan bahwa semua agama sama-sama berasal dari Tuhan, tapi tiap orang bebas memandang-Nya dari perspektif yang berbeda-beda, sehingga menegasikan aturan yang baku dalam agama.

Lebih lanjut Akmal menuturkan bahwa sinkretisme jelas-jelas menggabung-gabungkan banyak agama sehingga saling mewarnai dan bercampur-aduk, akibat pandangannya bahwa semua agama memiliki kekurangan yang bisa ditutup oleh kelebihan dari agama lain yang diadopsi. Filsafat perenial menganggap bahwa semua agama berbeda pada level eksoterik dan sama pada level esoterik. Terakhir, teosofi-mason bebas mengklaim bahwa semua agama bersumber dari Tuhan yang sama, tapi diajarkan pada bangsa-bangsa secara berbeda menurut tingkat evolusinya.

Padahal, menurut peneliti INSISTS ini, setiap paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan mengklaim bahwa kebenaran agama itu relatif, telah diharamkan oleh fatwa MUI pada 2005 lalu, yang ditandatangani sendiri oleh Wakil Presiden saat ini, K.H. Maruf Amin.

“Ajaran pluralisme teologis seperti itu jelas-jelas merusak dan membuat orang ragu pada ajaran agamanya sendiri serta mengaburkan garis-garis nilai kebenaran,” kata Zidna Qaulan Tsaqila, salah satu peserta kuliah.

“Parahnya, kaum pluralis kerap bersembunyi di balik kata toleransi, padahal keduanya jelas berbeda, dan jargon-jargon toleransi yang kosong sering mereka gunakan sembarangan untuk pihak lawan yang tak sependapat dengan mereka dan secara perlahan menyebarkan paham pluralisme agama mereka,” tambahnya.

Sementara itu, Alvin Haidar yang juga peserta SPI turut menyampaikan komentarnya.

“Minimnya umat Islam yang menjadikan din Islam sebagai worldview membuat publik mudah terbawa arus dan bersikap mengiyakan saja berbagai propaganda kaum sekularis-pluralis-liberalis itu,” ungkap Alvin.

“Yang lebih parah kalau lembaga negara malah ikut andil dalam melembagakan pluralisme agama itu secara formal, padahal Islam sudah memiliki ajaran yang khusus untuk toleransi, tidak perlu mengadopsi konsep pluralisme ajaran agama,” pungkasnya. [syahid/firdaus/voa-islam.com] 


latestnews

View Full Version