BANDUNG (voa-islam.com) – Kuliah pekan ke-17 SPI Bandung Angkatan VI kembali digelar secara daring pada Kamis malam (16/10/2020) dengan Dr. Syamsuddin Arif, Dosen Universitas Darussalam (Unida) Gontor, sebagai pembicara.
Tema pertemuan pekan ke-17 membahas tentang filsafat. Arif menerangkan filsafat sebagai suatu ilmu tentang hikmah yang bersifat terbatas.
“Hikmah di sini mencakup sains sebenarnya, yaitu ilmu tentang hakikat segala sesuatu, yang menjadi terbatas pencarian kebenarannya sejauh kemampuan akal manusia,” terangnya mengutip definisi filsafat menurut al-Kindi, filsuf dunia Islam abad ke-9.
Pria yang juga peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) itu menjelaskan luasnya makna filsafat yang bertalian dengan sains secara teoritis dan berkaitan dengan etika secara aplikatif.
“Kita lihat di sini judul buku Isaac Newton adalah ‘Philosophiae Naturalis: Principia Mathematica’ yang berarti ‘prinsip-prinsip matematika dari filsafat natural’, filsafat natural di sini bermakna ilmu alam, sains, yaitu fisika,” papar Arif.
Uniknya, filsafat dalam tradisi Islam, falsafah, disebut-sebut Arif mengembangkan lebih jauh arti hikmah itu dan mengkonsepkan lebih jauh aspek aplikatifnya.
“Seperti dalam definisi al-Kindi di bukunya, falsafah itu bertujuan untuk membuat orang yang menekuninya menemukan kebenaran dan berbuat penuh kebenaran, jadi ada kekhasan tersendiri dalam falsafah di dunia Islam itu dibandingkan dengan filsafat-filsafat lain, seperti filsafat Yunani, India, Cina,” jelasnya.
Menurut Arif, setidaknya ada sejumlah aspek yang membedakan falsafah dalam tradisi keilmuan dunia Islam dengan tradisi filsafat peradaban lain, yang meliputi konteks sosio-kulturalnya, faktor-faktor pendorongnya serta maksud dan tujuannya, serta para pegiatnya yang berada di bawah naungan peradaban Islam.
“Topik para filsuf Muslim itu khas, seperti pembuktian bahwa Tuhan itu esa, pembuktian bahwa alam semesta itu diciptakan dari ketiadaan dan tidak azali, hingga falsafah yang berkaitan dengan adab, seperti pada tulisan-tulisan al-Kindi, jadi tidak semuanya meniru filsafat Yunani, bahkan sebagian membantahnya,” tuturnya.
Namun, menurut Arif, tidak semua orang boleh mempelajari filsafat karena dibutuhkan kematangan ilmu dan keimanan terlebih dahulu agar tidak terjerumus ke dalam paham filsafat yang sesat.
“Filsafat itu sebagaimana sains, ada yang tercela dan tidak tercela, ada yang bisa membuat kafir dan ada yang tidak, ada yang membuat kufur dan ada yang tidak, serta ada yang menjurus bidah dan ada yang tidak, seperti kalau belajar biologi pasti dicekoki tentang teori evolusi, atau dalam ilmu psikologi ada persoalan gender, dan sebagainya, jadi pijakannya harus kuat sebelum belajar,” imbuhnya.
Dengan demikian menurut Arif, pendapat al-Ghazali terhadap filsafat termasuk yang paling bijak, yaitu tidak membolehkan secara total juga tidak mengharamkan secara penuh. Boleh atau tidaknya belajar filsafat tutur Arif bersifat kondisional, yaitu bergantung syarat-syarat tertentu.
Menurut Imaduddin, salah satu peserta kuliah, cabang filsafat yang penting untuk dipelajari adalah yang berkaitan dengan adab, karena itu juga bagian penting dari din Islam.
“Kalau yang saya tangkap jadi inheren ya antara filsafat dengan adab, karena sesuai dengan stratifikasi definisi falsafah oleh Ikhwan aṣ-Ṣafa itu, tingkat lanjut dari filsafat adalah adab yang luhur, yaitu filsafat menetapkan pemikiran dan perkataan tentang kebenaran, lalu perbuatannya dilandaskan kebenaran itu sebagai tahapan tertinggi, sehingga tidak boleh beda antara pemikiran, perkataan, dan perbuatan,” katanya. [syahid/firdaus/voa-islam.com]