View Full Version
Senin, 26 Oct 2020

Dua Dimensi Kebahagiaan dalam Islam

BANDUNG (voa-islam.com) – Kuliah pekan ke-18 SPI Bandung Angkatan VI kembali digelar secara daring pada Kamis malam (22/10/2020) dengan Dr. Wendi Zarman, Direktur PIMPIN (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan) Bandung, sebagai pembicara.

Tema pertemuan kali ini tentang manusia dan kebudayaan. Wendi menerangkan konsep kebahagiaan dalam Islam, sebagaimana terangkum dalam istilah saʿādah, yang bertalian dengan dimensi ukhrawi dan duniawi.

“Istilah itu sebagaimana termaktub dalam Quran surat Hud ayat 105-106, di mana pada Hari Akhir, golongan saʿīd (yang berbahagia) berlawanan secara diametral dengan golongan syaqiyy (yang celaka),” terang Wendi.

Dengan demikian, menurut dosen Universitas Komputer Indonesia itu, kebahagiaan dalam Islam mencakup kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keduanya bertalian satu sama lain walaupun kebahagiaan akhirat itu jauh lebih azali daripada kebahagiaan dunia.

“Kebahagiaan yang sejati itu adalah kebahagiaan yang tidak berakhir, yang berkekalan, sehingga ia harus berlanjut sampai ke akhirat, karena kalau kita cermati, konsep syaqawah sebagai lawan kebahagiaan itu selalu berkaitan dengan ketakutan akan masa depan dan kesedihan atas masa lalu dan kini,” jabarnya.

Wendi merinci konsep syaqawah (ketidakbahagiaan) itu menurut terminologi Quran ke dalam sejumlah istilah, meliputi khauf (ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui), ḥuzn (sedih dan tidak tenteram), hamm (takut terhadap sesuatu yang akan terjadi), ḥazn (sedih terhadap hal yang telah terjadi), ghamm (ketakutan terhadap hal yang akan terjadi telah terjadi), ʿusr (kepayahan), dan ḥasrat (penyesalan terhadap hal yang tidak mungkin lagi untuk diraih).

“Jadi, kebahagiaan yang sebenarnya itu adalah kebahagiaan dari dunia sampai akhirat, karena tidak lagi terikat dengan beban kesedihan dan ketakutan di masa lalu dan masa depan, sehingga ia bergantung cara manusia menjalani hidup di dunia ini, karena dunia adalah tempat menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat, yang mana agar bahagia di sana, manusia mesti menundukkan jiwa hewaninya dan meluhurkan jiwa akalinya dengan menjalankan din Islam,” simpulnya.

Menurut Wendi, sayangnya konsep kebahagiaan di pikiran banyak umat Islam ini telah mengalami pembelokan akibat penetrasi berbagai pandangan alam yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam.

Hal tersebut diamini oleh salah satu peserta SPI, Imaduddin.

“Contohnya dalam tontonan, buku cerita, dan banyak hal lain yang dikonsumsi oleh anak-anak dalam beberapa dekade terakhir, terdapat banyak infiltrasi konsep pandangan hidup Barat atau peradaban lainnya, termasuk tentang kebahagiaan, seperti ending cerita yang banyak diakhiri dengan narasi ‘hidup bahagia selamanya’, sehingga mempengaruhi pikiran orang untuk memprioritaskan kebahagiaan materiil atau duniawi saja,” pungkas Imaduddin. [firdaus/syahid/voa-islam.com] 


latestnews

View Full Version