View Full Version
Selasa, 03 Nov 2020

Musim Semi Peradaban Islam: Bukan Waktunya Kita Diam Menunggu

BANDUNG (voa-islam.com) – Kuliah pekan ke-19 SPI (Sekolah Pemikiran Islam) Bandung Angkatan VI kembali digelar secara daring pada Kamis malam (29/10/2020) dengan Akmal Sjafril, pendiri ITJ (Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal), sebagai pembicara.

Tema pertemuan kali ini tentang musim semi peradaban Islam. Akmal menerangkan bahwa musim semi bagi peradaban Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan oleh setiap Muslim, tanpa boleh diam menunggu bagi kejayaan itu untuk didatangkan oleh orang lain.

“Ini adalah musim semi, pasti itu akan kembali walau kita tidak tahu kapan itu terjadi, dan kita di seluruh negeri Islam tidak disuruh untuk berputus asa sampai Imam Mahdi datang, kita tetap harus berikhtiar, minimal kita menabur benihnya sekarang,” terangnya.

Penulis buku Islam Liberal 101 itu menekankan pentingnya umat Islam untuk menghilangkan mentalitas mengandalkan Imam Mahdi sekaligus terjebak dengan kejayaan masa lalu.

“Maka, di sini kita menggunakan istilah ‘musim semi’ alih-alih ‘zaman keemasan’, karena kita yakin masa itu akan datang lagi, sementara istilah ‘zaman keemasan’ itu dalam perspektif sejarah Barat yang bersifat linier adalah masa lalu yang sudah lewat,” paparnya.

Untuk itu, penggagas SPI itu mendorong umat Islam untuk mengintensifkan upaya-upaya ilmiah. Menurutnya, untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, tidak ada jalan selain jalan ilmu.

“PR (pekerjaan rumah-red.) kita bersama adalah menambah ilmu kita, yang paling gampang untuk dikerjakan semua orang adalah membangun perpustakaan pribadi, mari kita tambah bacaan kita!” ajaknya.

Pria berdarah Minang itu juga menyinggung Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai bagian yang lebih besar dari upaya ilmiah itu. Ia membagi usaha itu ke dalam tiga tahap, yaitu penerjemahan, akuisisi, dan adopsi ilmu pengetahuan modern.

“Islamisasi bukan ‘Arab-isasi’, ‘ayat-isasi’, ‘cocok-logi’, ataupun ‘integrasi’; ia adalah proses yang diawali dengan dewesternisasi, kemudian mengembalikan sains kepada tujuannya semula,” imbuhnya.

Imaduddin, salah satu peserta kuliah, turut mengamini pentingnya pengembangan budaya ilmu sebagai upaya membangkitkan peradaban.

“Kalo pandangan saya karena memang peradaban itu dibangun atas dasar keilmuan, prosesnya lebih cair, bergantung pada pematangan budaya ilmu, meskipun proses lain seperti politik dan ekonomi tidak sepenuhnya ditinggalkan, tapi saya pikir harus berfokus pada budaya keilmuan itu sendiri,” ujarnya. [syahid/firdaus/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version