JAKARTA (voa-islam.com)—Wabah Covid-19 belum ada tanda-tanda bakal mereda. Berbagai pihak menilai vaksin menjadi jalan keluar untuk mengakhiri wabah ini. Pengembangan vaksin Covid-19 pun dilakukan oleh berbagai negara, termasuk China.
Banyak negara yang telah memesan calon vaksin asal China. Indonesia tidak mau ketinggalan. Dikabarkan untuk tahap awal, Indonesia memesan tiga juta dosis vaksin yang dikembangkan Sinovac Biotechnology dengan harga Rp 211.282 per dosis.
Sebagai negara dengan jutaan penduduk muslim, tentu pemerintah Indonesia harus memperhatikan aspek kehalalan vaksin tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah salah satu pihak yang mengingatkan pemerintah pentingnya aspek halal.
Pemerintah pun melibatkan MUI untuk memastikan kehalalan vaksin impor tersebut. Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI Muti Arintawati mengatakan sampai saat ini proses sertifikasi halal vaksin Covid-19 masih berjalan.
“Prosesnya masih berjalan. Belum ada keputusan apa-apa. Jika sudah ada keputusan akan disampaikan secara resmi oleh MUI. Yang jadi juru bicaranya tertentu,” kata Muti kepada Voa Islam, Jumat (20/11/2020).
Menurut Muti, tim MUI bersama Kemenkes, BPOM, termasuk Biofarma telah melakukan pengecekan langsung ke China, negara asal produsen vaksin Covid-19.
“MUI diwakili dua orang ke China. Satu dari LPPOM, satu dari Komisi Fatwa. Hanya hasilnya masih dalam proses. Audit itu tidak bisa langsung disimpulkan,” jelas Muti.
Muti tidak bisa memastikan kapan ketetapan halal vaksin Covid-19 difatwakan. Dikatakan Muti, cepat atau lambatnya proses sertifikasi halal ditentukan oleh keseriusan produsen vaksin dalam memenuhi sistem jaminan halal (SJH).
Ketua MUI Lukmanul Hakim mengatakan pihaknya terus berupaya mengejar kehalalan vaksin Covid-19. Meski dalam proses audit, namun Lukmanul optimis ketetapan halal vaksin akan keluar akhir November 2020.
“Prediksinya, akhir bulan November (2020) ini segera ada keputusan halal. Mudah-mudahan tidak ada kendala," jelas Lukmanul seperti dikutip dari Times Indonesia, Rabu (18/11/2020).
Jika proses ini ternyata lama dan belum menemukan titik terang, vaksin yang ada dipastikan tetap dipakai meski tidak ada label halalnya. Akan tetapi, pihak MUI tetap optimis, bahwa nantinya vaksin yang disuntikkan ke masyarakat bisa segera halal dan hasilnya bisa positif.
"Ketika tidak ada yang halal, dan darurat dan membahayakan. Maka boleh menggunakan yang tidak halal," ujarnya.
Sementara itu Wakil Presiden Ma’ruf Amin memastikan izin edar BPOM dan fatwa halal produk vaksin Covid-19 harus sudah ada sebelum vaksinasi dilakukan. Ma'ruf memastikan, nantinya vaksin yang digunakan untuk vaksinasi masyarakat telah melalui proses, mulai dari uji klinis, izin edar yang memastikan vaksin aman, serta halal berdasarkan fatwa MUI.
"Nanti menjelang vaksinasi itu (izin BPOM dan fatwa halal) harus terlebih dahulu keluar, harus sudah ada," ujar Ma'ruf saat meninjau pelaksanaan simulasi vaksinasi Covid-19 di Puskemas Cikarang, Bekasi, Kamis (19/11/2020).
Pada lain waktu, Wapres mengatakan sertifikasi halal vaksin Covid-19 ini perlu dilakukan agar tidak terjadi penolakan di masyarakat.
"Sertifikasi halal penting untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat karena ragu akan kehalalannya. Jangan sampai seperti kasus vaksin Measles Rubella (MR) yang mendapatkan penolakan dan targetnya tidak tercapai. Vaksin yang diproduksi dari luar negeri juga harus dipastikan kehalalannya. Jangan sampai sudah memesan dengan jumlah besar, tetapi mendapat penolakan," ujar Wapres seperti disampaikan pada Instagram miliknya, Kamis (27/8/2020) lalu.
Mengapa vaksin atau obat harus halal? Muti Arintawati mengungkapkan dalam Islam obat itu prinsipnya harus halal. Tetapi dalam kondisi tertentu atau darurat diperbolehkan berobat dengan yang tidak halal.
“Misalnya tidak ada pilihan lainnya dan dapat menyebabkan kematian itu diperbolehkan dalam fatwa MUI,” jelas Muti.
Muti mencontohkan kasus vaksin MR yang mengandung bahan yang berasal dari babi. MUI saat itu mengeluarkan fatwa bahwa vaksin tersebut haram, tetapi diperbolehkan.
Setidaknya, ada tiga hal alasan yang membuat penggunaan vaksin MR dibolehkan, yakni karena kondisi keterpaksaan (darurat syar'iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.
Pada fatwa itu, jelas Muti, MUI meminta pemerintah dan produsen untuk mengupayakan segera produksi vaksin yang halal.
Kemudian kasus vaksin meningitis. Muti memaparkan, awal-awal vaksin meningitis juga belum ada yang tersertifikasi halal. “Hingga ketika itu Komisi Fatwa membolehkan penggunaannya dengan kondisi tidak ada pilihan lagi. Tetapi dengan catatan MUI mendorong pihak-pihak terkait untuk segera bisa menghasilkan vaksin yang halal,” ujar Muti.
Akhirnya, ada vaksin meningitis halal yang mampu diproduksi. “Ketika sudah ada yang halal, maka selesailah masa daruratnya. Karena ada pilihan,” tegas Muti.* [Syaf/voa-islam.com]