BANDUNG (voa-islam.com) – Menandai akhir rangkaian kuliah SPI (Sekolah Pemikiran Islam) Bandung Angkatan VI, pertemuan pekan ke-20 digelar pada Kamis malam (05/11/2020) dengan Akmal Sjafril, pendiri ITJ (Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal), sebagai pembicara.
Tema pertemuan kali ini tentang serba-serbi dakwah. Akmal menekankan agar gerakan dakwah tidak terjebak dalam zona nyaman dan pengaruh figur, sehingga mampu melakukan kaderisasi dan meningkatkan kapasitas umat melalui pembangunan tradisi intelektual.
“Setelah interaksi kita dengan target dakwah, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, mesti ada peningkatan kapasitas keilmuan atau intelektual, mesti menghasilkan kader-kader peneliti atau pemikir baru yang mampu menghasilkan karya-karya atau mencetak dai baru yang memiliki targetnya sendiri,” urainya.
Akmal menyoroti realitas dunia dakwah selama ini yang hanya berkutat pada kegiatan ceramah dan kajian. Ia menyebut bahwa ceramah dan kajian itu memang penting pada level menumbuhkan kesadaran, tapi dalam kajian lepas pada umumnya yang tidak terstruktur dan tanpa kurikulum yang berjenjang, cara seperti itu akan sulit menghasilkan perubahan yang lebih lanjut.
“Kita tidak boleh hanya berfokus pada memperbanyak jumlah orang yang datang, tapi malah membiarkan mereka lepas begitu saja seusai proses, tanpa menjadi kader-kader perubahan dan peningkatan tradisi keilmuan, umat kita akan begini-begini saja,” lanjutnya.
Penulis buku Islam Liberal 101 itu juga menyoroti bagaimana proses dakwah itu banyak terjebak dalam zona nyaman sehingga mengerdilkan makna-makna perjuangan di dalamnya.
“Saat dituntut untuk berperan dengan tugas dan tanggung jawab yang lebih, masih banyak orang yang berkilah bahwa mereka baru hijrah kemarin, padahal hijrah itu bukan istilah main-main yang semestinya dilakukan oleh orang yang mau berjuang dengan hebat, bukan malah terjebak dengan zona nyaman,” paparnya.
Akmal juga memperingatkan agar para dai tidak bersantai-santai dengan membahas masalah-masalah populer saja untuk memuaskan segmen-segmen tertentu dan menonjolkan figurnya, sehingga kaderisasi dan upaya peningkatan intelektualitas umat yang sistematis jadi terabaikan.
“Banyak yang terbuai dan tidak berkembang, atau malah lari dari tanggung jawab, padahal masalah umat ini sangat banyak dan rumit, jangan dikira bisa diselesaikan hanya dengan memperbaiki amalan harian saja, mesti sistematis, musuh kita, orang Islam Liberal saja tiap tahun melakukan kaderisasi,” katanya memperingatkan.
Alvin Haidar, salah satu peserta mengungkapkan bahwa pendidikan agama yang tidak tepat telah menyempitkan sudut pandang tentang din dan dakwah, sehingga mengesankan bahwa dakwah itu melulu soal kajian atau ceramah.
“Lebih lagi PR (pekerjaan rumah-red.) besar kita dalam berdakwah yakni bagaimana kita juga bisa mencetak kader dakwah yang mumpuni yang bahkan dapat melebih kapasitas diri kita,” pungkasnya.
Aqbil Yusran, peserta kuliah lainnya, mengamini hal itu.
“Menurut saya penyebabnya adalah sang dai tidak atau kurang memahami esensi dari dakwah itu sendiri sehingga yang akan dia lakukan terbatas pada ceramah, padahal segala aktivitasnya bisa dijadikan sebagai panggung dakwah,” ujarnya. [firdaus/syahid/voa-islam.com]