JAKARTA (voa-islam.com)--Jauh sebelum negara-bangsa bernama Indonesia lahir, wilayah Nusantara dikenal telah memiliki beragam adat, budaya dan agama. Masyarakat Nusantara sendiri dikenal sangat toleran dalam perbedaan keyakinan.
Anehnya, dewasa ini masyarakat Indonesia sering terseret dalam pertentangan identitas, terutama di kalangan umat Islam. Selain karena faktor dalaman, menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, pertentangan itu disebabkan oleh faktor luaran.
“Secara umum, kerukunan umat beragama Indonesia itu indeksnya di atas 76, kategori baik, walaupun memang tidak tertutup ada kasus-kasus intoleran. Dan sekarang ada kecenderungan membesar-besarkan isu tersebut,” ungkapnya dalam Upgrading PDM Semarang, Sabtu (23/10).
Pada faktor dalaman, Abdul Mu’ti menilai hambatan kerukunan dan toleransi itu muncul akibat perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan manhaj dalam memahami agama.
Meskipun Alquran surat Al-Maidah ayat ke-48 menerangkan bahwa perbedaan adalah sunatullah, nyatanya tidak banyak yang memahami ruang persatuan di atas berbagai perbedaan yang ada.
Pada faktor luaran, Abdul Mu’ti lantas mengisahkan pengalamannya mewakili Muhammadiyah saat ditugaskan Kementerian Luar Negeri untuk dialog agama di Uni Eropa.
Pada momen itu, Abdul Mu’ti dalam konteks keakraban bergantian saling meledek dengan perwakilan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) di atas mimbar. Kejadian itu membuat para pemimpin di Uni Eropa terheran-heran.
“Jadi sebenarnya itu sesuatu yang sudah menjadi bagian dari DNA-nya orang Indonesia. Ya rukun itu. Tapi sengaja dibuat potret ada masalah intoleransi, ada masalah moderasi, dan dipotret lagi bahwa seakan-akan Islam itu adalah kelompok agama yang tidak toleran. Dan inilah yang menjadi isu terus menerus dan seakan-akan menjadi proyek sepanjang tahun,” ungkapnya menyindir masalah azan yang diangkat sebagai polemik oleh AFP.
“Nah kalau umat Islam tidak meng-adress ini sebagai isu kita, maka umat Islam itu memang akan jadi komunitas yang tertuduh terus-menerus. Kurang toleran apa kita umat Islam itu dalam konteks kita bernegara dan berbangsa?” tanya Abdul Mu’ti.
“Tapi memang itulah yang menjadi persoalan kita. Dan sebagiannya memang karena ada kelompok-kelompok tertentu yang dia itu dalam berdakwah, bermuamalah kurang memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan dengan dimensi-dimensi hukum dan sosial yang ada yang sebagian karena disebabkan oleh pemahaman agama yang sempit, lalu ditambahi dengan dinamika politik lokal, regional dan global, ketimpangan penegakan hukum, dan ekonomi,” tegasnya.*
Sumber: Muhammadiyah.or.id