SURABAYA (voa-islam.com) – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebut bahwa di era disrupsi berdampak kepada agama.
Bahkan perubahan dalam beberapa hal seakan dipaksa akibat kemajuan teknologi, namun di beberapa urusan agama mengalami ketidak selarasan dengan era ini.
Kecepatan perubahan membuat kewalahan beberapa lembaga fatwa dalam merespon perubaahan itu, terkesan mereka terlalu terburu-buru memberikan vonis fatwa, padahal di beberapa bagian kebaruan tersebut tidak bisa dihindari oleh manusia dalam menyelesaikan urusannya.
Meski demikian, teknologi sebagai instrumen tidak bisa mengantikan peran manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu tidak bisa serta merta menjadikan teknologi dan kemajuan digital sebagai solusi atas permasalahan manusia, terlebih dalam urusan agama.
Di acara Resepsi Milad ke-109 Muhammadiyah yang diadakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur pada (27/11), Mu’ti menyebut bahwa di era distrupsi beberapa lembaga fatwa mengalami ambiguity dan paradoks, sebab antara teks Al Qur’an dan Hadis dengan konteks yang terjadi kekinian tidak ditemukan keselarasan.
Menurutnya, teknologi memang memberi alternatif tapi bukan solusi. Bahwa kecangihan teknologi memang tidak bisa dihindari, tetapi ada beberapa hal yang teknologi itu tidak bisa mengantikan maupun mengisi ruang kosong dalam berbagai aspek kehidupan. Maka, karena itu peran manusia tidak bisa digantikan oleh teknologi.
“Karena itulah teknologi itulah maka teknologi tetap menjadi instrumen, dan penggunaannya tergantung pada dari siapa yang mengunakan dan dalam hal tertentu instrumen itu memang terbatas,” tuturnya.
Mu’ti mengatakan, bahwa tanpa teknologi kecerdasan manusia masih cukup hidup, tapi dalam perkembangannya teknologi bisa menjadi organisme tersendiri. Jika di awal teknologi sebagai pembantu manusia, tapi dalam hal tertentu teknologi menjadi ‘juragannya’ manusia. Manusia bisa menjadi subordinate teknologi.
“Inilah yang kita sebut dengan berbagai macam ambiguity dan berbagai paradoks itu terjadi, dan dalam banyak hal memang cara kita belajar agama kita juga berbeda,” imbuhnya seperti dikutip dari laman resmi muhammadiyah.or.id.
Di era disrupsi, lembaga keagamaan bergeser dari majelis taklim berganti dengan majelis virtual, antara ustadz dengan santrinya tidak salin tegur sapa dan mengenal, tetapi mereka populer. Menyoroti tentang dakwah daerah 3T, menurut Mu’ti harus dibuat pola dakwahnya dengan mengklasifikasi daerah yang terjamah dan tidak oleh sinyal.
“Karena mereka di daerah yang reote area, sepanjang daerah itu masih ada sinyal dia bisa belajar agama. Tetapi kalau konteksnya pembinaan itu tidak bisa diganti oleh teknologi. Karena manusia itu mahluk sosial tetap perlu manusia yang lainnya,” imbuhnya. [syahid/voa-islam.com]