ACEH (voa-islam.com) - Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, mengecam dan menyayangkan terbitnya surat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag) Sulawesi Selatan tentang himbauan untuk memasang spanduk ucapan selamat Natal dan Tahun Baru
"Mengecam dan menyayangkan tindakan Kakanwil Kemenag Sulawesi Selatan. Tindakan ini menyakiti perasaan umat Islam seluruh Indonesia dan membuat kegaduhan bangsa," katanya.
"Sangat memalukan dan mencoreng institusi Kementerian Agama (Kemenag). Belum pernah terjadi kasus seperti ini selama ini sejak didirikannya Kementerian Agama (Kemenag) yang sebelumnya bernama Departemen Agama (Depag) pada tahun 1946," lanjutnya seperti dalam keterangan tertulisnya kepada voa-islam.com, Rabu (15/12) kemarin.
Menurut Yusran yang juga Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara, tindakan Kakanwil ini bertentangan dengan syariat Islam yang mengharamkan mengikuti aqidah dan ibadah orang-orang kafir, karena itu merupakan aqidah umat Islam.
"Himbauan tersebut merusak aqidah umat Islam. Tidak hanya merusak aqidah, namun juga bisa membatalkan keimanan dan keislaman seorang muslim," jelasnya.
"Tindakan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila yang menjamin kebebasant beragama bagi setiap warga negara dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing," tambahnya.
Tindakan Kakanwil Kemenag ini lanjut Yusran terkesan memaksa seluruh bawahannya untuk berkeyakinan agama seperti dia. Karena, dia menghimbau atas nama atasan kepada bawahannya dan ini termasuk penyelewengan jabatan.
"Kasus seperti ini terjadi akibat pemahaman agama yang salah dan proyek moderasi agama yang diusung dan dipopulerkan oleh Kemenag di seluruh sekolah madrasah, pesantren dan perguruan tinggi seperti UIN dan lainnya di bawah kemenag di seluruh Indonesia," ungkapnya
"Mengklaim bahwa moderasi agama merupakan ajaran Islam yaitu ajaran wasathiyyah adalah suatu kekeliruan. Karena, konsep moderasi agama ini berbeda dengan konsep wasathiyyah dalam Islam. Konsep wasathiyyah dalam Islam tidak bisa dimaknakan dengan moderasi beragama seperti yang diusung dan dipopulerkan oleh Kemenag dengan membolehkan mengikuti aqidah dan ibadah agama lain. Konsep moderasi agama ini justru melahirkan pemahaman sesat liberalisme dan pluralisme agama," ujarnya.
Menurut Yusran yang juga Doktor Ushul Fiqh jebolan International Islamic University Malaysia (IIUM) ini, al-Wasathiyyah dalam Islam bermakna sikap mu'tadil (pertengahan), antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (menyepelekan) yang dilarang keduanya dalam agama.
Wasthiyyah lanjut Yusran juga bermakna bersikap i'tidal (lurus dan benar) dengan tauhid dan aqidah yang benar dari Alquran dan As-Sunnah, tidak menyimpang ke kanan (paham sesat ekstrim kanan dan tidak pula menyimpang ke kiri (paham sesat ekstrim kiri).
"Selain itu, wasathiyah bermakna sikap tawazun (keseimbangan), antara urusan dunia dan ibadah, jasmani dan rohani, lahiriah dan bathiniah. Inilah makna prinsip al-wasathiyah dalam Islam yang benar sesuai dengan dalil Alquran dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama, bukan bermakna moderasi agama seperti yang ditawarkan dan dipopulerkan oleh Barat dan pengikut mereka dari kalangan liberalis dan pluralisme," paparnya.
"Jadi, sikap radikal, ekstrim, liberal (tidak terikat dengan agama), pluralis (mengganggap semua agama sama benar), dan ghuluw (berlebihan/melampaui batas) itu bertentangan dengam prinsip al-wasthiyyah yang diajarkan dalam Islam. Maka toleransi agama dengan mengikuti aqidah dan ibadah agama lain seperti mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru atau memcampur adukkan aqidah dan ibadah Islam dengan agama lain itu bertentangan dengan Islam. Dengan kata lain, ini ajaran sesat liberalisme dan pluralisme beragama," tuturnya.
Toleransi beragama yang membolehkan mengikuti aqidah dan ibadah agama lain menurut Yusran adalah toleransi yang keblablasan dan bertentangan dengan syariat Islam. Menurutnya lagi toleransi seperti ini merusak aqidah Islam, bahkan bisa membatalkan keimanan dan keislaman seorang muslim.
"Islam mengajarkan toleransi dalam beragama. Toleransi beragama dalam islam hanya berlaku tetbatas dalam masalah muamalat (sosial) dan dunia. Adapun masalah ibadah dan aqidah, maka tidak ada boleh mengikuti agama lain dan tidak boleh mencampurakan dengan agama lain," pungkasnya. [syahid/voa-islam.com]