JAKARTA (voa-islam.com) – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari internasional melawan Islamophobia (the International Day to Combat Islamophobia).
Dipilihnya tanggal 15 Maret terkait dengan peristiwa serangan teroris Islamophobic kepada jamaah salat Jumat masjid Al-Noor di Cristchurch, New Zealand tahun 2019 yang menewaskan 51 orang.
“Masyarakat internasional tampaknya semakin memahami bahwa Islamophobia adalah masalah yang sangat serius dan membawa tata kehidupan dunia ini menjadi tidak stabil dan potensi untuk selalu adanya konflik dan ketegangan itu bisa saja berkembang,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni. Dalam program Dialektika di kanal youtube Tvmu, Sabtu (7/05) dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Syafiq menilai penetapan tanggal ini merupakan kesadaran dunia internasional bahwa Islamophobia adalah fenomena akut yang menjangkiti sebagian manusia secara global. Islamophobia sendiri kata Syafiq adalah segala sifat dan bentuk ketidaksukaan, kebencian, dan permusuhan yang diwujudkan terhadap simbol-simbol dan prinsip ajaran agama Islam.
Melalui Deputi Permanen Kementerian Luar Negeri pada 16 Maret 2022, Indonesia sendiri telah menyatakan sambutan positif terhadap diadopsinya penetapan hari itu. Namun Syafiq menganggap belum ada implementasi yang nyata terkait hal ini di tataran kebijakan.
Anggapan Syafiq muncul karena melihat masih sering terjadinya kasus penistaan kepada agama Islam. Belum lagi bebasnya para pendengung (buzzer) di media sosial yang kerap mendiskreditkan simbol-simbol Islam seperti jilbab, madrasah, pesantren, dan menyuarakan narasi anti Arab hingga memberi sematan peyoratif-rasis seperti ‘kadrun’ dan semisalnya.
“Ini saya yakin merupakan sikap rasis yang nyata-nyata menjadi musuh kita bersama. Kalau kita ingin membangun tata politik dan kebangsaan kita berdasarkan rasisme seperti ini, saya pikir ini justru menimbulkan masalah,” kritiknya.
Selain itu, wujud Islamophobia adalah seringnya para pendengung menyemati pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka dengan sebutan ‘radikal’, ‘taliban’, dan semisalnya. Karena itu, Syafiq berharap penetapan tanggal 15 Maret itu benar-benar diikuti oleh pemerintah, beserta semua lembaga negara, penegak hukum, politisi dan semua elemen bangsa dan agama untuk melawan Islamophobia.
“Kalau tidak, maka kita bisa membayangkan hilangnya objektivitas untuk membangun negara ini. Orang yang punya pikiran-pikiran bagus, kapasitas baik untuk membangun negara ini tapi hanya karena distigmatisasi dengan radikalisme, dengan ekstrimisme, dengan istilah-istilah lain yang saya kira tidak relevan dalam kehidupan ini,” kata Syafiq.
“Maka mau tidak mau kita harus melangkah lebih konkrit sehingga apa yang kita harapkan terwujudnya kesatuan bangsa yang lebih kokoh, terwujudnya tatanan sosial politik yang lebih mantab dan perdamaian yang lebih tegak di masyarakat kita itu salah satunya dengan komitmen bersama menghilangkan Islamophobia,” pungkasnya.