BANDUNG (voa-islam.com) - “Semua orang ingin bahagia, sikap kita menunjukan kalau kita ingin bahagia. Secara naluri kita hidup untuk mencapai kebahagian,” ungkap Wendi Nurzaman sebagai pembuka pertemuan pekan ke-19 Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung pada hari Kamis (23/02) di Masjid Istiqamah.
Wendi kemudian menjelaskan pengertian bahagia dari perspektif Barat.
“Pada kamus, ada berbagai macam pengertian. Good fortune yang berarti luck (keberuntungan), pleasure (perasaan nikmat), contentment (puas), joy (riang gembira). Sementara itu, menurut Aristoteles kebahagiaan itu adalah Eudaimonia. Ini berarti kesempurnaan hidup yang dapat dicapai melalui virtue, yaitu ketika akal manusia dapat berfungsi dengan baik,” jelasnya.
Dosen Universitas Komunikasi Indonesia (UNIKOM) itu juga memaparkan mengenai makna kebahagiaan dalam pandangan Islam.
“Dalam Al Qur’an Surat Hud ayat 105 sampai 106, perlu digarisbawahi kata 'sa’adah' yakni kebahagiaan, lalu 'syaqawah' yakni kesengsaraan. Ketika kita ingin memahami sebuah makna dari kata maka kita harus memahami pula lawan kata tersebut,” terangnya.
Dalam peradaban Barat masa kini, syaqawah diejawantahkan sebagai genre tragedi yang cukup populer dalam dunia seni dan sastra. Tujuan seni tragedi adalah membangkitkan kisah pilu atau sedih kepada penonton dan menimbulkan perasaan lega sehingga penonton merasa mereka memiliki nasib yang lebih baik dari tokoh yang diperankan dalam film.
Misalnya film The Myth of Sisyphus sebuah drama tragedi, refleksi kehidupan manusia yang absurd, yang menceritakan penghukuman terhadap seorang manusia yang dilakukan berulang kali, dan mengindikasikan bahwa kebahagiaan itu adalah sesuatu yang mustahil.
Salah satu peserta perkuliahan malam itu, Astri, juga mengungkapkan contoh kasus yang serupa dengan kisah Sisyphus.
“Biasanya bahagia dikaitkan dengan materi dan pencapaian duniawi. Jadi kalau orang lain punya dan kita nggak punya tuh seperti nggak bahagia. Akhirnya hidup untuk terus mengejar materi, nggak ada ujungnya, capek,” komentarnya.
Padahal bila ditelisik, sumber ketidakbahagiaan manusia secara sederhana adalah perasaan takut dan sedih. Takut akan masa depan yang belum terjadi, dan bersedih akibat penyesalan di masa lampau. Dalam menghadapi kedua emosi tersebut, umat muslim sesungguhnya telah dibekali dengan penawar yang ampuh, yaitu iman dan amal shalih.
“Sehingga, level kebahagiaan sesungguhnya di dunia bukan berdasarkan pada suasana hati yang gembira, melainkan dari hadirnya rasa aman dari keimanan kita dan adanya kemampuan kita untuk dapat beramal shalih,” simpul Wendi. [firdaus/syahid/voa-islam.com]