BANDUNG (voa-islam.com) - Feminisme dapat bermakna sebuah cara pandang untuk melihat dunia dari perspektif perempuan yang menentang sistem patriarki masyarakat barat saat itu, demikian diungkapkan Anila Gusfani dalam pembukaan dalam perkuliahan Gender & Feminisme, Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung, Kamis (04/01/24) bertempat di Masjid Istiqomah.
Anila yang merupakan pemateri malam itu adalah seorang Alumni SPI Jakarta serta pendiri komunitas @baca_bareng di Instagram.
“Gerakan ini awalnya adalah usaha dari perempuan barat memperjuangkan haknya yang dirampas oleh masyarakat atau bisa disebut aliran feminisme liberal. Seiring berjalannya waktu, muncul beberapa aliran feminisme yang lain seperti feminisme radikal dan feminisme Marxis,” papar Anila.
Ironisnya, gerakan yang bermula memiliki motif untuk memperbaiki nasib kaum perempuan saat ini malah cenderung bersifat merusak diri dan citra perempuan dengan kebebasan yang tak mengenal batas. Kebebasan yang kebablasan inilah yang justru balik menjatuhkan martabat dan membahayakan kaum hawa itu sendiri.
“Seperti menggaungkan slogan my body my choice sebagai perlindungan bagi tubuh perempuan, tapi di sisi lain mendiamkan tindakan eksploitasi tubuh perempuan seperti di ajang kontes kecantikan dunia. Hal tersebut terlihat sepele namun sangat fatal tingkat kedunguannya,” papar muslimah aktivis Indonesia Tanpa JIL tersebut.
Selanjutnya, gerakan ini kemudian melirik konsep gender sebagai upaya ekspansi dan eksistensi mereka yang tentu akhirnya menyuarakan hak-hak kaum LGBTQ.
Konsep gender menyuarakan bahwa setiap individu berhak untuk menentukan gender dan orientasi seksualnya tanpa harus sejalan dengan jenis kelaminnya sejak lahir.
Hal ini tentunya sebagai wujud anti patriarki terhadap ekspresi orientasi seksual yang sejalan dengan hak asasi manusia.
“Walau begitu, konsep gender dan feminisme ini sekarang justru mulai menuai kontra, bahkan dari kaum Barat sendiri. Bisa dilihat pada beberapa waktu lalu banyak orang tua di Barat sana yang khawatir karena adanya muatan LGBTQ pada buku anak-anak,” terang Anila.
Aktivis muslimah tersebut menambahkan, hal tersebut tidak lain karena kaum Barat juga sudah sadar bahwa kedua konsep tersebut melahirkan hal-hal yang tidak patut bahkan di luar nalar.
Salah satu peserta SPI, Hanif, memberikan opininya seusai kelas. “Sebenarnya pada awal mula kemunculannya, feminisme bisa dibilang bermaksud baik karena menyuarakan hak-hak wanita yang tertindas di masyarakat Barat jaman dahulu. Namun semakin hari suara perempuan hanya ditunggangi untuk kepentingan pribadi yang jelas di luar nalar,” pungkasnya. (AY,YC/Ab)