JAKARTA (voa-islam.com) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengungkapkan tiga standar kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh para dai.
Pertama, kata ulama yang akrab disapa Kiai Cholil itu, tentang Islam Wasathiyah. Kiai Cholil menjelaskan, Islam Wasathiyah merupakan pemahaman Islam yang moderat untuk menjadi umatan wasathan.
"Islamnya sama, pengajarannya sama, tetapi cara memahaminya yang berbeda-beda. Bisa ekstrem kanan dan kiri. Oleh karena itu, kita standardisasi menjadi Wasathiyatul Islam," kata Kiai Cholil dalam Standardisasi Dai Komisi Dakwah MUI di Wisma Mandiri, Jakarta Pusat, Senin (18/11/2024).
Kedua, hubungan Islam dengan negara. Kiai Cholil menerangkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyepakati bahwa agama sebagai spirit kebangsaan dengan terteranya di sila pertama dalam Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, Kiai Cholil menekankan, para dai tidak boleh mempertentangkan agama Islam dengan negara. "Boleh mengkritik pemerintah terhadap program-programnya, tapi tidak boleh membenturkan dan mengganti asas negara kesatuan kita," jelasnya.
Kiai Cholil menerangkan, Islam dalam spirit bernegara dan sebagai ideologi dalam bernegara, sebagaimana dalam Pancasila, tidak boleh mengganti atas dasar keagamaan terhadap undang-undang dasar dan asas negara kita.
"Oleh karena itu, kita harus sepahamkan bahwa spirit Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam," tegasnya.
Ketiga, ujarnya, para dai dalam berdakwah harus bisa memahami sosial dan kondisi masyarakat.
"Kita plural. Islamnya sendiri kalau dicerminkan oleh ormasnya itu ada 87 ormas yang tergabung di MUI. (Ini) berkenaan dengan kesukuaan," paparnya.
Maka dari itu, Kiai Cholil menekankan, para dai harus bisa mengerti dan memahami tentang dinamika dan perbedaan-perbedaan di antara kita yang untuk ditoleransi
Sehingga, para dai ketika berdakwah sudah mengerti dan memahami kondisi lapangan tempat berdakwahnya seperti apa.
Lebih lanjut, Kiai Cholil menyampaikan, dakwah dalam konteks non Muslim, para dai harus mengerti bahwa negara Indonesia menganut dan berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
"Menyampaikan dakwah antar internal dan eksternal dua hal yang berbeda. Kita tidak boleh menodai agama lain, sebagaimana agama kita tidak mau dinodai oleh (agama) orang lain," tegasnya.
Menurutnya, metode ini perlu diselaraskan dalam Standardisasi Dai Komisi Dakwah MUI agar para dai memiliki kemampuan terkait Islam Wasathiyah, pemahaman agama dalam konteks bernegara dan metode dakwah yang inspiratif, konstruktif dan inovatif.
"Sehingga dakwah itu bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat dan lebih bamyak mencintai dan membangin negara berdasarkan paham keagamaan dan kenegaraan," tutupnya. (MUID)