BANDUNG (voa-islam.com) - Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung menggelar pertemuan perdana semester kedua untuk Angkatan 10. Pertemuan pertama dilaksanakan di Ruang Tafsir, Masjid Istiqomah.
Kelas perdana pada Kamis (5/12/2024) malam dibuka dengan topik Nativisasi yang disampaikan oleh Dr. Tiar A. Bachtiar yang merupakan salah satu Peneliti di Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS). Tiar mengawali pembahasan dengan memaparkan gagasan dari Natsir terkait tiga tantangan dakwah yang dihadapi oleh Indonesia.
Tiar memaparkan,”tantangan dakwah yang pertama adalah kristenisasi yang berlangsung sejak kedatangan Spanyol dan Portugis di abad 15 yang hingga saat ini masih terus bergerak. Kedua adalah sekularisme yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia melalui pendidikan di sekolah – sekolah yang didirikan pada masa penjajahan maupun program Belanda yang mengirimkan pelajar Indonesia ke negerinya.” Lewat sarana itulah Belanda memberikan doktrin sekularisme ke orang – orang pribumi kala itu.
Tiar kemudian melanjutkan pembahasan mengenai topik utama pada pertemuan malam itu, “tantangan ketiga adalah nativisasi. Nativisasi adalah gerakan budaya yang ada di masyarakat yang kemudian berubah menjadi suatu kepercayaan dan menggeser kedudukan agama ditengah masyarakat.”
Lebih lanjut, Doktor lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut memberikan contoh budaya yang menjadi gerakan nativisasi di masyarakat Indonesia saat ini, seperti kejawen, yang eksis di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta sunda wiwitan, yang ada di wilayah Jawa Barat. Kedua contoh itu merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat wilayah tersebut dan diklaim sebagai suatu paham agama setelah Belanda datang. Hal tersebut merupakan salah satu strategi Belanda untuk memecah belah umat beragama, terutama umat Islam, yang telah lebih dahulu ada di Indonesia.
“Sebenarnya kejawen dan sunda wiwitan, adalah budaya yang mengajarkan falsafah hidup bagaimana manusia seharusnya mengelola alam yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Islam adalah agama, bukan budaya yang mengeser kebudayaan yang sudah ada di masyarakat saat itu. Ketika Islam datang, falsafah dari budaya ini masih ada dan tidak dirusak oleh kehadiran Islam. Namun, perubahan kebudayaan itu malah muncul ketika datang Belanda yang membawa paham kapitalisme dan sekularisme dengan metode divide et empera,” jelas Tiar.
Namun yang terjadi saat ini adalah adanya klaim – klaim yang mengatakan bahwa datangnya agamalah yang merusak kebudayaan. Selain itu, di masyarakat juga terjadi pencampuran antara budaya dan agama, sehingga muncullah paham yang menyangkut pautkan suatu tradisi dengan nilai – nilai ketuhanan yang dalam Islam sangat dekat dengan kesyirikan.
Materi kelas dirasa menarik dan banyak memberikan wawasan baru kepada Rifka Afwani, salah satu murid SPI Bandung Angkatan 10. “Pertentangan pengaruh budaya dan agama selalu terjadi di masyarakat sejak dulu hingga sekarang. Banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana membedakan bagian agama dan budaya. Agama dianggap seperti budaya dan budaya dianggap selayaknya agama. Tidak heran prinsip pluralisme banyak dianut,” ungkapnya.
Rifka, yang juga merupakan Pegawai di Universitas Padjadjaran, menjelaskan lebih lanjut bahwa fenomena nativisasi ini dapat mengkerdilkan kemuliaan agama. “Seolah sesuatu yang berasal dari tuhan memiliki nilai yang sama dengan konsep buatan manusia. Mirisnya cara pikir seperti ini seperti virus yang banyak menjangkit mayoritas muslim di Indonesia dan membuat mereka alergi dengan agama sendiri. Maka, miskonsepsi ini harus diluruskan,” pungkas Rifka. (Nur Hasanah Pratiwi/Ab)