JAKARTA (voa-islam.com) - Kejatuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah menjadi tema utama diskusi yang digelar Forum Dai ASEAN dalam webinar bertajuk “Kejatuhan Rezim Bashar al-Assad di Suriah: Akar Penyebab dan Tantangan ke Depan”.
Diskusi ini tidak hanya membedah dinamika konflik yang melanda Suriah, tetapi juga mencoba meraba masa depan negara tersebut di tengah pergolakan politik, sosial, dan ekonomi.
Sekjen Forum Dai ASEAN Dr KH M Cholil Nafis, menyatakan kejatuhan Bashar al-Assad tidak boleh menjadi babak baru penderitaan bagi rakyat Suriah.
“Kita harus ikut mencermati konflik ini dan memastikan Suriah tidak jatuh semakin dalam ke jurang keterpurukan. Harapan kita, ini menjadi awal konsiliasi yang membawa stabilitas politik, sosial, dan ekonomi di sana,” kata Ketua Bidang Ukhuwah dan Dakwah MUI ini di Jakarta, Sabtu (14/12/2024).
Dia menambahkan Forum Dai ASEAN memiliki visi menyebarkan perdamaian sebagai bagaian dari menyebarkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. “Inilah tentu perdamaian menjadi concern kami, tidak hanya di ASEAN tetapi juga di dunia Islam, tak terkecuali Suriah,” kata dia.
Dia mengatakan, diskusi ini memberikan wawasan mendalam mengenai kompleksitas konflik di Suriah dan tantangan yang akan dihadapi pasca-kejatuhan rezim Bashar al-Assad.
Forum Dai ASEAN mengajak semua pihak untuk tidak hanya menjadi saksi atas konflik di Suriah, tetapi juga aktif mencari solusi damai yang berkeadilan.
“Kejatuhan Bashar al-Assad adalah awal dari babak baru, namun apakah itu peluang atau ancaman bagi Suriah, bergantung pada kemampuan rakyat dan pemimpin transisi dalam menjembatani perbedaan,” tutur dia.
Pengamat gerakan Islam transnasional dari Mesir Dr Musthafa Zahran membuka sesi dengan mengupas akar permasalahan kejatuhan Bashar al-Assad. Dia menyoroti kombinasi faktor internal dan eksternal yang menghancurkan stabilitas Suriah.
“Secara internal, pemerintahan Bashar dikenal otoriter dan represif. Itu memicu perlawanan rakyat yang meluas,” ujar dia.
Di sisi lain, kata Musthafa, secara eksternal, Suriah menjadi medan proxy war antara Amerika Serikat dan Rusia dalam perebutan kendali Jalur Sutra,” paparnya. Menariknya, Dr. Musthafa juga menyinggung bahwa setelah Taliban berkuasa, Barat mulai lebih ‘fleksibel’ dalam menerima pemerintahan kaum jihadis.
Sementara itu, pakar geopolitik Prof Hendrajit menawarkan perspektif geopolitik yang lebih luas. Dia menilai posisi strategis Suriah sebagai simpul Jalur Sutra dan kawasan penyangga bagi Israel menjadikannya rebutan kekuatan global.
Dia menjelaskan, Amerika Serikat dan Rusia terlibat langsung karena mereka punya kepentingan besar di sini. Pasca-kejatuhan rezim, biasanya Amerika Serikat mendorong demokrasi setengah hati (pseudo-democracy) yang justru memperpanjang konflik.
“Ini bagian dari proyek imperialisme baru yang memanfaatkan isu agama dan etnis untuk melanggengkan pengaruhnya di kawasan,” jelasnya.
Peneliti Modrasi Corner yang juga alumni Suriah, KH Hariri Makmun menutup sesi diskusi dengan mengangkat sisi kemanusiaan dari krisis Suriah. Dia menduga ada barter geopolitik antara Amerika Serikat dan Rusia di balik kejatuhan Bashar.
“Bashar dikorbankan sebagai kompensasi untuk stabilitas Rusia di Ukraina,” kata dia.
Padahal, sebelum konflik, kata dia,Suriah adalah negara yang damai, kaya budaya, dan menjunjung keberagaman agama,” ungkapnya. Harapan Hariri, pemerintah transisi yang terbentuk nantinya dapat mengembalikan Suriah ke masa-masa keemasan itu.
Ketua Panitia, Dr KH Ahmad Zubaidi, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Dakwah MUI menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah langkah konkret Komisi Dakwah MUI untuk menghadirkan analisis strategis terkait isu-isu dunia Islam.
“Forum Dai ASEAN yang baru kami perkenalkan ini bertujuan mempererat solidaritas dai di kawasan, sekaligus menyebarkan perdamaian melalui dakwah. Tema ini diangkat agar kita bisa mengambil pelajaran penting dari krisis yang terjadi di Suriah,” tuturnya. (MUID)