View Full Version
Rabu, 25 Dec 2024

Feminisme dan Delusi Kesetaraan Gender

BANDUNG (voa-islam.com) - “Feminisme bermula dari ketertindasan, berjalan dengan kemarahan dan bermuara pada kebencian pada lelaki. Bagi mereka jika dulu perempuan tertindas oleh laki-laki maka sekarang perempuan yang harus berada diatas laki-laki,” ujar Anila Gusfani, Alumnus SPI Jakarta, saat menyampaikan perspektif kaum feminis pada materi Feminisme dan Gender di kuliah Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung Angkatan 10. Pertemuan itu diselenggarakan pada Kamis malam (19/12) di Ruang Tafsir Masjid Istiqomah Bandung.

Dalam kelas malam itu, Anila tidak hanya memaparkan konsep feminisme dan gender menurut perspektif Islam tapi juga berdasarkan perspektif Barat. Feminisme dapat didefinisikan sebagai cara perempuan melihat dunia, dimana perempuan melihatnya dari perspektif perempuan, memusatkan perhatiannya pada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga sosial, ekonomi dan politik. Kemudian ia juga menjelaskan mengenai asal-usul feminisme hingga sejarah perkembangan gerakan feminisme serta kaitan eratnya dengan isu gender.

“Istilah feminisme dan gender memiliki tujuan yang sama. Sama-sama menuntut persamaan dan penyetaraan hak. Kenapa feminis butuh stigma gender untuk mengkampanyekan aksi mereka? Karena merak ingin meruntuhkan asumsi bahwa laki-laki dan perempuan telah ditentukan secara biologis dan supaya perempuan tidak dilihat lemah atau sebagai kebalikan dari laki-laki,” jelas pemateri sekaligus penggagas komunitas @baca_bareng itu.

Pertemuan ketiga kelas SPI Bandung semester genap disambut antusiasme murid. Hal ini tergambar dari sesi tanya-jawab di kelas dan saat wawancara pada murid SPI yang menghadiri pertemuan itu.

“Materi semalam membuka pikiran kita tentang apa itu gender dan feminisme. Materi ini harus banyak disebarkan agar muslimah kita faham bahwa ada bahaya mengintai dibalik kata-kata feminisme. Tidak lain tidak bukan tujuannya adalah LGBT yg jelas bertentangan sekali dengan Islam. Banyak kampanye kaum feminisme ini yg membawa ayat-ayat Qur'an, para shahabiyah, bahkan Rasulullah. Padahal di dalamnya mereka menjatuhkan Islam, mereka membawa ayat-ayat untuk melindungi mereka dengan mengaburkan arti dan maknanya. Saatnya kita bangun, ini bahaya laten yg mengintai akidah kita dan ilmu adalah solusinya” ujar Safina.

Tindakan-tindakan kaum feminis yang mencoba untuk mencari pembelaan dengan menyalahgunakan dalil Al-Qur’an dan membenturkan peran laki-laki dan perempuan menuai banyak kritikan karena dinilai menerjemahkan dalil terlalu subjektif dan tidak berdasarkan kaidah yang benar. Jeje, seorang alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sekaligus content creator,yang juga hadir pada kelas tersebut berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan yang didasari oleh luka yang penyikapannya tidak berdasarkan pemahaman yang benar, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tidak tepat.

“Melihat bagaimana perkembangan ideologi feminisme itu seperti melihat perjuangan seseorang yang penuh dengan luka tapi tidak dibarengi dengan ilmu. Yang saya rasa justru semakin menambah luka. Memahami yang perlu mereka setujui aja, memperjuangkan yang mereka suka saja. Para feminist ingin hak-haknya sama ketika memimpin rumah tangga misalnya. Padahal dalam Islam Allah sangat memuliakan wanita dan qawwam ada pada laki-laki. Allah sudah menciptakan manusia dengan rupa dan jenis yang berbeda untuk saling melengkapi”, ujar Jeje.

Terakhir, Anila tidak lupa untuk mengingatkan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan erat kaitannya dengan peran dan fungsi yang Allah berikan pada keduanya. Penyetaraan dan penyamarataan peran laki-laki dan perempuan memiliki dampak negatif yang serius bagi umat. Hal ini dikarenakan definisi gender yang berpijak pada relativisme sehingga membuat manusia menjadi kebingungan dan kehilangan pandangan yang benar terhadap fitrah mereka dalam mengelola kehidupan pribadi dan sosial. (RA/Ab)


latestnews

View Full Version