

JAKARTA (voa-islam.com) - Suara lantang perempuan paruh baya itu membuat ruangan seketika hening. “Tidak adil!” teriak Amanatun Najariyah, penyintas Tragedi Tanjung Priok 1984. Ia menolak keras rencana pemerintah menjadikan Soeharto pahlawan nasional, karena luka dan ketidakadilan yang ia rasakan belum pernah ditebus.
“Ada tidak suratnya? Ada tidak perintahnya penangkapan ini? Terus kakak saya mau dibawa ke mana?” serunya, mengenang detik-detik kelam ketika aparat Orde Baru menyeret keluarganya tanpa alasan yang jelas.
Ruangan yang semula riuh langsung sunyi. Amanatun memperagakan bagaimana seorang ‘komandan’ menodongkan pistol kepadanya. “Ini mau sikat gigi kan,” ujarnya sinis, sambil membuka tas kecil, memperagakan momen menegangkan itu.
Kisah tersebut bukan rekayasa. Itulah fragmen pahit yang dialaminya saat dijemput paksa dan dijebloskan ke penjara militer pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Kini, di usianya yang tak lagi muda, Amanatun menyuarakan kembali luka masa lalu dalam diskusi bertajuk #SoehartoBukanPahlawan, Rabu (5/11/2025).
Dengan nada bergetar, ia menolak keras wacana pemerintah yang ingin menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Saya tidak rela kalau Soeharto itu dijadikan pahlawan, karena saya sendiri sampai sekarang tidak mendapatkan pengadilan yang hak untuk diri saya,” tegas Amanatun.
Menurutnya, penolakannya bukan sekadar karena dendam masa lalu, melainkan karena keadilan yang belum juga ditegakkan.
“Kemudian dijebloskan di kantor polisi, diinterogasi sampai pagi. Saya melihat penyiksaan kepada kakak saya dan teman-teman yang ada,” katanya mengenang.
Amanatun menuturkan bagaimana para tahanan kala itu diperlakukan tidak manusiawi. Makanan dilemparkan begitu saja, dan sel yang ditempati lebih mirip kandang hewan.
“Saya melawan, melindungi diri. Tadinya mau ditelanjangi di hadapan teman laki-laki semuanya,” tambahnya.
Saat peristiwa itu terjadi, Amanatun baru berusia 27 tahun. Ia menyaksikan langsung kekejaman aparat terhadap warga sipil.
“Di Priok itu (korban) dilindas pakai tank, bekasnya remuk sekali dan sudah jadi serpihan-serpihan,” katanya pilu.
Bagi Amanatun, menyebut Soeharto pahlawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap para korban dan keluarga yang masih menanggung trauma.
“Dengan kondisi seperti itu, pantaskah seorang pemimpin, seorang negarawan kemudian memperlakukan rakyatnya seperti itu? Terus dia punya kebaikan yang satu, terus dijadikan pahlawan, tapi semua perbuatannya jelek, apa bisa masuk akal tidak kalau dia itu seorang pahlawan?” tandasnya.
Di sisi lain, pemerintah tetap bergeming. Menteri Kebudayaan RI sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, memastikan bahwa nama Presiden ke-2 RI, Soeharto, memenuhi syarat sebagai calon Pahlawan Nasional.
Hal itu disampaikan Fadli usai melaporkan hasil seleksi calon penerima gelar pahlawan kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Menurut Fadli, pengusulan gelar pahlawan berasal dari masyarakat dan melewati proses panjang dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat.
“Semua 49 nama ini memenuhi syarat. Perjuangannya jelas, latar belakangnya, riwayat hidupnya sudah diuji secara akademik, secara ilmiah, melalui beberapa tahap,” ujar Fadli.
Nama Soeharto sendiri, kata dia, sudah diusulkan tiga kali, dengan dasar kontribusinya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang disebut menjadi tonggak pengakuan dunia terhadap eksistensi Indonesia.
“Termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan. Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret yang menjadi tonggak Indonesia bisa diakui eksistensinya oleh dunia,” tambahnya.
Saat ditanya soal kontroversi pelanggaran HAM dan tuduhan genosida yang menodai nama Soeharto, Fadli menegaskan:
“Enggak pernah ada buktinya kan. Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” kata Fadli.
Ia menekankan bahwa penilaian gelar pahlawan harus berlandaskan fakta sejarah dan jasa, bukan opini politik.
“Kita bicara sejarah, fakta, dan data. Semua yang diusulkan ini datangnya dari masyarakat dan sudah ada kajian berlapis. Jadi soal memenuhi syarat, itu sudah memenuhi syarat,” ucapnya.
Dari 49 nama yang dikaji Dewan GTK, 24 nama diprioritaskan untuk disampaikan kepada Presiden Prabowo. Daftar akhir penerima gelar akan ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025. (TRBN)