(VOA-ISLAM) - Sejarah menunjukkan, bahwa masyarakat Maluku (1945-1950) terbagi dalam dua kutub. Muslim Maluku umumnya mendukung perjuangan Republik di Jawa dan Sumatera. Sedangkan, warga Kristen umumnya mendukung Belanda, karena banyak sanak keluarganya berjuang dipihak KNIL (eks tentara Belanda).
Pada masa itu, banyak tokoh Kristen di Ambon menolak Republik Indonesia (RI), dengan alasan yang cukup sedehana, yakni tidak ingin dipimpin orang Jawa atau Sumatera yang beragama Islam. Oleh sebab itulah, mereka memilih untuk memberontak melawan pemerintah RI dan mendukung berdirinya Republik Maluku Sarani (RMS).
Dukungan umat Kristen ketika itu terhadap gerakan separatis RMS ini benar-benar diwujudkan dengan melakukan serangan dan pembantaian terhadap desa-desa Islam dan umat Islam.
Desa Kailolo, Desa Latu dan Hualay, Desa Lisabata, desa-desa Islam di Huamual, yaitu Desa Luhu, Iha dan Ketapang dibakar habis, umat Islam dikejar dan dibantai. Sejumlah umat Islam asal Jawa dan Sumatera dibunuh secara keji oleh tentara RMS. Atas kesigapan TNI, maka aksi RMS dapat dipatahkan. Pada 11 November 1950, Kolonel A.E Kawilarang memimpin pasukan TNI dan berhasil mematahkan aksi gerakan separatis RMS.
Sejak itu, Dr. Chr. Soumokil dan Ir. Manusama melarikan diri ke Negeri Kincir, Belanda dan membentuk pemerintahan RMS. Di pengasingan, keduanya berniat untuk merebut kembali Maluku bagian selatan (Ambon, Lease, Seram dan pulau-pulau di sekitarnya) sebagai wilayah kedaulatan RMS.
Konflik antara Kristen dan Islam yang terjadi di Maluku dewasa ini bukan fenomena baru. Konflik itu lahir dari politik pemerintah Kolonial Belanda (Devide et Impera). Umat Kristen di Maluku memang dimanjakan oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga mendapat kesempatan menikmati pendidikan, belajar bahasa melayu, diperbolehkan memasuki jajaran aparat pemerintah dan boleh memasuki dinas militer kolonial (KNIL), sementara umat Islam adalah musuh Belanda yang merupakan musuh Kristen (Protestan).
Modus Penyerangan
Jika mempelajari modus sebelumnya, ternyata setiap kali penyerangan umat Kristen terhadap umat Islam di Ambon, selalu dibarengi dengan moment-moment tertentu. Masih segar dalam ingatan, ketika umat Islam diserang pada tanggal 19 Januari 1999 -- saat umat Islam sedang larut dalam suasana Idul Fitri (1 Syawal 1419 H) – rupanya moment itu adalah bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-49 RMS (18 Januari 1950-18 Januari 1999).
Benar saja, Ahad lalu, tepatnya pada 11 September 2011 di Ambon, bentrokan itu bertepatan dengan peringatan tragedy 9/11 di Amerika Serikat. Dari sini, umat Islam bisa belajar dari modus-modus yang mereka gunakan untuk dijadikan moment yang tepat, menghabisi umat Islam.
Mengamati kerusukan di Maluku secara objektif, ditemukan sejumlah tanggal-tanggal tertentu yang dimanfaatkan sebagai momentum yang penting untuk melakukan penyerangan terhadap umat Islam.
Sejarah mencatat, Tragedi Idul Fitri Berdarah itu diprakarsai oleh umat Gereja Protestan Maluku (GPM) dibawah kendali pemerintah RMS di pengasingan dan mendapat dukungan elit politik nasional maupun local asal Maluku (Kristen) serta elit birokrasi pusat dan daerah (yang beragama Kristen).
Sebenarnya, hanya beda tipis, waktu yang dijadikan moment terjadinya bentrokan. Jika tahun 1999 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, sedangkan bentrokan kemarin terjadi beberapa hari setelah Idul Fitri.
Juga ingat serangan pada tanggal 1 Maret 1999 (Subuh berdatah di Masjid Muhajrin di Kampung Rinjani). Serangan itu, mengingatkan kita kepada serangan Fajar di Yogjakarta. Juga perlu diwaspadai dengan moment Hari Pattimura tanggal 15 Mei 1999.
Ini menunjukan, kerusuhan yang terjadi di Maluku memiliki keterkaitan, bahkan didukung oleh sebuah rancangan yang matang di bawah kendali sebuah gerakan separatis yang mendapat dukungan luar negeri. Satu hal, salah satu modus mereka adalah melakukan penyerangan secara bergelombang dan berlapis. Hit and Run (pukul dan lari) saat ini bisa dikatakan sebagai modus baru. (Desastian/dbs)