Pelanggaran HAM Serius Densus 88 Di Poso: Komisi III DPR-RI Tidak Serius
Oleh; Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
(The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Desakan evaluasi kinerja Densus 88 dan BNPT menggelinding makin besar. Hampir semua komponen (kelompok) umat Islam mendukung langkah ini, bahkan kelompok yang selama ini dianggap cukup “moderat” juga ambil sikap.
Tokoh ormas dan MUI juga bergerak, bahkan mendatangi Mabes Polri dan menayangkan video bukti perilaku Densus 88 yang tidak pada tempatnya. Komisi III DPR-RI juga kerap disambangi oleh beragam kelompok untuk menggugat eksistensi Densus 88, hingga muncul wacana dan rencana pembentukan Panja untuk kasus kebiadaban Densus 88.
Di sisi lain, Komnas HAM juga turun tangan melakukan pemantauan dan investigasi terkait penanganan terorisme oleh Densus 88 dibeberapa daerah mulai dari Poso, Dompu-Bima, Makassar dan Solo.
Bahkan secara spesifik melakukan investigasi terkait kebenaran isi video kekerasan Densus 88 di Poso 22 Januari 2007.Dan kemudian mengeluarkan pernyataan (18 Maret 2013) yang berisi 8 (delapan) rekomendasi kepada Mabes Polri dan beberapa pihak terkait.
Lantas bagaimana action Komisi III DPR-RI untuk menindak lanjuti temuan Komnas HAM dan desakan berbagai pihak untuk evaluasi kinerja Densus 88 dan BNPT? Sementara kesabaran berbagai komponen umat Islam yang direpresentasikan oleh para tokohnya sudah menipis.
Mereka sudah sampai kesimpulan Densus 88 dan BNPT perlu di bubarkan, minimal dilakukan evaluasi seluruh kinerja dan keuangan mereka.
Di sini kita mencoba melihat secara obyektif, benarkah wakil rakyat itu wakil partai dan serius mengadvokasi rakyat yang terdzalimi. Atau sebaliknya kita akan melihat bahwa wakil rakyat hanyalah tangan panjang kepentingan politik tertentu. Orang-orang opuntunir yang demikian mudah menari diatas derita rakyat jelata
Rencana Komisi III DPR akan turun ke Poso sudah banyak pihak mengetahui, tanggal 1-3 April adalah pilihan waktunya. Terkait kunjungan ini, Kapolda Sulteng Brigjen (pol) Dewa Parsana menyampaikan kondisi keamanan Poso tidak kondusif. Namun kondisi versi Kapolda ini tidak menyurutkan rencana kunjungan DPR-Komisi III, mereka akhirnya mendarat di Palu dan Senen, 1 April 2013 rombongan sudah berada di kota Palu.
Kenapa Tidak ke Poso?
Dari penulusuran CIIA terkait agenda Komisi III di Palu; rombongan Komisi III di pimpin oleh al Muzammil Yusuf, Anggota; Adang Darajatun, Ruhut Sitompul, Imam Suroso, Nudirman Munir, Syarifuddin Suding, Bahar, Desmond Panjaitan. Bersama staf 4 orang (3 laki dan 1 perempuan), plus seorang dari parelemen TV. Jadi total 13 orang, mereka semua menginap disalah satu hotel berbintang di Palu, tepatnya Hotel Santika Palu.
Sebuah hotel bintang tiga (3) untuk ukuran di daerah seperti Palu sudah termasuk sangat mewah dan hanya bisa dijangkau kelas menengah keatas, dengan tarif rata-rata/malam 544.000-670.000 ($62), bahkan ada yang tarifnya 1 (satu) jutaan/malam.
Hari Senen, 1 April 2013 sekitar jam 17.00 wita salah satu staf Komisi III bernama Bapak Insan menghubungi beberapa pihak termasuk salah satu tokoh masyarakat Poso al Ustad Adan Arsal bahwa rencana pertemuan Komisi III di Poso di batalkan.
Komisi III menginginkan pertemuan di adakan di kota Palu tepatnya di Hotel Santika, dan meminta perwakilan masyarakat Poso dari para tokoh masyarakat dan ormas untuk ke Palu.Sontak rencana ini di tolak oleh tokoh Poso al Ustad Adnan Arsal bersama tokoh-tokoh lainya, karena dipandang sangat tidak efektif dan tidak logis.
Alasan dari Komisi III membatalkan kunjungan ke Poso karena faktor teknis dan efektifitas (waktu dan jarak) juga tidak masuk akal bagi representasi masyarakat Poso. Dari pihak Polres atas arahan Polda mencoba melobi pihak yang dianggap bisa memediasi komponen di Poso, Polres menyiapkan kendaraan dan siap mengawal dan memberangkatkan dari Polres Selasa pagi 2 April 2013 untuk rombongan yang mau ketemu Komisi III di Palu. Namun rencana ini juga tidak diaminkan.
Penulusuran CIIA lebih jauh, di hari Selasa pagi selepas subuh mendapatkan informasi dari salah satu staf Komisi III bahwa rombongan Komisi tetap membatalkan kunjungannya ke Poso dan rencana akan membuat agenda pertemuan tertutup di Palu (Hotel Santika). Dan benar, akhirnya pertemuan tertutup itu dilaksanakan di salah satu ruang metting hotel Santika-Palu di lantai 2 yang kapasitas kursinya untuk sekitar 20 orang.
Pertemuan: formalitas kunjungan?
Di hari Selasa, 2 April 2013 sekitar pkl. 11.00 s/d– 13.00 wita akhirnya pertemuan tertutup itu dilaksanakan. Awak media juga tidak di izinkan meliput. Kegiatan di jaga ketat oleh pihak keamanan Polda Sulteng.Yang hadir dalam agenda tertutup itu:
Dan dari rombongan Komisi III hadir lengkap total 13 orang. Petemuan tersebut di pimpin (moderator forum) oleh al Muzammil Yusuf. Dengan duduk dibelakang meja yang membentuk huruf “U” dengan posisi moderator Al Muzammil di ujung tengah dan dibelakangnya duduk 3 orang staf, sementara anggota Komisi III lainya duduk berhadapan dengan anggota Panja DPRD dan lainnya.
Agenda pertama; dengar pendapat dari peserta yang hadir, dimulai dari Pimpinan Panja (DPRD Kab Poso) secara bergiliran seluruh anggota, kemudian 2 orang istri polisi korban penembakan, lalu dari perwakilan satu ormas yang hadir (yang awalnya diminta untuk memediasi pertemuan).
Kemudian dilanjut agenda kedua; komentar dan penggalian informasi dari Pihak Komisi III juga secara bergiliran dimulai dari Adang Darajatun hingga Desmond. Pertemuan di akhiri dengan klosing statemen atau tambahan dari Panja (DPRD Kab Poso) menanggapi komentar dari komisi III.
Dari pertemuan tertutup tersebut ada empat point pernyataan menarik dari Panja DPRD Kab. Poso di hadapan Komisi III;
Pertama; Adanya penembakan-penembakan yang terjadi di poso belum terungkap pelakunya aparat sudah melakukan penyisiran, penangkapan dan penyiksaan terhadap warga.
Kedua; Adanya stigma Teroris kepada yang di duga Pelaku penembakan menimbulkan sikap yang berlebihan dari densus 88.
Ketiga; Adanya penamaan Gunung Biru, yang sering disebut aparat sebagai tempat berlatih kelompok teroris, padahal mereka itu petani biasa. Terus kami sendiri tidak mengetahui di mana letak Gunung Biru itu. Nanti muncul ketika kasus penembakan terhadap polisi meledak.
Keempat; Permintaan dari Forum Umat Islam Poso untuk pengembalian (rehabilitasi) nama baik orang yang disiksa oleh polisi tersebut.
Dan gugatan juga disampaikan oleh salah satu peserta pertemuan (Bapak Sardi);
Pertama; Kenapa acara diadakan di Palu, padahal membahas masalah Poso. Padahal ia sudah memediasi kegiatan di Poso dengan mengundang atau mengumpulkan ormas-ormas, tokoh masyarakat, korban penyiksaan dan keluarga korban penembakan di Poso. karena itu mereka sangat kecewa karena komisi III batal tidak ke Poso. Peserta yang hadir belum mewakili suara masyarakat Poso untuk data bagi Komisi III.
Kedua; Dan ditegaskan lagi bahwa kehadiran orang-orang poso (DPRD dan istri korban) di sini itu belum mewakili suara orang Poso. Seharusnya kelompok yang dituduh teroris harus di hadirkan dan didengarkan oleh komisi III, apakah benar mereka teroris? Karena adanya stigma terorisme pada kelompok tertentu di Poso, menyebabkan sikap aparat berlebihan.
Dan di akhir pertemuan anggota Komisi III memberikan alasan dan jawaban atas pernyataan yang muncul;
kemudian di timpali peserta lainnya (bernama Amirudin, akademisi Univ. Tadulako Palu); “Yakni yang lainnya adanya stigma terorisme kepada organisasi tertentu di Poso, sehingga aparat arogansi dan reaksi berlebihan. Ini yang perlu di luruskan, apakah di Poso itu sarang teroris? Itu belum terbukti”.
Pertemuan selesai selesai sekitar jam 13.00 wita dan Komisi III melanjutkan pertemuan dengan Kapolda Brigjan (pol) Dewa Parsana sekitar jam 14.00 wita. Dari fakta-fakta diatas ada beberapa catatan penting terkait kinerja dan sikap wakil rakyat menyangkut persoalan Poso;
Pertama; keukehnya Komisi III memilih Hotel Santika-Palu menjadi tempat pertemuan mengindikasikan ketidak seriusan wakil rakyat untuk mencerap masukan dari masyarakat Poso langsung.
Kalau alasan efesiensi waktu atau kendala jarak dan waktu ini sangat tidak logis. Kalau orang DPRD Kab. Poso bisa ke Palu sebaliknya kenapa rombongan Komisi III tidak bisa ke Poso? sama-sama wakil rakyat, kalau karena faktor keamanan buktinya anggota Panja DPRD Kab. Poso juga bisa sampai di Palu dengan selamat setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam via darat dengan medan berbukit.
Dan sepanjang perjalanan tidak ada penghadangan atau bentuk terror lainnya.Di sini menjadi bukti yang menggugurkan “gosip” dari Kapolda Sulteng yang menyatakan kondisi kemanan Poso tidak kondusif.
Maka wajar kalau tokoh-tokoh masyarakat di Poso menolak untuk memenuhi undangan Komisi III di Hotel Santika-Palu. Terkesan wakil rakyat tidak mau repot dan susah-susah, berlagak bos dan rakyat melayani mereka.
Kedua; fakta pernyataan yang disampaikan oleh anggota Panja DPRD Kab. Poso belum menyentuh persoalan krusial yang terkait hasil investigasi Komnas Ham. Mereka berputar hanya masalah kasus Kalora, sementara kasusnya tidak hanya sebatas itu. Ada masalah Kalora, ada masalah kejahatan Densus di Tanah Runtuh 22 Januari 2007 (seperti yang diunggah dalam video berdurai 13 menit) dan lainya (seperti 8 point rekomendasi Komnas HAM tanggal 18 Maret 2013).Disisi lain, kalau bisa menghadirkan keluarga korban dari pihak Polisi kenapa tidak bisa menghadirkan dari keluarga korban kekerasan aparat (Densus88)? Tentu ini tidak balance (seimbang).
Ketiga; di balik keenganan Komisi III turun ke Poso sejatinya (dugaan kuat) karena ada upaya sistemik untuk mengganjal upaya penghentian kebiadaban Densus 88 melalui anggota wakil rakyat (DPRD).
Rencana panja bisa menguap, sementara wujudnya panja adalah bagian dari langkah penting untuk mengadvokasi kasus tindakan aparat penegak hukum dilapangan khususnya Densus 88.
Dari pernyataan bahwa berdasarkan survey LSI Densus 88 masih dibutuhkan, ini sangat klise. Persoalan kejahatan dan pelanggaran tidak bisa di nilai berdasarkan survey dengan koresponden random beragam pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap satu persoalan. Ini logika dengkul yang sengaja mendangkalkan persoalan.
Keempat; inilah potret kwalitas wakil rakyat yang memprihatinkan, TKP di Poso namun mereka enggan ke Poso karena kendala teknis. Dan alasannya besok harinya harus ke Jogya (kasus Cebongan), maka apakah kasus Poso yang berdarah-darah dan menahun ini tidak lebih penting dan mendesak dibanding kasus Cebongan?
Maka dari sini masyarakat sulit rasanya mengantungkan harapan jika kinerja seperti diatas dan dengan uang rakyat mereka menikmati keenganan semua itu.Lebih-lebih masyarakat melalui media TV, menonton berita perilaku anggota dewan saat rapat ada yang tidur, merokok, baca Koran, main handphone dan lebih parah lagi banyak yang absen.Ini mulai dari DPR pusat sampai DPRD.Lantas apa yang bisa di harapkan dari kinerja seperti itu? Lebih khusus untuk urusan Poso, wakil rakyat (melalui Rombongan Komisi III) kembali telah menorehkan rasa kecewa yang mendalam pada masyarakat Poso dan “pengkhianatan” atas nama rakyat.
Oleh karena itu perlu pengawalan terus menerus dan tekanan publik lebih massif oleh banyak pihak untuk menuntaskan kasus kajahatan kemanusian oleh Densus88 yang sudah diluar batas ini. [Ahmed Widad]