View Full Version
Selasa, 11 Jun 2013

CIIA: Indonesia Telah Berubah Menjadi State Terrorism

Densus 88 Menebar Teror Paska Bom Mapolres Poso

Oleh: Harits Abu Ulya

Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA

VOA-ISLAM.COM - Sangat memprihatinkan! inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan langkah aparat keamanan khususnya Densus 88 dalam mengurai teror di Poso. Paska peristiwa bom Mapolres Poso (3 Juni 20130), aparat Densus 88 dibantu aparat kepolisian setempat secara intensif menggelar operasi terbuka dan tertutup.

Tak pelak akhirnya melahirkan kondisi ketidaknyamanan bagi masyarakat Poso, apalagi cara-cara yang dipertontonkan oleh aparat Densus 88 cenderung arogan. Bahkan akhirnya memicu kemarahan warga muslim Poso kota, otomatis makin memperkeruh suasana.

Tindakan-tindakan law enforcement yang mengedepankan kekerasan dengan target orang yang baru terduga berujung pada kematian target, membuat masyarakat Poso marah. Bahkan menarget Mapolres Poso menjadi sasaran amuk. Tidak lain karena ulah aparat Densus 88 main tembak terduga hanya dengan alasan membahayakan petugas dilapangan.

Dari Mabes Polri seperti biasa bagian penerangan/Humasnya (Brigjen.Pol, Boy Rafli) juga memberikan keterangan di depan insan media tentang kronologi dan alasan aparat keamanan kenapa harus melumpuhkan target hingga tewas. Dan media mengaminkan, bahkan media seperti TV One ambil peran untuk memutar balik fakta serta bernafsu menyudutkan masyarakat Poso dan mendewakan aparat Densus 88.

Kita yakin sekarang masyarakat cukup cerdas menyikapi, tidak begitu mudah mempercayai begitu saja opini dan propaganda media (seperti TV One, dll) dalam isu terorisme secara umum maupun kasus yang ada di Poso. Dari penelusuran  CIIA dilapangan didapatkan fakta realita yang berbeda, berikut kronologi  peristiwa kekerasan aparat Densus 88 di Poso (SenIn, 10 Juni 2013):

  1. Sekitar Pukul 15.35 wita terduga yang bernama Ahmad Nudin mengendarai motor Revo DN 4159 EI yang sudah di buntuti oleh aparat Densus 88 melintas di Jalan. P Seram.Terduga pulang dari sholat Ashar di Masjid al Muhajirin.
  2. Sekitar pukul 15.40 wita ketika target (terduga) sampai di Jalan. P Irian tepatnya di depan  lorong jalan P. Seribu, motor dengan pengendaranya (terduga) tersebut ditabrak oleh Densus 88 dengan mobil yang telah membuntuti sebelumnya.
  3. Setelah motor dan terduga terjatuh yang berjumlah dua orang sempat melarikan diri masuk kea rah lorong P.Seribu.
  4. Karena melihat terduga lari, kemudian Densus 88 melepaskan tembakan  sebanyak 7 kali lebih. Dan akhirnya 1 (satu) orang berhasil di tangkap dengan luka tembak di beberapa bagian. Dan 1 (satu) lagi berhasil melarikan diri. Sementara sepeda motor yang di pakai oleh terduga tertingal di TKP dan kemudian di amankan oleh anggota koramil Poso kota.
  5. Akhirnya berita menyebar ke masyarakat Poso dan membuat situasi memanas  karena bunyi tiang listrik dipukul bertalu-talu oleh massa.Hingga pukul 20.00 WITA bentrok terjadi antara warga Muslim Poso dengan bersenjatakan batu menghadapi aparat kepolisian dan TNI di desa Kayamanya. Bahkan kemudian sebagian masyarakat yang marah atas tindakan aparat Densus 88 bergerak ke arah Mapolres Poso dengan membakar ban bekas.
  6. Masyarakat yang bergerak ke arah Mapolres Poso menuntut jenazah salah satu korban tewas tetapi tidak di penuhi.
  7. Temuan di lapangan warga Poso yang tewas (Ahmad Nudin) yang dituduh teroris di eksekusi Densus 88 dalam kondisi tidak berdaya. Korban tidak dalam posisi melawan untuk menembak petugas atau mengeluarkan tembakan seperti yang di ungkapkan Brigjen Boy Rafli di Jakarta, tapi fakta yang terjadi adalah terduga  melarikan diri. Dan korban tidak sama sekali bersenjata seperti yang di tuduhkan oleh aparat dan diaminkan oleh media TV. Bahkan TV  One mengumbar kebohongan ke publik dengan menuduh terduga yang tewas telah melepas tembakan 6 (enam) kali. Ini dusta semua.

Dari peristiwa diatas sangat patut disesalkan, seolah-olah jalan persuasive dan dialog bukan lagi jalan bagi orang-orang berakal untuk menyelesaikan masalah. Arogansi kekuasaan menjadi penentu benar dan salah atas rakyat jelata.

Kalau kita berfikir obyektif, kenapa aparat tidak menjunjung supremasi hukum? Benarkah mereka yang terbunuh adalah teroris? Jikapun benar bahwa mereka adalah teroris apakah mereka layak harus di bunuh? Sejauh apa level keterlibatan mereka dalam kasus terorisme hingga layak begitu saja harus tewas di eksekusi? Apalagi di bunuh diluar prosedur pengadilan. Bukankah negara ini (Indonesia) menganut negara hukum? Dan setiap warganya dijamin sama di hadapan hukum bahkan harus di jamin dengan azas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Bisa saja seseorang menjadi buron dan target karena di temukan alat bukti, saksi yang bisa mengarah dan menjeratnya. Bahkan menyangkanya, kemudian mengadilinya. Akan tetapi sebelum pengadilan mengetok palu bahwa seseorang di vonis bersalah maka tetap saja dia bebas dari segala tuduhan dan harus dijamin dari segala bentuk tindakan yang malanggar hak azasi mereka.

Logika pengadilan yang berjalan juga masih memberikan ruang dan kesempatan bagi tervonis untuk kasasi bahkan sampai naik ke grasi. Semua orang juga mengetahui, tida semua terduga bisa menjadi tersangka, dan tidak semua tersangka  kemudian berubah menjadi terdakwa. Dan tidak semua terdakwa kemudian bisa di vonis salah seperti tuduhan jaksa hingga harus menjadi narapidana. Dilapangan banyak kasus salah tangkap dalam isu terorisme, itu harus di akui.

Dari semua terduga teroris versi Densus 88 dan BNPT yang tewas,adakah  mekanisme yang bisa membuktikan bahwa benar-benar mereka teroris?. Yang terjadi adalah drama (sandiwara) pengadilan atas orang yang sudah membujur kaku bahkan sudah terkubur diliang lahat. Sebuah kejahatan yang luar biasa!.

Para pemegang kebijakan (Presiden, Kapolri, DPR) harusnya serius mau mengkaji dan evaluasi ulang pola-pola penindakan yang dominan mengedepankan kekerasan oleh aparat Densus 88. Karena kekerasan produk aparat telah melahirkan sikap antipasti masyarakat terhadap aparat penegak hukum (Polisi).

Lihatlah Poso, begitu Densus 88 buat ulah kemudian pergi, sisanya adalah kebencian masyarakat muslim Poso dan akhirnya di generalisir menempatkan semua aparat kemananan di Poso adalah musuh. Inilah realitasnya, jika tidak disadari dan ada perubahan langkah yang lebih bijak proporsional dan tepat, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kekerasan yang terjadi adalah fabrikasi secara sistemik dan meluas. Indonesia telah berubah menjadi “state terrorism”. [CIIA/11 Juni 2013]


latestnews

View Full Version