Konspirasi dan konstleasi negara akan semakin memanas menjelang Pemilu, semua pihak pemburu kekuasaan akan membombardir opini melalui jaingan media yang dibayarnya.
Demikian halnya dengan social media yang dibangun untuk memperkaya serangan opini empunya proyek. Akhirnya media koran, majalah, tabloid, televisi, radio, internet hingga media sosial akan menjadi seperti media bayaran, alias media bodrek.
Kata bodrek diambil dan disematkan kepada wartawan yang bisa menerima suap dan memberitakan berita sang cukong. Jadilah disebut wartawan bodrek yang ditangannya kebenaran ilmiah atau fakta kebenaran menjadi kabur dengan counter issue wartawan dan media bodrek. Akibatnya kebenaran menjadi mentah karena gempuran kartel media pro Amerika dan Yahudi, karena apabila ada fakta kebenaran kita tulis sepuluh halaman terkait diktator korup akan menjadi bias dan mentah kembali serangannya hanya karena jawaban sepele, yaitu bantahan atau sanggahan bahwa dia tidak melakukan korupsi yang di muat satu halaman atau setengah halaman media. Kebenaran harus tetap ditegakkan dan tak boleh kalah dengan sanggahan.
Hendra Boen mengungkap pemberitaan Tempo yang memakai standar jurnalisme Amerika Serikat. Bahkan para petinggi-petinggi Tempo seperti Gunawan Muhammad (GM) dan Bambang Harymurti (BHM) mengagung-agungkan kartel media yahudi Amerika yang menguasai 96% opini psywar warga Bumi.
Tempo maupun Gunawan Mohammad (GM) ternyata hanya sekelas wartawan bodrek yang memberitakan berita pesanan.
Latar belakang GM yang bagian dari klik LBH Jakarta ini memang kelam, GM menerima dana-dana dari Amerika berjumlah jutaan dolar sejak tahun 1970 sampai jatuhnya Pak Harto untuk memberitakan semua hal yang jelek tentang Indonesia pada umumnya dan Pak Harto pada khususnya supaya menciptakan image bahwa orde baru sangat buruk sehingga harus dihancurkan dan pemerintah asing dapat masuk dan menjajah Indonesia.
Gunawan Muhammad menerima dana-dana dari Amerika berjumlah jutaan dolar sejak tahun 1970 sampai jatuhnya Pak Harto
Tempo menjadi benar-benar media bodrek kelas kakap karena fakta lain yang benar dari tulisan “Jilbab Hitam” adalah Tempo menerima uang dalam jumlah besar dari Edwin Soerjadjaja untuk memberitakan kasus Asian Agri dan mendiskriditkan pengusaha bernama Sukanto Tanoto alias Kang Ho.
Indikasi hal ini terbukti dengan hasil penyadapan terhadap telepon wartawan Tempo yang menangani proyek penghancuran Asian Agri, yang mana terbukti yang bersangkutan meminta dan menerima uang dari anak Om William sebesar Rp. 100juta. Ketika ketahuan, Tempo beralasan bahwa uang tersebut adalah sumbangan dana menyewa pengacara dari si pengusaha untuk saksi kunci kasus Asian Agri, Vincent yang saat itu sedang terjerat kasus pidana penggelapan uang dalam jumlah besar di Asian Agri.
Alasan Tempo dan sang wartawan, Metta Dharmasaputra tersebut jelas dibuat-buat, sebab bila benar Vincent membutuhkan jasa hukum, dan Edwin mau membantu demi kemanusiaan, maka Edwin Soerjadjaja sebenarnya dapat dengan mudah meminta jajaran kantor hukum yang biasa dia sewa untuk membela Vincent dan biaya ditanggung oleh Edwin, atau bisa juga para pengacara tersebut memberikan jasa pro bono atau mengurangi biaya jasa hukum mereka, sehingga tidak perlu ada uang kontan masuk ke Tempo langsung.
Selain itu, Bambang Harimurti, dan Gunawan Muhammad maupun Tempo sangat dekat dengan ketua transparancy international, lembaga yang bergerak di bidang anti korupsi dan menerima dana asing. Ketua transparancy international ini memiliki kantor pengacara, dan bila memang benar dia aktivis anti korupsi dan bukan sekedar jualan jamu “anti korupsi” demi pencitraan dan menerima dana asing, maka tentu yang bersangkutan akan sukarela mendampingi Vincent demi membongkar “skandal pajak terbesar” Indonesia.
Kebenaran lain dari tulisan “Jilbab Hitam” adalah mengenai kedekatan Metta Dharmasaputra dengan pengusaha-pengusaha kaya raya Indonesia, sehingga dengan mudah dia bisa menjadi penghubung Tempo untuk meminta uang dari Edwin Soerjadjaja.
Untuk mengetahui seberapa dekat orang ini dengan para konglomerat kita harus kembali ke tahun 2005, di mana saat itu Metta Dharmasaputra bisa menghadiri acara ulang tahun perkawinan Lim Sioe Liong di Singapura dan memberitakannya untuk Tempo.
Hal di atas adalah prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab acara Om Liem tersebut sangat tertutup, rahasia dan eksklusif sampai-sampai undangannya sendiri khusus, yaitu koin emas murni yang dibuat khusus acara, yang harus dibawa untuk bisa masuk ke acara ulang tahun tersebut.
Ajaibnya seorang Metta Dharmasaputra yang saat itu masih wartawan junior bukan saja mendapat informasi jelas mengenai lokasi dan tanggal acara ulang tahun keluarga salim itu, tetapi juga berhasil mendapatkan atau dipinjamkan undangan berupa koin emas yang seharusnya hanya dimiliki pengusaha-pengusaha dan para pejabat yang diundang Om Liem, yang tentunya bukan orang sembarangan. Kemungkinan paling besar adalah seorang pengusaha saingan Om Liem mengabari Metta dan memberikan semua informasi yang diperlukan untuk hadir di acara tersebut dan memberitakan di Indonesia tentang bagaimana “kehidupan mewah” keluarga Salim di pengasingan. Pertanyaannya adalah mengapa dari semua wartawan di Tempo, si pengusaha gelap itu menghubungi Metta Dharmasaputra?
Dalam kasus Asian Agri juga demikian, Bambang Harymurti mengakui bahwa ketika Vincent sedang dalam pelarian karena mencuri uang perusahaan, yang bersangkutan menghubungi Metta via email, padahal saat itu mereka tidak saling kenal. Ini jelas aneh, di antara ratusan wartawan Tempo, entah bagaimana Vincent yang sedang dalam pelarian berinisiatif menghubungi Metta yang tidak dikenalnya.
Apakah mungkin pengusaha yang menggerakan dan mendanai Vincent untuk menyerang Asian Agri sama dengan yang memberikan undangan emas keluarga Liem kepada Metta? Kalau ternyata beda orang, maka sungguh hebat jaringan konglomerat yang dipegang Metta Dharmasaputra ini.
Melihat fakta-fakta di atas, maka tampaknya keputusan Orde Baru membredel Tempo majalah yang suka memfitnah demi uang itu sudah benar dan tepat.
Standar Media Amerika qq. Tempo adalah:
1. Isi berita tidak perlu benar selama disebutkan sumbernya. Sumber ini sendiri bisa tidak diungkap ke publik dengan alasan demi melindungi si sumber pemberitaan.
2. Bila ada yang keberatan dengan berita dapat mengajukan hak jawab atau mengadu ke dewan pers yang independen dan bebas dari intervensi negara.
3. Persoalannya adalah standar jurnalisme Amerika sangat rendah, dan dengan standar seperti itu maka setiap jurnalis bisa menulis berita bohong dan fitnah sekeji atau sevulgar apapun dengan cukup mengatakan “menurut sumber yang dipercaya”, dan siapapun yang dirugikan karena pemberitaan tidak bisa melakukan apapun juga sebab tulisan di atas sudah memenuhi standar jurnalisme, yaitu: tidak perlu benar, ada sumber berita walaupun tidak disebut yang mana tidak ketahuan apakah benar ada sumber atau tidak.
4. Bahkan kalaupun sumbernya disebutkan namanya, jurnalis tidak diwajibkan untuk memeriksa kredibilitas sumber berita maupun kredibilitas berita itu dan dia bebas. Jadi media massa seperti Tempo bisa mewawancara katakanlah orang gila di pinggir jalan dan si orang gila itu mengatakan “Keluarga SBY korupsi”, dan pernyataan orang gila ini sudah cukup dijadikan sebagai sumber berita dan berita tersebut valid menurut kode etik pers Indonesia.
5. Mengirim hak jawab juga tidak menyelesaikan masalah, sebab dewan pers yang dikuasai orang-orang Tempo itu telah mengeluarkan putusan bahwa media massa berhak menerbitkan hak jawab atau tidak dan berhak mengubah hak jawab tersebut sedemikian rupa sesuka hati media massa tersebut dan tidak ada yang bisa dilakukan pihak pengirim hak jawab untuk memprotes hal ini, padahal menurut aturan setiap media harusnya wajib memuat hak jawab.
6. Mengirim keluhan ke dewan pers juga sama saja sebab sesama anggota jurnalis memiliki semacam solidaritas yang tinggi untuk tidak menghukum sesamanya dan dengan standar pemberitaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga melindungi jurnalis, sehingga semakin meminimalisir dewan pers menghukum jurnalis karena pemberitaan.
7. Yang disebut sebagai “cover both side” juga sama saja, apakah ada pengaruh bila sepanjang sepuluh halaman lebih seseorang disebut diktator korup tetapi jawaban yang bersangkutan bahwa dia tidak korup hanya diletakan di satu halaman atau setengah halaman?
8. Silakan bandingkan kualitas kode etik pers era Orde Baru dan sekarang, maka akan kelihatan bedanya seperti bumi dan langit di mana kode etik jaman orde baru menjamin berita dari pers dibuat secara berimbang dan hati-hati namun dalam tekanan penguasa, sedangkan kode pers hari ini memastikan pers memiliki kebebasan dan imunitas penuh untuk memfitnah dalam tekangan mafia dan cukong.
Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Bila melihat perjalanan sejarah Indonesia tentu tidak bisa tidak kita harus menunjuk hidung Gunawan Muhammad, Tempo dan klik LBH Jakarta.
Bila diperhatikan, maka jelas isi artikel Jilbab Hitam memenuhi isi kode etik pers, dia ada sumber berita yang mana tidak diverifikasi benar tidaknya, akan tetapi hal ini sesuai etika pers, dan Tempo telah memberikan hak jawab mereka. (hboen/muhammad/voa-islam.com)