Minggu pagi awal Desember itu sebenarnya tidak ada niat dan keinginan saya untuk bicara atau memikirkan politik. Seusai berolah raga memukul si bola putih kecil di lapangan golf Kemayoran, saya berencana menghadiri acara perkawinan putra seorang teman dan menikmati liburan menonton film di Studio 21 bersama keluarga.
Namun memang sudah merupakan ‘kutukan’ kayaknya, usai selasaikan 9 hole dan baru saja duduk dan pesanan makan di club house, eh datang menghampiri seorang teman lama dari Surabaya. Ternyata beliau sedang berada di Jakarta bersama teman – temannya yang semuanya dosen dari Universitas Gajahmada Yogyakarta. Sahabat lama itu memperkenalkan ketiga temannya yang sudah semuanya berusia sekitar lima puluhan tahun. Kami pun larut dalam perbincangan.
Ketiga staf pengajar Fisipol UGM Yogayakarta itu tanpa diduga tiba – tiba bicara tentang Joko Widodo. Ya Joko Widodo atau lebih kita kenal dengan nama Jokowi. Yang sangat menarik dari pembicaraan kami itu adalah mengenai peran ketiga dosen UGM tersebut dalam ‘menciptakan’ sosok Jokowi sehingga menjadi ‘orang atau tokoh’ seperti yang kita ketahui selama setahun terakhir ini.
Jokowi dapat dikatakan sebagai hasil ciptaan ketiga dosen UGM ini. Mereka adalah dosen, ahli komunikasi massa dan ahli politik dari UGM Yogyakarta yang menjadikan Jokowi sebagai ‘eksprimen’ atau ‘kelinci percobaan’ dalam rangka menguji efektifitas sebuah pencitraan yang dilakukan secara sistematis dan akademis.
Meski demikian mereka mengungkapkan kekecewaan yang mendalam terhadap Jokowi yang mereka nilai lupa diri dan tidak memiliki hubungan manusiawi yang baik. Mereka juga menuduh Jokowi sebagai orang yang tidak tahu membalas budi dan mudah melupakan jasa orang lain.
Ketiga dosen tersebut mengatakan bahwa selama Jokowi menjadi gubernur Jakarta, tidak sekali pun mau menerima telpon dari mereka, apalagi mengharapkan Jokowi sudi menghubungi mereka. Sifat jokowi yang lupa diri, lupa balas jasa dan tidak menjaga pertemanan itu sudah nenjadi rahasia umum di kalangan sahabat – sahabat atau kolega – kolega Jokowi di Solo dan Jawa Tengah.
”Sejak Jokowi jadi Gubernur Jakarta perangainya memang jauh berubah. Kita kenal betul karakter Jokowi, namun dulu tidak separah ini” ujar salah seorang dari mereka. Mendengar ekspresi kekecewaan orang – orang yang telah membesarkan Jokowi itu, saya hanya bisa tersenyum kecut.
“Mereka tidak tahu, jangan hanya dosen dari UGM, Prabowo dan Jusuf Kalla yang sangat berjasa membantu mengangkat Jokowi dari hanya tokoh kota kecil menjadi Gubernur DKI Jakarta saja, dia tega khianati karena mendapatkan tuan – tuan baru yang merupakan konglomerat tionghoa termuka di Indonesia”, batin saya.
Banyak orang yang tidak mengenal Jokowi yang sebenarnya. Apalagi mengenai karakter aslinya yang jauh dari sosok jokowi sebagaimana dicitrakan media – media milik para konglomerat atau media bayaran mereka.
Jokowi sebagai manusia, tidaklah sebaik dan sejujur yang ditulis dan diberitakan mayoritas media massa nasional. Banyak catatan buruk tentang Jokowi, terutama jika dikaitkan dengan track record korupsinya dan kebohongan – kebohongan yang dilakukannya. Kehebatan Jokowi hanyalah pada kemampuan aktingnya untuk tampil alamiah ketika berada di tengah – tengah warga.
Jokowi juga sangat mudah menjanjikan apa saja tanpa merasa berdosa atau terbebani bilamana janji – janji itu sebagaian besar tidak mampu dia penuhi. Bagi Jokowi, berjanji itu semudah menghirup nafas. Dia tidak peduli dengan harapan warga yang membumbung tinggi lalu jatuh terhempas ke bumi ketika janji itu dia ingkari.
Bagi kalangan menengah, menilai seorang Jokowi itu sangat mudah. Kinerja Jokowi sebagai Walikota Solo terbukti hanya di bawah rata – rata. Fakta tentang prestasi buruk Jokowi selama jadi walikota itu mudah diakses di situs Badan Pusat Statistik atau Kementerian Dalam Negeri.
Disana tidak ada sedikitpun terlihat keistimewaan atau hal yang menonjol dari seorang Jokowi. Setahun jadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi terbukti gagal menjalankan program pemerintah daerah. Penyerapan APBD DKI tahun 2013 sangat rendah yakni hanya 22% saja per akhir Oktober 2013.
Jika nanti pada akhirnya APBD bisa diserap di atas 80% sudah dapat dipastikan sebagian besar uang rakyat itu dikorupsi atau dijadikan bancaan melalui proyek – proyek fiktif.
Dugaan korupsi Gubernur Jokowi di DKI Jakarta sudah banyak mencuat ke publik, diantaranya adalah korupsi puluhan miliar di pengadaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada akhir 2012 lalu dan sekitar 17 miliar rupiah saat penunjukan langsung PT Askes sebagai mitra program KJS. Belum lagi dugaan korupsi Jokowi pada proyek sumur resapan yang dimark up hingga ratusan persen.
Di Solo Jokowi memiliki banyak catatan hitam berupa dugaan korupsi yang sayangnya tidak pernah diusut serius oleh aparat hukum. Jokowi terbukti melalukan penyimpangan penggunaan anggaran KONI Solo yang dialihkannya sebagian untuk klub sepak bola Persis Solo dan sebagian lagi diduga untuk dirinya sendiri tanpa ada persetujuaan DPRD Solo.
Korupsi lain dilakukan Jokowi pada proyek rehabilitasi pasar, hibah dana pemda Jawa Tengah, pengadaan Videotron, dana bantuan siswa miskin, proyek rehabilitasi THR Sriwedari, pengadaan mobil dinas Esemka dan seterusnya.
Salah satu dugaan korupsi yang sangat patut diduga dilakukan Jokowi adalah pada pelepasan aset pemda Solo, Hotel Maliyawan.
Sejak kasus ini terungkap, predikat tokoh / pemimpin antikorupsi yang digembar gemborkan melekat pada diri Gubernur DKI Jakarta itu runtuh berantakan.
Investigasi teman – teman kami selama 11 hari di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu menemukan fakta – fakta yang kuat mengenai dugaan keterlibatan Joko Widodo dalam beberapa korupsi dan pelanggaran hukum di Solo. Berikut ini sekilas dugaan korupsi Jokowi terkait pelepasan aset pemda Solo yakni Hotel Maliyawan, Surakarta yang terjadi pada tahun 2011 – 2012 lalu.
Kronologis Pelepasan Aset Pemda Solo
Bermula dari rencana Pemda Jawa Tengah untuk membeli bangunan hotel atau Balai Peristirahatan Maliyawan yang terletak di Tawangmangu, Solo/ Surakarta. Bangunan hotel itu, meski tanahnya adalah milik Pemda Jawa Tengah, namun bangunan di atas tanah tersebut adalah aset milik Pemda Solo / Surakarta karena dibangun dengan biaya /anggaran APBD Solo ( Surakarta) sekitar 12 tahun lalu.
Namun, rencana Pemda Jateng membeli bangunan hotel aset Pemda Surakarta itu kandas karena Walikota Surakarta, Joko Widodo tidak pernah menyetujui. Jokowi selalu menolak permohonan Pemda Jateng itu meski tidak jelas apa alasannya. Padahal sebagai unit usaha yang dikelola BUMD PT Citra Mandiri Jateng, Hotel Maliyawan itu tidak menguntungkan dan gagal beri deviden kepada Pemda Solo (Surakarta) dan Pemda Jateng.
Karena permintaan membeli bangunan hotel selalu ditolak Walikota Jokowi, Pemda Jateng balik berencana ingin menjual aset Pemda Jawa Tengah berupa tanah yang di atasnya berdiri bangunan yang dipergunakan sebagai Hotel Maliyawan yang dikelola oleh BUMD PT. Citra Mandiri Jawa Tengah (CMJT) itu.
Rencana Pemda Jateng menjual tanah hotel tersebut melalui BUMN CMJT secara langsung, terbuka dan lelang tentu tidak mudah karena bangunan hotel yang berada di atas tanah itu adalah milik atau aset Pemda Surakarta. Pilihan terbaik adalah dengan menawarkan rencana penjualan / pelepasan tanah aset Pemda Jateng itu kepada Pemda Surakarta.
Nanti, setelah Pemda Surakarta membeli tanah aset Pemda Jateng tersebut, terserah kepada Pemda Surakarta, apakah akan menjual kembali tanah berikut bangunan hotelnya atau mau mengelola sendiri operasional Hotel Maliyawan itu.
Terhadap tawaran Pemda Jateng yang ingin jual tanah asetnya itu, Walikota Surakarta langsung menyatakan minatnya dan segera mengajukan rencana anggaran pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp. 4 miliar kepada DPRD Surakarta yang kemudian disetujui oleh DPRD dengan rencana memasukan anggaran pembelian tanah aset Pemda Jateng dalam Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Surakarta tahun 2010.
Melalui Nota Jawaban Walikota yang dibacakan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Solo, Budi Suharto, Senin, Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), menjelaskan Pemkot Solo telah menindaklanjuti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Tahun 2010 dengan menganggarkan pembelian tanah Hotel Maliyawan senilai Rp 4. miliar.
Namun, berdasarkan Nota Kesepakatan Pemkot Surakarta dengan DPRD Kota Suarakarta No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Kota Solo Tahun 2010, anggaran untuk pengadaan tanah Hotel Maliyawan ternyata tidak muncul sama sekali.
Kemudian diketahui bahwa Walikota Solo (Surakarta) mengajukan surat kepada Inspektorat Kota Surakarta yang berisi perintah Walikota untuk menelaah/mengkaji aspek hukum dan perundang-undangan terkait rencana Pemda Surakarta melepas aset berupa bangunan yang terletak di atas tanah Hotel Maliyawan, Tawangmangu, Surakarta.
Pihak Inspektorat Kota menberikan jawaban atas telaah dan kajian hukumnya kepada Walikota Joko Widodo. Dalam surat dari Inspektorat tersebut, ditegaskan bahwa untuk pemindahtanganan aset bangunan milik Pemda (Hotel Maliyawan) diperlukan penaksiran oleh tim dan hasilnya ditetapkan dengan keputusan Walikota.
Selanjutnya Pemkot harus memohon izin penghapusan aset dari DPRD Kota Solo. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan PP No 6/2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pasal 37 serta Perda No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Berdasarkan telaah dan kajian Inspektorat, Walikota Joko Widodo mengirim surat kepada Ketua DPRD Kota Solo (Surakarta) tertanggal 29 Juli 2011 perihal permohonan persetujuan pemindahtanganan atas nama Balai Istirahat (BI) Maliyawan.
Pada paragraf kedua surat tersebut, Jokowi menyebutkan bahwa sesuai dengan pasal 64 ayat 1 Perda 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pemindahtanganan atas bangunan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPRD.
Masih mengacu kepada surat dari Walikota Joko Widodo itu, disebut lagi bahwa sehubungan dengan Perda tersebut maka diajukan permohonan persetujuan DPRD dan selanjutnya dapat dibahas dalam rapat Dewan. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari surat Inspektorat Kota pada 16 Desember 2010 tentang telaah staf pelepasan Hotel Maliyawan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat jelas bahwa pada awalnya, Walikota Solo Joko Widodo masih menjalankan mekanisme dan prosedur pelepasan aset secara benar dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, setelah Walikota Joko Widodo ketahuan sudah menjual aset Pemda Solo/Surakarta secara diam – diam kepada Lukminto, Direktur PT. Sritex, sikap, perilaku dan pernyataan – pernyataan Joko Widodo berubah 180 derajat alias menjadi seorang pembohong. Ada apakah dengan Joko Widodo terkait pelepasan aset Pemda Solo berupa bangunan hotel Maliyawan itu ?
Jokowi Mendadak Berubah 180 Derajat dan Berbohong
Kenapa terjadi perubahaan sikap, perilaku dan pernyataan Joko Widodo terkait penjualan aset Pemda Solo secara diam-diam kepada Lukminto? Kenapa tiba-tiba Joko Widodo selalu ngotot pertahankan pernyataan dan pendapatnya bahwa penjualan bangunan hotel aset Pemda itu TIDAK memerlukan persetujuan DPRD Solo dan TIDAK perlu mengacu serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Berkali – kali Joko Widodo mengatakan kepada publik bahwa sebagai walikota, pihaknya tidak perlu minta izin persetujuan kepada DPRD. Tidak perlu dengan penerbitan Peraturan Daerah / Perda terlebih dahulu jika pemda ingin menjual asetnya. Bahkan Jokowi mengatakan pelepasan aset pemda secara tanpa minta persetujuan DPRD terlebih dahulu itu, sudah sangat sering dia lakukan. Semuanya aman – aman saja, dalih Jokowi pada sekitar Juli 2012 lalu.
Mencermati perubahan sikap Joko Widodo dan kengototannya menabrak hukum itu, anak siswa SMA atau mahasiswa semester I pun mengerti dan paham bahwa pasti ada kolusi antara Jokowi dan Lukminto yang sangat patut diduga menghasilkan suap untuk Joko Widodo.
Berapa besar dugaan suap dari Lukminto kepada Joko Widodo sehingga Joko berani melanggar hukum, UU dan menipu DPRD dan rakyat Solo serta seluruh rakyat Indonesia itu? Berapa besar kerugian negara akibat KKN Jokowi – Lukminto itu?
Silahkan KPK, Kejaksaan dan Polri mengusut tuntas agar hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat terwujud. Sikap kita yang toleran/pembiaran terhadap perbuatan kriminal, kejahatan atau korupsi Jokowi ini, sesungguhnya sama saja dengan kita menyetujui perbuatan haram tersebut. Sekian [yudis/r.nuh/voa-islam.com]