View Full Version
Ahad, 20 Apr 2014

Mencurigai Deradikalisasi Media ala BNPT

Belum usai perang melawan terorisme ala BNPT. Di tengah hiruk pikuknya penyelenggaraan pemilihan legislatif 09 April 2014 dengan perhitungan hasil riil qountnya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan kerjasama dengan Dewan Pers. Kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepahaman tentang Menjaga Profesionalitas Pemberitaan Media Massa Mengenai Penanggulangan Terorisme. “Penandatanganan MoU (memorandum of understanding) ini merupakan implementasi BNPT melakukan koordinasi pencegahan melawan terorisme,” ujar Kepala BNPT Ansyaad Mbai di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (15/4). Kerjasama ini diharapkan sebagai upaya mengcounter persemaian klaim “ideologi terorisme” ala BNPT melalui berbagai media sosial dan media online yang diduga telah menginspirasi berbagai peristiwa terorisme di negeri ini.

Langkah BNPT itu ditegaskan oleh Ansyaad Mbai setelah beberapa waktu yang lalu mendapatkan sorotan tajam dari komisi III DPR RI. Diantaranya, anggota Komisi III Sarifuddin Sudding dalam rapat kerja dengan BNPT di Gedung DPR, Senin (10/2).

“Kita usulkan ke pemerintah agar BNPT ini dibubarkan saja,” ujar Sudding dengan nada lantang.

Sudding geram dengan aksi di Poso yang tidak pernah berhenti. Menurutnya, anggaran BNPT yang cukup besar, tidak diikuti pencapaian kinerja lembaga yang tak maksimal. Dia menilai ada baiknya BNPT digabungkan dengan Densus Anti Teror 88. Pasalnya, BNPT hanya sebagai konseptor, sedangkan Densus melakukan aksi penindakan di lapangan.

Sudding menduga aksi teroris yang kerap terjadi di Poso ‘dipelihara’ oleh sekelompok orang untuk mengalihkan isu nasional yang sedang mencuat. “Ini seperti dipelihara. Kenaikan BBM kemudian ada ledakan di Poso. Boleh jadi barang ini dipelihara untuk mengalihkan isu nasional,” ujarnya kesal.

Politisi Partai Hanura itu juga mengkritisi kinerja Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Menurutnya, Ansyaad jauh lebih cakap menjadi seorang pengamat. “Lebih pas jadi pengamat. Begitu ada aksi peledakan, lebih dulu mengomentari. Ini tidak jelas juga capaian BNPT,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya Aboe Bakar Al Habsyi menambahkan, berdasarkan penelitian sebuah lembaga survei, masyarakat tidak percaya aksi teroris dapat diberantas oleh penegak hukum. Apatisnya masyarakat terhadap penegak hukum lantaran aksi teroris tak pernah habis diberantas.  Sayangnya, kata Aboe, BNPT hanya memberikan komentar seputar jaringan pelaku teroris. Padahal, BNPT semestinya menjadi leading sector dalam pemberantasan aksi terorisme di Tanah Air. Ia mendesak BNPT agar membuat terobosan cara agar meyakinkan masyarakat. Pasalnya anggaran yang digelontorkan kepada BNPT tidaklah sedikit. Sedangkan penanganan tindak pidana yang dilakukan BNPT adalah masuk kategori kejahatan luar biasa, teroris.

“Saya berharap teroris di Indonesia bukan sandiwara. Jangan sampai masyarakat menilai teroris ini ada di saat momentum tertentu, atau direkayasa. Mudah-mudahan tidak sampai ke situ,” ujar politisi PKS itu.

Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengamini kedua koleganya. Menurutnya BNPT, ibarat hidup segan mati tak mau. Pasalnya, anggaran BNPT cukup besar, sementara kinerjanya tidak maksimal. Ironisnya, BNPT tidak memiliki kantor tetap, tetapi mengontrak.

Bukan hanya sorotan tajam dari komisi III, sebelumnya pada 06 Januari 2014, Komnas HAM juga akan memanggil Ketua Badan Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai untuk mendalami penembakan terduga teroris yang rentan akan pelanggaran HAM.

"Kita akan memanggil Ketua Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) minggu ini Insya Allah dan pihak Mabes Polri untuk memeriksa dan berdiskusi berkait dengan barang bukti penembakan terduga teroris di Tangerang Selatan," kata Komisioner Komnas HAM Nur Kholis di Mabes Polri, Jakarta.

Beberapa bulan yang lalu, Komnas HAM juga menemukan dugaan adanya pelanggaran HAM oleh tim Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror dalam kasus penembakan dua terduga teroris jaringan Poso di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Senin (22/7/2013). Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, setelah melakukan investigasi di Kabupaten Tulungagung dan Lamongan, Minggu, menyatakan pihaknya menemukan fakta bahwa Densus 88/Antiteror melakukan penembakan terhadap dua terduga teroris saat itu dalam kondisi tidak berdaya.

"Kami sangat menyesalkan tindakan 'extra judicial killing' oleh aparat kepolisian, karena ini sudah berulang kali dengan korban yang sudah tidak berdaya," katanya kepada Antara.

Inilah beberapa deretan kejanggalan dan kelemahan kinerja dua badan terdepan (Densus 88 dan BNPT) dalam penanggulangan terorisme di negeri ini. BNPT dengan strategi deradikalisasinya dan Densus 88 atas nama “law of enforcement”nya.

Langkah penandatanganan MOU dengan Dewan Pers yang dikomandani oleh Baqir Manan mantan ketua MA itu dilakukan setelah terjadinya berbagai rangkaian peristiwa terorisme. Yang terdekat adalah mulai dari perampokan kantor cabang Bank BRI di Tangerang, penembakan terduga teroris di Tulungagung, ancaman beberapa kedutaan besar AS yang dianggap simbol-simbol barat, bom Vihara Ekayana, penembakan polisi di Aren, penangkapan terduga teroris di Jogjakarta, penangkapan terduga teroris di Surabaya, penggerebekan terduga teroris di Ciputat berbuah tewasnya 6 orang disertai dengan stereotip kaitan terorisme Ciputat dengan Ustadz ABB hingga upaya penggagalan penyelundupan bom oleh teroris ke Makassar.

Secara global langkah sistemik yang dilakukan oleh BNPT adalah sesuai dengan arahan RAND Corporation, ICG (International Crisis Group), dan tekanan asing lainnya (AS, Australia, dll). Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No. 204 pada tanggal 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum-HAM. Implementasi rekomendasi itu dalam bentuk program deradikalisasi di Indonesia oleh BNPT secara masif. Diantaranya BNPT harus melakukan kolaborasi kerjasama dengan berbagai pihak. Selain yang terbaru ini bekerjasama dengan Dewan Pers, BNPT sebelumnya sudah menggandeng beberapa ormas Islam (MUI, NU, LDII, dll), LSM (The Wahid Institute, dll) dan sekolah/kampus (UI, dll). NU sudah menandatangani MoU pada 11 Agustus 2011.

Secara teknis NU diminta membantu pemberantasan terorisme melalui langkah persuasif berupa deradikalisasi. Sebagaimana beberapa pernyataan pengurusnya. “Deradikalisasi memang tugasnya ormas, tapi kalau pemberantasan terorismenya itu kewajiban aparat. NU sangat mendukung kerjasama ini, yang prakteknya akan memberikan pemahaman ke umat agar menghindari sikap radikal,” ungkap Kang Said di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya No.164, Jakarta Pusat, Senin, 15 Agustus 2011. Pengurus Muslimat NU juga menandatangani MoU 16 Februari 2012.

BNPT juga membangun kemitraan sampai di level provinsi. Diantaranya di Jawa Timur, sebanyak 100 mubaligh (juru dakwah) LDII se-Jawa Timur mengikuti Latihan Dakwah Deradikalisasi di auditorium IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 19-20 Mei 2012, kerja sama DPW LDII Jawa Timur dengan Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Konsep deradikalisasi telah menjadi salah satu bagian dari “MoU” yang ditandatangani DPP LDII dengan PBNU pada Rakernas LDII.

Tidak hanya membangun kemitraan di level lokal nasional, langkah BNPT juga diback up oleh penguatan opini internasional di kawasan Asia Pasifik. Masih segar dalam ingatan kita misalnya tentang berita direleasenya dua “teroris” oleh Departemen Keuangan AS menjelang diselenggarakannya forum APEC di Bali. Pasca sebelumnya, terdapat forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) tanggal 7-19 April 2013 di Hotel JW Marriot dan Sheraton Surabaya yang dihadiri kurang lebih delegasi 21 negara. Dimana di forum itu Indonesia didaulat sebagai tuan rumah dan dianggap negara paling sukses menjalankan proyek "war on terrorism" dengan strategi soft powernya (deradikalisasi ala BNPT).

Bangunan kemitraan oleh BNPT dengan berbagai pihak secara sistemik seolah-olah sebagai upaya menutupi pengabaian terhadap undang-undang. Padahal beberapa tindakan yang melanggar hukum atas nama "war on terrorism" dalam bentuk beragam ekstra judicial killing dan ekstra judicial action kepada masyarakat sipil adalah bentuk terorisme oleh negara secara sistematis. Yakni pelanggaran terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh negara ini sendiri seperti pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J, UU Nomer 5 tahun 1988, UU Nomer 39 tahun 1999, UU Nomer 23 tahun 2002, UU Nomer 11 tahun 2005, UU No 12 tahun 2005, Keppres Nomer 36 tahun 1990, Peraturan Kapolri Nomer 8 tahun 2009. Termasuk juga pelanggaran terhadap konvensi internasional seperti DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

. . . Deradikalisasi ala BNPT upaya menciptakan adu domba atau mengaduk-aduk umat Islam sebagai entitas mayoritas negeri ini . . .

Perlu pemikiran yang jujur, obyektif, komprehensif dan mendasar untuk memecahkan problem penanganan persoalan terorisme di Indonesia sebagai bagian tidak terpisah dari konstelasi persoalan terorisme di dunia internasional. Sebuah pemikiran yang melepaskan jebakan pemikiran (intellectual trap) menempatkan Islam sebagai ideologi tertuduh yang menginspirasi terorisme melalui media. Meneropong secara jelas akar persoalan siapa sebenarnya biang terorisme dunia yang menciptakan berbagai problem di dunia Islam termasuk di Indonesia. Melepaskan segala bentuk ketergantungan secara politik untuk memecahkan problem negeri ini secara mandiri tanpa harus didikte oleh kepentingan asing yang sedemikian mencengkeram hingga merugikan bahkan menyengsarakan rakyat. Di tengah sistemiknya problem yang mendera negeri ini. Menghadapkan dan menjadikan ajaran Islam sebagai bahan perdebatan opini media yang menginspirasi terorisme di negeri ini. Termasuk pengarustamaan melalui media, istilah-istilah yang tidak pernah muncul dalam khasanah peradaban Islam yang agung seperti Islam Modernis, Islam Tradisionalis dan Islam Radikalis. Karena hal itu sama halnya dengan upaya menciptakan adu domba atau mengaduk-aduk umat Islam sebagai entitas mayoritas negeri ini. Dan berupaya melepaskan dari kooptasi dan dominasi opini media dunia yang cenderung memojokkan dunia Islam. Serta membebaskan media menyuguhkan fakta-fakta terorisme secara obyektif. Mengurai mana yang fakta dan mana yang rekayasa. Menghindar dari upaya deradikalisasi media ala BNPT. Mengembalikan parameter melihat Islam dikembalikan secara murni ke dalam pemahaman-pemahaman Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasullullah SAW, para sahabat beliau dan para tabi’in. Bukan dengan menggunakan kacamata barat yang kapitalis-sekuler. Perlu direnungkan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu Wa Taalla : “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, & Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS Ali Imran : 54). Wallahu a’lam bis shawab. [PurWD/voa-islam.com]

* Penulis: Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)


latestnews

View Full Version