JAKARTA (voa-islam.com) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pemerintah Australia memberikan penjelasan mengenai informasi uang palsu yang dikeluarkan Wikileaks termasuk soal sinyalemen adanya perintah mencegah penyidikan atas dugaan korupsi sejumlah pejabat di negara Asia.
Pasalnya, pada 29 Juli 2014, Wikileaks memasukkan sejumlah nama dalam daftar perintah cegah penyidikan atas dugaan kasus korupsi, yang di dalamnya antara lain adalah Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.
“Diberitakan bahwa situs Wikileaks mengungkap dugaan korupsi besar-besaran di Asia. Dari nama-nama yang disebutkan, ada saya dan Ibu Mega. Menurut data Wikileaks tersebut, terdapat korupsi jutaan dolar,” kata Presiden SBY di Puri Cikeas, Jawa Barat, Kamis (31/7).
Presiden SBY membantah isi berita Wikileaks tersebut dan menegaskan bantahan itu menyangkut kehormatan dan harga diri. Tulisan Wikileaks tersebut dipandang untuk menciptakan spekulasi serta kecurigaan terhadapnya dan Megawati. Kepala negara mengaku telah mendapatkan penjelasan dan keterangan sejumlah pihak, di antaranya Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, Menteri Keuangan Chatib Basri, serta Kapolri Jenderal Sutarman terkait hal tersebut.
“Berita yang dikeluarkan Wikileaks adalah sesuatu yang menyakitkan. Saya mengikuti apa yang dilaksanakan Australia, Menlu (Marty Nattalegawa-red) melaporkan kepada saya setelah komunikasi dengan Duta Besar RI di Canberra dengan Duta Besar Australia,” ujar presiden.
Ketua Umum Partai Demokrat tersebut membenarkan Indonesia pernah cetak uang di Australia pada 1999. Pihak yang mencetak adalah NPA, organisasi yang berada di bawah Bank Sentral Australia. Uang yang dicetak sebanyak 550 juta lembar dengan pecahan Rp 100.000. Namun, kewenangan untuk memutuskan pencetakan uang dan tempat pencetakan uang berada di tangan BI.
“Hal itu menjadi kewenangan BI atas dasar atau sesuai Undang-Undang BI dan peraturan yang berlaku. Sebenarnya, baik Ibu Mega dan saya pada 1999 belum menjadi presiden. Poin saya adalah, memang itu kewenangan BI siapa pun presidennya, tidak terlibat dalam arti mengambil keputusan menetapkan kebijakan dan mengeluarkan perintah presiden,” ia menegaskan.
Bila otoritas Australia menyelidiki informasi yang diberitakan Wikileaks, Presiden SBY meminta proses penyelidikan dilakukan secara terbuka dan transparan. Bila ada WNI yang diduga terlibat, hendaknya melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, Kedutaan Besar Australia di Jakarta menegaskan tidak ada keterlibatan Presiden SBY dan Megawati dalam kasus Securency yang dilaporkan Wikileaks.
Kedubes Australia dalam siaran pers, Kamis (31/7) malam, mengakui adanya perintah pencegahan penyebarluasan informasi yang bisa memberi kesan keterlibatan tokoh politik senior tertentu dalam korupsi di kawasan Asia Pasifik. Hal itu dilakukan karena Australia memandang perintah pencegahan tetap merupakan cara yang terbaik untuk melindungi tokoh politik senior dari risiko sindiran yang tak berdasar.
“Ini merupakan kasus rumit yang telah berlangsung lama, menyangkut sejumlah besar nama individu. Penyebutan nama-nama tokoh tersebut dalam perintah itu tidak mengimplikasikan kesalahan pada pihak mereka,” demikian keterangan resmi Kedutaan Australia.
Sekretaris Jenderal PDIP, Tjahjo Kumolo, menyesalkan adanya pemberitaan Wikileaks tanpa dasar bukti tersebut. Ia menilai, apa yang dilakukan Wikilieaks hanya mencari sensasi.
“Harus dipahami bahwa pada 1999 Ibu Megawati belum menjadi presiden sehingga sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pencetakan uang yang dilakukan RBA Securities dan Note Printing Australia. Lagipula, saat menjadi presiden, Ibu Megawati yang memelopori lahirnya KPK,” tutur Tjahjo.
Dalam memandang pemberitaan Wikileaks, PDIP menilai sama dengan kemunculan berbagai situs palsu yang saat ini berupaya mengurangi bobot dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon presiden-wakil presiden terpilih Pemilu 2014, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Karena itu, ia berharap semua pihak yang menginginkan demokrasi di Indonesia berjalan lebih baik, tidak terpancing dengan isu-isu murahan tersebut.
Rekam jejak korupsi BI
Jika itu semua dibantah kenapa ada berita yang mengatakan ada suap sebesar 1,3 juta dollar AS terkait pencetakan uang pecahan Rp 100.000. Uang suap itu diduga masuk ke kantong sejumlah pejabatnya dan melibatkan perwakilan Bank Sentral Australia di Indonesia serta Securency International and Note Printing Australia.
Sejumlah pejabat Bank Indonesia (BI) menerima suap untuk memenangkan perusahaan Securency International dalam tender pencetakan 50 juta lembar uang pecahan yang berbahan polimer itu pada 1999.
BI memiliki catatan buruk terkait sistem dan pengawasannya. Tak hanya kasus Century dan pencetakan uang yang melanda BI, melainkan juga terekam berulangnya skandal korupsi. Kasus paling besar adalah BLBI sebesar Rp 144,5 triliun.
Hingga kini pihak-pihak yang tersangkut masih ada yang belum melunasi kewajibannya dan jaksa yang menyidiknya pun tertangkap tangan dengan uang suap Rp 6 miliar.
Sejumlah pejabat BI tersandung korupsi. Mantan Gubernur BI Sjahril Sabirin tersandung kasus cessie (hak tagih) Bank Bali yang merugikan negara sebesar Rp 546 miliar.
Sementara terdakwa Djoko S Tjandra dalam kasus yang sama justru menghilang. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK)-nya, Juni 2009.Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah tersandung kasus aliran dana BI ke DPR.
Dalam kasus ini terlibat pula dua pejabatnya, yaitu Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak dan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong. Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan juga terlibat kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sudah menjalani hukuman penjara tapi tak lama(ckckck).
Pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom juga ditandai kasus suap. Sebanyak 39 anggota DPR periode 1999-2004 menerima imbalan Rp 300 juta- Rp 500 juta per anggota dengan total 480 lembar cek. Miranda sedang dipenjara namun sering keluar masuk dan jalan-jalan.
Kasus lain adalah dugaan aliran dana BI yang dinikmati sejumlah jaksa untuk bantuan hukum terhadap pejabat BI. Pada Oktober 2008, Jaksa Agung Hendarman Supandji berjanji menyerahkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi hingga kini masih belum jelas.
Bongkar skandal Uang Ilegal..!!
BI adalah bank sentral yang memonopoli wewenang mencetak uang rupiah. Untuk memproduksi rupiah berbahan polimer, BI bekerja sama dengan anak perusahaan Bank Sentral Australia (Reserve Bank of Australia). Tender pun dimenangi perusahaan Securency International and Note Printing Australia dengan nilai kontrak sebesar 50 juta dollar AS.
Media Australia, The Age pernah melakukan investigasi dan kemudian membongkar skandal suap perusahaan yang berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2006 itu. Total jumlah suap yang dibayarkan perusahaan tersebut mencapai lebih dari 50 juta dollar AS dan mengalir kepada pejabat bank sentral dari berbagai negara, termasuk para pejabat BI.
Skandal itu bukan hanya menambah panjang rangkaian korupsi yang kerap melanda bank sentral ini sebagai sumber tunggal produksi uang, tetapi juga dapat menjatuhkan kredibilitas BI sebagai pemegang otoritas moneter. Perilaku seperti ini mengarah pada sindikat mafia dalam produksi dan peredaran uang.
Pemerintah seharusnya merespons dugaan itu dan DPR juga perlu lebih konkret menentukan langkahnya. KPK dan Polri juga harus segera bertindak untuk mengusutnya. Berkat pemberitaan The Age, Polisi Federal Australia (AFP) telah lebih dulu menurunkan sejumlah penyelidik ke Jakarta untuk mengusut dugaan suap pejabat BI. AFP juga akan ke Malaysia dan Inggris untuk menyelidiki sejumlah pihak yang diduga terkait.
Sindikat mafia BI harus dibongkar karena faktanya kasus penyelewengan dana, suap, dan peredaran uang ilegal terus bertambah. Dalam satu dasawarsa terakhir, semua mantan Gubernur BI tersandung skandal keuangan. Beberapa deputinya juga terlibat.
Rio||BARETAZ||Underground Tauhid: Skandal percetakan uang kertas yang melibatkan perusahan cetak kertas?..!!
Proyek percetakan uang menjadi sengketa pada tahun 2000, PT Pura Barutama, pabrik kertas uang di Kudus, Jawa Tengah, menang tender pengadaan kertas untuk uang pecahan Rp 1.000 dan Rp 5.000.
Satu Deputi Gubernur Bank Indonesia, ketika itu, dituduh menerima dana dari Pura Barutama lantaran memuluskan tender kertas uang 400 juta bilyet itu. Persoalan ini menyeruak gara-gara korespondensi perusahaan pencetakan uang internasional, Crane & Co dari Amerika Serikat, dan Portals Group dari Inggris.
Kedua perusahaan itu mencurigai adanya kolusi lantaran bank sentral memenangkan Pura Barutama, yang belum terbukti kualitasnya.
Salah satu surat yang dikirim William G. Westervelt, International Sales Manager Crane & Co., kepada Bambang Sudibyo, Menteri Keuangan saat itu, serta sejumlah deputi gubernur Bank Indonesia menyatakan Pura Barutama belum memenuhi syarat pabrik kertas uang modern.
Pabrik milik Jacobus Busono itu bahkan dikatakan belum pernah mencetak kertas uang satu kilogram pun.’Saya minta Bank Indonesia mempertimbangkan kembali, dan membuka keseluruhan tender secara legal dan transparan,” demikian surat itu.
Sayang, klaim perusahaan asing itu baru terbukti setahun kemudian. PT Percetakan Uang Republik Indonesia, yang bertugas mencetak uang, tak bisa bekerja karena kertas Pura Barutama tak bisa dicetak dengan baik. “Kertasnya berdebu dan hasil cetakannya jadi melengkung karena kertasnya keriting,” kata sumber di Peruri
Akibatnya, peredaran uang sempat terganggu. Namun dugaan suap ini menguap begitu saja. Ketika isu itu muncul, juru bicara PT Pura, Hasan Aoni Azis, menyatakan keberatan mutu kertasnya dipersoalkan. “Peruri sendiri sudah menyetujui kertas kami lewat hasil uji laboratoriumnya,” katanya.
Pada 2006, ketika Bank Indonesia menunjuk perusahaan asing, antara lain Giesecke & Devrient dari Jerman dan De La Rue dari Inggris, sebagai produsen uang kertas pecahan Rp 2.000 dan Rp 20 ribu, isu suap juga muncul.
Kemenangan perusahaan itu mengundang protes karena saat itu baru saja keluar peraturan pemerintah yang menyatakan pencetakan uang harus dilakukan di dalam negeri oleh Peruri. Tindakan ini menimbulkan dugaan adanya makelar asing yang bermain dalam tender.
Jejak makelar itu kemudian terendus pada Maret lalu, tatkala media Jerman memberitakan dugaan suap Ferrostaal AG, pemasok produk Giesecke and Devrient. Perusahaan itu dituduh mengucurkan suap hingga 240 juta euro, atau sekitar Rp 3 triliun, untuk kepentingan bisnisnya di beberapa negara, antara lain di Indonesia.
Jejak Ferrostaal di Indonesia tercium lewat peranan Michael Groos, pimpinan cabang perusahaan itu, yang memasukkan kertas uang Louisenthal dan mesin sortasi produksi Giesecke and Devrient (sumber Tempo, 3 Mei 2010).
Danang Widoyoko, koordinator Indonesia Corruption Watch, mengatakan proyek pengadaan barang strategis semacam mata uang memang rawan penyimpangan.
Sebab, sifatnya cenderung tertutup, dan seluruh kebijakan dilakukan lewat satu pintu, yakni Bank Indonesia. Pemain bisnis security printing juga sedikit. “Kadang order sengaja diarahkan, dan di sinilah muncul suap.”
Toni Iskandar Pandelaki, Sekretaris Perusahaan Peruri, mengatakan tuduhan suap tak selamanya relevan dan terbukti. Peruri, menurut Toni, pernah mengalami tuduhan semacam ini ketika menang tender pencetakan uang dan paspor di Nepal dan Sri Lanka. “Para pesaing itu menuduh tanpa menunjukkan bukti,” katanya.
Namun tak tertutup kemungkinan penyimpangan terbesar dilakukan para agen perantara. Toni mengatakan agen berperan penting, terutama untuk menembus informasi tender. “Untuk jasa itu memang ada fee,” katanya. Ini yang kemudian menjadi celah kebocoran.
Salah satu sumber mengatakan para makelar ini kerap bermain tanpa diketahui perusahaan prinsipalnya. “Mereka ini kadang tak terkendali.”
Dari part ke part nantinya akan mengarah ke kasus century,IT pemilu,skandal cicak buaya dan beberapa kasus yang sudah sempat heboh di indonesia..semuanya menjadi satu rangkaian benang merah. Dan Pak Antasari tahu semua kasus ini makanya dia diasingkan dan dibungkam. Jika ingin tahu semua maka silakan tanyakan kepada mantan ketua KPK yang sangat berani dan tak pandang bulu itu.
Bantahan Austalia:Australia Pastikan SBY dan Megawati Tidak Terlibat Pencetakan Uang Palsu
Antaranews melansir, Kedutaan Besar Australia dalam siaran persnya pada Kamis, 31 Juli 2014 lalu secara tegas menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Presiden Megawati Soekarnopuri sama sekali tidak terlibat dalam kasus “Securency” yang sebelumnya diberitakan oleh Wikileaks.
Pemerintah Australia memandang bahwa perintah pencegahan tetap merupakan cara yang terbaik untuk melindungi tokoh politik senior dari risiko sindiran yang tidak berdasar.
“Ini merupakan kasus rumit yang telah berlangsung lama yang menyangkut sejumlah besar nama individu. Penyebutan nama-nama tokoh tersebut dalam perintah itu tidak mengimplikasikan kesalahan pada pihak mereka. Pemerintah Australia menekankan bahwa Presiden dan mantan Presiden Indonesia bukan pihak yang terlibat dalam proses pengadilan Securency,” catat Kedubes Australia seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, Kedubes Australia mengemukakan, “Kami menyikapi pelanggaran perintah pencegahan ini dengan sangat serius dan kami sedang merujuknya ke kepolisian.”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers di kediamannya Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis, meminta agar Pemerintah Australia memberikan penjelasan mengenai informasi yang dikeluarkan Wikileaks terkait sinyalemen adanya perintah mencegah penyidikan atas dugaan korupsi sejumlah pejabat di negara Asia.
“Berita yang dikeluarkan oleh Wikileaks sesuatu yang menyakitkan, saya mengikuti apa yang dilaksanakan Australia, Menlu laporkan pada saya setelah komunikasi dengan Duta Besar RI di Canberra dan Duta besar Australia,” kata Presiden.
Presiden Yudhoyono merasa perlu untuk segera melakukan klarifikasi atas berita tersebut dan mengumpulkan sejumlah keterangan mengenai hal tersebut dari pejabat terkait.
“Berita seperti ini cepat beredar dan kemudian karena sangat sensitif, karena menyangkut kehormatan dan harga diri baik Ibu Megawati, dan saya sendiri, maka saya ambil keputusan untuk melakukan sesuatu bertindak dan mengeluarkan pernyataan ini. Karena yang jelas pemberitaan ini, saya nilai mencemarkan dan merugikan nama baik Ibu Megawati dan saya sendiri, menimbulkan spekulasi dan kecurigaan,” kata Presiden.
Dari keterangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, maka Presiden Yudhoyono mendapatkan sejumlah penjelasan.
“Memang benar Indonesia pernah cetak uang di Australia pada 1999 yang mencetak NPA, organisasi itu berada di bawah Bank sentral Australia, yang dicetak adala 550 juta lembar dengan pecahan Rp100.000,” kata Presiden.
Namun demikian, kata Presiden, kewenangan untuk memutuskan pencetakan uang dan tempat pencetakan uang berada di tangan Bank Indonesia (BI).
“Hal itu menjadi kewenangan Bank Indonesia, atas dasar atau sesuai Undang-Undang Bank Indonesia dan peraturan yang berlaku. Sebenarnya, baik Ibu Mega dan saya sendiri 1999 belum menjadi presiden. Poin saya adalah memang itu kewenangan BI, siapapun presidennya, tidak terlibat dalam arti mengambil keputusan menetapkan kebijakan dan mengeluarkan perintah presiden,” demikian Presiden Yudhoyono.
[antara/arm/ahm/dbs/voa-islam.com]