View Full Version
Jum'at, 08 Aug 2014

Yang Luput Dari Perhatian : Minyak Dunia dan Keberadaan ISIS

Sahabat Voa-Islam,

Hingga kini bahkan hingga sepuluh tahun lagi atau mungkin saja lebih dari itu peranan dari minyak dan gas bumi (migas) dilihat dari kepentingan perekonomian Indonesia masih tetap besar.

Walaupun pada saatnya Indonesia akan terpaksa menjadi negara net importir, karena jumlah hasil produksi minyak mentah Indonesia, khususnya, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kebutuhannya. Tetapi peran Migas dalam roda perekonomian Indonesia akan tetap besar, hanya saja harus diimpor dan semakin banyak membutuhkan devisa untuk mengimpornya, masalahnya segala bahan baku atau energi pembangkit listrik atau mesin-mesin industri masih menggunakan BBM.

Tetapi sekiranya Indonesia mampu membangun beberapa kilang minyak bumi terutama untuk tujuan ekspor berarti masih cukup berperan bagi perekonomian Indonesia, terutama karena adanya nilai tambah dengan cara mengolah minyak mentah impor yang hasil produksinya juga bisa untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri sebagai penggerak industri dan ekonomi yang semakin meningkat.

Masalahnya yang harus disadari bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka, minyak dan gas bumi Indonesia telah banyak dikuras untuk membiayai pembangunan negara-negara penjajah. Walau sifatnya terselubung atau undisguised. Tetapi setelah anggota-anggota OPEC bangkit dari berbagai belenggu serta tipu daya negara maju lewat perusahaan minyak raksasanya, maka mulailah terasa bahwa minyak dan gas bumi sebenarnya milik siapa.

Untuk diketahui, bahwa jauh sebelum OPEC terbentuk pada bulan September 1960, negara maju atau industri bisa berpesta pora dengan harga minyak yang sangat murah karena minyak dikuras secara berlebihan. Pengadaan atau penawaran minyak dunia boleh dianggap melimpah sedangkan permintaannya sedikit.

Sudah pasti harga minyak pada waktu OPEC belum dibentuk di Baghdad, harga minyak banyak dipermainkan oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa milik negara-negara besar yang juga sebagai pengimpor minyak terbesar di dunia. Sebagai catatan bahwa minyak mentah Indonesia yang berasal dari Kalimantan sebelum pecah Perang Dunia I ternyata telah digunakan di dalam industri petrokimia di Eropa. Yakni untuk menghasilkan nitro toluene, yakni salah satu bahan baku dinamit atau bahan peledak.

Dengan demikian berarti bahwa sudah sejak lama ternyata minyak bumi Indonesia di samping digunakan sebagai bahan bakar atau energi, juga digunakan di dalam upaya pengembangan industri petrokimia Eropa. Diprediksikan, ke depannya permintaan energi akan terus naik. Pelan-pelan harganya juga akan melambung seiring dengan semakin meningkatnya permintaan pasar dan supply energi semakin terbatas.

Oleh karenanya negara harus mewaspadai akan hal ini. Terutama negara-negara pengimpor minyak. Sudah sering terjadi, krisis minyak bumi menyebabkan rakyat sengsara. Baik krisis energi karena perang, politik, atau karena krisis ekonomi, tidak ada namanya krisis energi membuat warganya nyaman.

Tak bisa dipungkiri, minyak bumi adalah salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi selurah penduduk bumi ini. Timur Tengah menjadi wilayah penghasil minyak bumi terbesar di dunia saat ini. Tak heran jika wilayah ini selalu menjadi rebutan negara adikuasai, guna menguasai kandungan minyak bumi yang terdapat di wilayah tersebut. Minyak bumi adalah salah satu sumber energi utama manusia saat ini. Karenanya, siapa yang mengontrol cadangan minyak bumi terbesar, dia secara relatif mengontrol dunia.

Sementara itu, konsumen minyak bumi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Kalau konsumen terbesar minyak bumi adalah Amerika Serikat, maka produsen minyak bumi terbesar adalah daerah Timur Tengah.

Tidaklah begitu mengherankan kiranya jika berbagai konflik di Timur Tengah selalu melibatkan Amerika. Bahkan banyak orang beranggapan, bahwa pergolakan yang kerap terjadi di wilayah Timur Tengah adalah merupakan strategi politik negara-negara adikuasa guna menguasai hasil minyak bumi yang melimpah di wilayah Timur Tengah tersebut.

Tentu saja hal tersebut memunculkan pergerakan-pergerakan secara militan dalam menentang kekuasaan pasca perang, yang mana secara tidak langsung negara-negara adikuasa turut memerankan kekuasaan baru tersebut.

Pada dasarnya, pergerakan tersebut muncul guna menyelamatkan kekayaan hasil bumi mereka, agar tidak dikuasai oleh bangsa asing. Namun sayangnya, banyak orang yang salah kaprah bahkan memanfaatkan kemunculan pergerakan-pergerakan di Timur Tengah sebagai bentuk perjuangan secara menyeluruh.

Dan belum lama ini, munculah pergerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang mendeklarasikan Daulah Islam Kekekhalifan Ibrahim di bawah kepemimpinan Abu Bakr Al Bahdady mengusai sebagian wilayah Irak dan Suriah. Gerakan ini ditenggarai sebagai gerakan anti pemerintah buatan negara-negara adikuasa guna merebut kembali kekayaan hasil bumi mereka guna kesejahteraan rakyat mereka.

Tapi harus di catat, bahwa gerakan yang sebagian besar memandang mereka sebagai gerakan radikal, adalah pergerakan yang muncul untuk mengusir kekuasaan asing guna merebut kembali kekayaan hasil bumi mereka guna kesejahteraan rakyatnya. Jadi bukan tempatnya, jika Indonesia yang katanya hanya salah kelola ini ikut-ikutan melakukan pergerakan seperti di Irak dan Suriah tersebut.

Rupanya, tidak sedikit yang mensukuri keberadaan ISIS di Irak. Misalnya saja Petronas, perusahaan asal negeri Jiran ini mensyukuri keberadaan ISIS di Irak. Diakui oleh salah satu eksekutif Petronas, bahwa pihaknya telah menghasilkan potensi produksi lapangan minyak milik mereka sebesar 2 juta barel per hari pasca gerakan ISIS di Irak. Lalu bagaimana dengan Pertamina yang juga memiliki lapangan minyak di Irak?

Diberitakan di salah satu surat kabar terkemuka bahwa ISIS sendiri mampu mendapat penghasilan hingga hampir Rp 11 miliar per hari yang merupakan hasil dari penjualan minyak mentah kepada sejumlah pengusaha Kurdi setelah mereka menguasai kilang minyak di sejumlah wilayah Irak. Juga dikatakan bahwa ISIS menyelundupkan minyak mentah itu ke Turki dan Iran dengan menjualnya Rp 290 ribu per barrel.

Para ahli industri perminyakan meyakini kelompok ISIS mendapatkan minyak itu dari wilayah sebelah utara Kota Mosul dan mengirimkannya lewat truk tangki milik mereka supaya minyak itu bisa diolah menjadi diesel dan bensin. Cukup mudah bagi ISIS mengebor tanah dan menyalurkan minyak lalu mengirimkannya lewat truk-truk tangki di wilayah mereka kuasai. Dilaporkan pula bahwa ISIS telah menguasai Kilang Minyak terbesar Irak, di Distrik Baiji, Provinsi Sholahuddin sebagaimana yang dilansir situs berita Irak Oil Report, beberapa waktu lalu.

ISIS diberitakan telah mengontrol sebagian besar wilayah sektor energi utara Irak. Dengan ini, ISIS telah mengontrol kilang minyak terbesar di Irak yang mampu menghasilkan 1/3 persediaan minyak di negara tersebut. Namun sejauh ini, ISIS tidak mengganggu kerja para petugas, dan mempersilahkan mereka untuk tetap mengelola kilang minyak tersebut namun tanpa memberikan keuntungan bagi pihak asing.

ISIS juga dilaporkan telah menguasai ladang minyak utama di Suriah timur, yakni ladang minyak Al-Omar di Provinsi Deir Ezzor. Dimana ladang minyak di Deir Ezzor menghasilkan 30.000 barel minyak mentah per hari sebelum krisis meletus di Suriah pada tahun 2011. Untuk diketahui, bahwa PT Pertamina (Persero) punya lapangan minyak di luar negeri tepatnya di Irak yang bernama West Qurna 1, di mana lapangan minyak tersebut memiliki cadangan minyak sebanyak 22 miliar barel.

Dimana, produsi satu sumur dari lapangan tersebut mencapai 400.000 barel per hari. Bahkan West Qurna 1 baru pada 2020 ditargetkan akan memproduksi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari. Tapi mengapa, subsidi akan BBM selalu menjadi polemik bagi bangsa ini. Inilah yang dialami oleh Indonesia belakangan ini. Produksi minyak Indonesia semakin menurun.

Minyak memang masih dimiliki Indonesia. Dan logika negara pemilik sumber energi ternyata mengalami kesulitan pemenuhan energi dengan cara mengimpor inilah yang banyak tidak bisa dimengerti. Bagaimana bisa jika suatu negara punya sumber energi tetapi impor? Terlepas dari segala permasalahan itu, kenyataannya memang Indonesia pengimpor minyak dan jelas mengalami kesulitan ketika harga minyak dunia terus melambung tinggi.

Harusnya segera ada langkah antisipatif yang dilakukan jauh-jauh hari agar masyarakat tida semakin terbebani. Untung saja negeri ini dikaruniai kekayaan yang berlimpah. Aerospace Rusia bekerjasama dengan perusahaan migas Russia yang beroperasi di Indonesia telah menemukan 17 zona cadangan minyak baru di Indonesia dengan prakiraan cadangan 3,4 miliar bbl. Cadangan minyak itu terletak di laut dengan jumlah yang sangat besar. Antara lain : 400 juta bbl terletak di antara Sumatera – Kalimantan, 600 juta bbl antara Jawa – Kalimantan dan yang terbesar 1,500 juta bbl di sekitar laut Arafuru.

Jika cadangan minyak ini bisa dieksplorasi oleh pemerintah, maka cadangan migas nasional akan cukup sampai 50 tahun. Cukup untuk waktu yang diperlukan bagi mengembangkan energi alternatif lainnya. Penelitian Rusia ini memakai teknologi setelit yang disebut Distant Earth Screening Technology (DEST). Teknologi DEST bekerja dengan mendeteksi frekuensi yang keluar dari perut bumi.

Ketika frekuensi tersebut menembus bumi dan melewati berbagai macam lapisan termasuk mineral dan minyak, maka frekuensi tersebut terdistorsi dan kemudian di analisa oleh sebuah algoritme untuk dapat mengetahui apa saja yang terkandung dalam perut bumi tersebut. Dengan temuan ini diharapkan pemerintah bisa membenahi sistem dan struktur Energi Nasional yang lebih komprehensif dan transparan.

Hal ini untuk mencegah apa yang disampaikan Dirut Pertamina Karen Agustiawan bahwa, pasokan BBM Indonesia hanya cukup untuk satu hari, jika terjadi perang. Betapa lemahnya posisi seperti itu untuk Indonesia Dan sebagai catatan, bahwa Pertamina (Persero) sebenarnya sudah banyak berekspansi ke luar negeri untuk ikut mengebor ladang-ladang minyak di sana. Kehadiran Pertamina itu antara lain ada di Sudan, Qatar, Irak, Malaysia hingga Australia.

Dan yang perlu jug dicatat, bahwa ekspansi Pertamina ke Irak pasca-invasi Amerika Serikat (AS) pada 2003 sangat penting demi sekuritisasi energi nasional. Ini karena Indonesia tidak bisa lagi terlalu mengandalkan produksi minyak dalam negeri yang tinggal 4 miliar barel dan diprediksi habis dalam 12 tahun ke depan jika diproduksi sebesar 890 barel per hari.

Ketua Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar beberapa waktu lalu mengatakan bahwa salah satu kunci ketahanan energi nasional adalah ekspansi ke luar negeri. “Kita harus memperbesar sekuriti energi, bukan saja dari cadangan dalam negeri tapi juga penguasaan cadangan di seluruh dunia. Kita harus menuju keseimbangan energi. Salah satu caranya adalah bekerjasama dengan national oil company (NOC) lain.

Mereka punya (ladang) di kita, kita punya di mereka. Kita harus saling bersinergi, saling menjaga, dan saling punya blok di berbagai tempat,” kata Andang. Kita bahhakan boleh di bilang kalah dari Petronas yang sudah merambah ke mana-mana dan strateginya adalah masuk ke tempat-tempat yang tidak dimasuki negara-negara Barat. Petronas masuk dengan diplomasi minyak ke negara-negara Islam.

Petronas sudah ada di Sudan, Aljazair, dan negara Afrika lainnya. “Dia jago di tempat-tempat yang tidak dirambah AS,” ujarnya. Sebenarnya hanya patut diketahui saja bahwa, Pertamina sudah ada di Irak sejak 1997-1998 namun harus berhenti pada 2003 menyusul invasi AS. Saat itu Pertamina mengelola Blok Western Desert. (advammar/ahmedi/ahdsui/VOAISLAM)


latestnews

View Full Version