View Full Version
Rabu, 10 Sep 2014

Hanibal Berbagi Pengalaman Dalam Diskusi 'Standard Peliputan Kasus Terorisme'

Penulis : Hanibal Wijayanta 

Wartawan  Utama,  Produser Eksekutif  Liputan  ANTV 

Dalam diskusi di Dewan Pers tentang Standard Peliputan Kasus Terorisme tadi (10/9), saya diminta jadi salah satu narasumber, untuk memaparkan pengalaman saya meliput kasus-kasus terorisme sejak Kasus Bom Bali hingga saat ini. Sebelum diskusi, saya dipesani Ketua Dewan Pers, Pak Prof Dr Bagir Manan SH, "Ungkapkan saja semua pengalaman yang pernah anda alami, agar kita bisa menyusun standar peliputan yang bagus...," kata pak Bagir.

Saya menjadi pembicara ke dua setelah Pak Tony Soemarno, pendiri Yayasan Askorbi Indonesia, yayasan para korban bom dan terorisme... Saat Pak Tony memaparkan pengalamannya, saya sungguh terenyuh, karena ternyata, mereka hanya sedikit sekali mendapat santunan dari pemerintah, baik dari Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kepolisian, termasuk BNPT. "Kalaupun ada, kami sampai malu karena seperti ngemis-ngemis, Mas...," kata Pak Tony.

Pak Tony kemudian menceritakan beberapa pengalaman anggotanya yang kini sudah tidak dapat bekerja, tidak bisa lagi bekerja, dan bahkan ditinggalkan oleh keluarganya karena sudah tidak mampu 'ngapa-ngapain lagi'. Ada pula yang masih mengalami gangguan kejiwaan dan sebagainya. "Kami terus terang agak cemburu juga ketika kami mendengar para tersangka kasus terorisme malah mendapat berbagai santunan, dalam program deradikalisasi, sementara kami sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari mereka," ujarnya. Saya agak kaget juga, karena untuk program deradikalisasi saja BNPT punya anggaran beberapa ratus milyar.

Kami terus terang agak cemburu juga ketika kami mendengar para tersangka kasus terorisme malah mendapat berbagai santunan, dalam program deradikalisasi, sementara kami sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari mereka," ujarnya. Saya agak kaget juga, karena untuk program deradikalisasi saja BNPT punya anggaran beberapa ratus milyar.

Hebatnya, Pak Tony mengaku --dan ditunjukkan dengan berbagai foto-- bahwa dia dan beberapa temannya sudah mendatangi dan sudah memaafkan para pelaku pemboman yang masih berada dalam tahanan. Sebagian pelaku kemudian menyampaikan penyesalannya, menjadi akrab dan bahkan bersahabat dengan para korban seperti Pak Tony, namun ada pula yang bersikukuh bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.

Setelah Pak Tony, barulah saya memaparkan berbagai pengalaman saya dan tim liputan saya --sejak di Tempo hingga di ANTV -- dalam meliput berbagai kasus terorisme. Saya ungkapkan berbagai kejanggalan yang kami temui di lapangan, berbagai informasi dari aparat yang luar biasa dan berbeda dengan keterangan resmi, juga pengakuan dan perilaku beberapa aparat yang janggal, termasuk aparat yang merasa bersalah karena telah terlibat dalam suatu desain kasus, juga tentang perbedaan penanganan terutama setelah Bom Marriott II. Untuk membedakan, saya tampilkan tiga pola penanganan kasus terorisme yang berbeda-beda, yakni sebelum Bom Bali I, Setelah Bom Bali I Hingga Bom Marriott II, dan Setelah Bom Marriott II.

Informasi tambahan yang penting dan detail tentang beberapa kasus penanggulangan terorisme oleh polisi dan BNPT dari aparat lain --intelejen, militer, kejaksaan, maupun dari kepolisian sendiri-- dari sudut pandang mereka, juga saya paparkan sedikit, dengan maksud bahwa sebenarnya masalah terorisme juga ada dalam pantauan institusi lain. Saya paparkan juga bahwa dari sepak terjang aparat kepolisian itu sebenarnya beberapa jenderal, agen utama intelijen, maupun perwira menengah yang selalu saya mintai pendapat setiap ada kasus, juga menemukan beberapa petunjuk bahwa beberapa kasus penanganan terorisme telah ditangani secara tidak pas.

Saya juga mengungkapkan perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat.

Saya juga mengungkapkan perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat. Banyak pula wartawan yang malas riset, malas mengamati perilaku aparat, saksi, maupun saksi abal-abal. Kecenderungan wartawan yang tidak pernah membaca latar belakang besar di balik berbagai kasus terorisme juga saya singgung. Adanya praktek "embedded journalism" yang dilakukan oleh dua televisi berita juga saya ungkap, dan saya ceritakan juga kelucuan yang sering terjadi. Sayang kawan dari salah satu televisi berita kemudian meninggalkan arena diskusi, sementara kawan dari TV satunya memilih duduk manis sambil senyam-senyum saja sampai akhir acara.

Saya ungkapkan pula, bahwa karena berbagai kejanggalan yang kasat mata itu, sebenarnya sebagian wartawan yang kritis mulai faham dan kemudian merasa malas untuk meliput kasus terorisme. Apalagi mereka juga menemukan pola-pola ciduk-pelihara-sikat dan bobok celengan yang semakin jelas dalam kasus-kasus terakhir. Malangnya, para korban seperti Pak Tony ikut kena dampak. Mereka jadi seolah dilupakan sama sekali..

Banyak peserta yang belum pernah mendengar, menyaksikan, ataupun membaca kisah-kisah dagelan penggerebegan teroris yang sering saya tulis, kami tayangkan di TV, maupun yang muncul sebagai status dan note saya di Facebook, sehingga mereka menganggap paparan saya terlalu berani, dan "berbahaya". Seorang perwira menengah polisi yang hadir bahkan mengkhawatirkan jika cerita-cerita dagelan yang saya ungkapkan akan menyebabkan citra institusinya menjadi buruk.

Sebagai closing statement, saya katakan bahwa saya tidak punya agenda tertentu dalam mengungkapkan berbagai pengalaman dalam meliput kasus terorisme ini. Saya juga ungkapkan bahwa banyak pejabat, bekas pejabat dan aparat militer maupun polisi yang telah mendukung saya untuk membukukan berbagai pengalaman liputan kami, tapi hingga kini saya belum sempat untuk merangkum semua kisah itu. Yang jelas, saya ingin negeri ini menjadi semakin baik, saya tak ingin kita panen bom terus-terusan sebagaimana terjadi sejak tahun 2000-an hingga awal tahun 2014, sementara para pelaku/so called terroris sesungguhnya hanya bagian dari korban permainan yang lebih rumit lagi..  [abdullah/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version