View Full Version
Sabtu, 20 Sep 2014

MafiaWar (25): Pemilu Pilpres 2014 = Komunitas Cina Berlaku Rasis

JAKARTA (voa-islam.com) - Seperti dilansir gebraknews yang kerap menjadi 'pantulan' kultwit akun @TM2000Back ini menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah sepantasnya berterimakasih pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Betapa tidak. Militansi etnis minoritas dengan jumlah total tak sampai 4% penduduk Indonesia itu cukup teruji dan terbukti membuat Pemilihan Presiden 2014 berlangsung ketat. Padahal, selama ini, sejak Orde Baru berkuasa, mereka telah puluhan tahun ‘tiarap’ pada soal politik. Mereka ‘di sibukkan’ penguasa Orde Baru menangani bidang ekonomi. Hanya segelintir saja yang ‘menikmati’ kehidupan politik dan menanggalkan ekonomi. Itupun, rata-rata memiliki ideologi kuat pada Pancasila.

Namun, khusus Pipres 2014, nyaris semua elemen etnis Tionghoa di nusantara ‘bangun dari tidur’ dan bahu membahu menyalurkan aspirasi politiknya. Tak hanya menyalurkan aspirasi sendiri, seluruh keluarga, saudara, anak buah di perusahaan semua dikerahkan. Sebuah fenomena yang tak pernah nampak lebih dari 40 tahun terakhir.

Tak hanya menyalurkan aspirasi sendiri, seluruh keluarga, saudara, anak buah di perusahaan semua dikerahkan. Sebuah fenomena yang tak pernah nampak lebih dari 40 tahun terakhir.

Jangankan pilpres, setiap pemilihan kepala daerah, seperti Walikota, Bupati atau Gubernur pun, tingkat partisipasi etnis Tionghoa, sangat rendah.

Kebanyakan, setelah meliburkan karyawan atau pembantu, mereka memilih pergi ke luar kota atau luar negeri. Memilih menikmati liburan, ketimbang memikirkan pencoblosan. “Saya sampai heran. Tetangga, kawan, saudara yang dulu tak pernah menggubris coblosan, kini sangat antusias mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Ini luar biasa, sejarah pemilihan presiden sepanjang usia saya,” kata Budi Wijaya, pengusaha beretnis Tionghoa asal Surabaya.

Karena itu, Budi yang seorang mualaf mengaku tak heran, sumbangsih suara dari etnis Tionghoa yang berjumlah sekitar 9 juta dari 240 juta penduduk Indonesia bagi Jokowi-JK sangat penting. Sebab, suara etnis Tionghoa bulat dan kuat mengarah untuk kemenangan Jokowi-JK, meski masih ada perkecualian dengan jumlahnya teramat kecil.

Para mualaf atau Muslim Tionghoa, katanya, kemungkinan besar tidak memberikan dukungan pada Jokowi-JK. Namun, pilihan para mualaf etnis Tionghoa ini sulit dideteksi. Sebab, warga Muslim Tionghoa tidak suka pamer. Kalau pun mendukung lawan Jokowi-JK, pasti dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Tionghoa Bersatu

Keutuhan suara etnis Tionghoa pada Jokowi-JK sudah nampak jauh sebelum pilpres digelar. Obrolan dan rencana dukungan penuh sudah nampak sejak Jokowi running pada pertarungan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Kebetulan, lawan yang dihadapi adalah incumbent, Fauzi Bowo. Kebetulan pula, pasangan Jokowi yang menjadi wakil gubernur adalah putra Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama yang di Balai Kota Jakarta lebih akrab disapa Ko Ahok (Zhong Wan Xie).

Presensi etnis Tionghoa di Pilpres 2014 memang sangat spesial. Tak hanya di pulau Jawa, partisipasi aktif nyaris terjadi di seantero nusantara. Fakta tak terbantahkan bisa dilihat dari hasil penghitungan suara di setiap TPS dengan rata-rata partisipasi tidak kurang dari 80%.

Di Kota Surabaya, nyaris semua kompleks perumahan elite di menangi pasangan Jokowi-JK. Sebut saja, perumahan Pantai Mentari, Citra Land, Royal Residence, Pakuwon, Graha Family, Darmo Permai, Darmo Indah, Darmo Grand, Dharmahusaha Indah, Kertajaya Indah.

Pasangan Prabowo-Hatta tersungkur di kompleks perumahan mewah di Surabaya itu. Hal yang sama juga nampak di sejumlah perumahan elite di Kabupaten Sidoarjo, buffer Kota Surabaya, seperti Pondok Mutiara, Taman Pinang Indah dan tiga kompleks perumahan yang dibangun pengembang Citra Land, yakni Citra Garden, Citra Harmoni dan Citra Indah.

Perolehan suara Jokowi berjaya tak terbendung pasangan Prabowo-Hatta. Komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Cirebon, bahkan sangat terbuka memberikan dukungan terhadap pasangan capres-cawapres Jokowi-JK.

Dukungan tersebut direpresentasikan dengan kehadiran komunitas yang dulu ‘malu-malu’ pada politik itu dalam peresmian rumah koalisi. Surya, Ketua Komunitas Tionghoa Cirebon, Sabtu (14/6/14), menegaskan, komunitas Tionghoa yang dipimpinnya siap memenangkan dan mengantar Jokowi-JK sebagai Presiden-Wapres Indonesia.

Organisasi itu bahkan mematok target sekitar 75 persen orang Tionghoa di Cirebon akan memilih Jokowi-JK dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Alasan utama memberikan kepercayaan pada Jokowi-JK, kata Surya, adalah soal gagasan Jokowi-JK yang bertekad membangun Indonesia Hebat.

“Gagasan itu diminati komunitas Tionghoa, sehingga mereka berjanji memberikan dukungan.” Dari wilayah Timur Indonesia, Deklarasi Relawan Pengusaha Sulsel untuk Jokowi-JK bahkan dihadiri sejumlah elite warga Tionghoa di wilayah provinsi asal Jusuf Kalla tersebut. Mereka tampak tak lagi malu-malu atau takut berekspresi politik di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Minggu (8/6/14) sore.

Para elite warga Tionghoa Sulawesi Selatan yang selama ini apatis pada politik hadir dengan pakaian beratribut Jokowi-JK dan terbuka menyatakan dukungan ke pasangan capres nomor urut dua itu. Di atas panggung nampak sejumlah komunitas elite Tionghoa di Makassar yang tergabung dalam Perhimpunan Suku dan Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulawesi Selatan. Di antaranya pemilik Hotel Grand Clarion sekaligus Komisaris Clarion Grup Willianto Tanta dan Raymond Arfandy.

“Pasangan Jokowi-JK sudah terbukti, sehingga masyarakat Makassar nanti harus mendukung dan memilih keduanya. Pada 9 Juli, pilih Jokowi-JK. Ajak seluruh masyarakat dan keluarga memilih nomor 2,” katanya seperti dikutip dari media lokal Makassar.

Selain itu, mobilisasi suara kalangan etnis Tionghoa juga merebak melalui sistem getok tular perkumpulan. Bahkan, tak sedikit yang mengakui, di kelompok peribadatan etnis Tionghoa, Kong Hu Cu, Budha dan tak terkecuali Kristen Katolik, ada semacam ‘instruksi’ untuk wajib memberikan suaranya pada pasangan Jokowi-JK.

Bahkan, tak sedikit yang mengakui, di kelompok peribadatan etnis Tionghoa, Kong Hu Cu, Budha dan tak terkecuali Kristen/Katolik, ada semacam ‘instruksi’ untuk wajib memberikan suaranya pada pasangan Jokowi-JK.

Dari luar negeri, dukungan komunitas Tionghoa pada pasangan Jokowi-JK juga membludak. Pada perhitungan Pemilihan Presiden 2014, Jokowi-JK unggul di Konsulat Jendral RI di Shanghai, Cina, dengan peraihan suara 536, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta hanya meraih 80 suara. Sama dengan kondisi di dalam negeri, satu TPS dengan dua bilik suara yang disediakan KJRI Shanghai untuk pelaksanaan pemungutan suara Pilpres 2014 ‘dinikmati’ 610 WNI keturunan Tionghoa dari total 1.188 pemilih di TPS. Sisanya sebanyak 615 orang tercatat menyalurkan aspirasinya melalui pos.

Proses penghitungan Pilpres 2014 hingga kini masih berlangsung di Hong Kong dan Beijing, sedangkan untuk penghitungan suara di Guang Zhou baru akan dimulai pada pukul 17.00 waktu setempat. Kantor Konsul Jendral Republik Indonesia di Hong Kong menyiapkan 13 TPS di Central Lawn, Victoria Park dan dua TPS di Macau. Jumlah pemilih keseluruhan untuk dua wilayah itu mencapai 114.662 orang, 18.126 orang diantaranya menggunakan hak pilihnya melalui pos.

Namun, yang hadir di TPS Victoria Park hanya 23.569 pemilih, sedangkan di Makau dihadiri 1.568 pemilih. Kedutaan Besar RI di Beijing juga menyiapkan dua TPS bagi WNI di Beijing dan sekitarnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Jumlah WNI yang akan menggunakan hak politiknya di wilayah Beijing dan sekitarnya tercatat 1.739 orang.

Mereka terdiri 1.145 orang di Beijing dan sisanya 594 berada di luar kota sekitar Beijing. Meski demikian, yang hadir di TPS Beijing sebanyak 642 orang. Rebut Kue Politik Orang-orang Tionghoa sejatinya sudah menguasai Indonesia. Hampir seluruh, bahkan bisa dibilang 90%, aset dan denyut nadi ekonomi nusantara dalam kendali kaum minoritas ini dari Sabang sampai Marauke.

Bayangkan, dengan jumlah total tak lebih 4% penduduk Indonesia, mereka mengendalikan ekonomi negara.

Berkah ‘kemerdekaan’ ekonomi, toh nyata tak membuat etnis Tionghoa. Perlawanan terhadap perbedaan perlakuan selalu dikumandangkan. Hingga akhirnya, almarhum Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat derajad dan eksistensi Tionghoa dengan membuak kran politik bagi kaum Tonghoa seiring legalisasi Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia.

Suara-suara kaum pribumi yang sedikit memersoalkan Tionghoa selalu berakhir dengan tudingan rasis. Rakyat Indonesia bahkan mungkin begitu trauma dengan tudingan rasis jika menyentuh etnis Tionghoa. Tak hanya dari kalangan Tionghoa, tudingan rasis bahkan menggema di kalangan pribumi sendiri.

Saat ini sudah banyak orang Tionghoa yang menjadi pegawai negeri dan kebanyakan selalu melakukan kecurangan dan mementingkan kelompoknya.

Biasanya, mereka menjadi pegawai negeri karena memiliki keahlian tertentu misalnya dokter, tenaga teknis dan lainnya. Setelah seluruh lini strategis dikuasai, mereka melakukan percepatan masuk ke dunia politik. Mulai dukungan materi kepada kandidiat calon legislatif, menjadi pejabat di instansi pemerintah hingga mencoba peruntungan sebagai kepala daerah. Contoh di dunia politik adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (Plt. Gubernur DKI Jakarta) dan Cornelis (Gubernur Kalimantan Barat).

Terbukti, pasangan calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) berhasil meraih 1.573.046 suara atau 60,38 persen di Kalbar. Kemenangan pasangan yang mengusung revolusi mental itu sangat telak karena capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya mampu meraih 1.032.354 suara atau 39,62 persen.

Hasil yang sama juga terjadi di Provinsi Bangka Belitung. Di Provinsi asal alias Zhang Wan Xie alias Basuki Indra itu, pasangan Jokowi-JK unggul dengan perolehan 412.359 suara, atau lipat dua dari perolehan pasangan Prabowo-Hatta yang hanya 200.706 suara.

Di DKI Jakarta, meski Ahok adalah wagub yang diajukan Partai Gerindra, nyatanya suara Prabowo hancur. Ironisnya, indikasi kuat penghancur suara Prabowo tidak lain adalah Basuki Tjahaja Purnama. Plt. Gubernur DKI Jakarta itu diduga kuat secara diam-diam mengetahui dan terlibat dalam rencana pencurangan pilpres untuk keuntungan Jokowi-JK dengan merugikan Prabowo-Hatta.

Kecurangan di DKI Jakarta masif terjadi pada 5.841 TPS dengan bukti kuat ditemukannya 277.000 suara pemilih ilegal dari kalangan warga negara asing (WNA) etnis Cina menggunakan KTP palsu. Hampir semua TPS pemukiman mayoritas orang Tionghoa atau kawasan Pecinaan yang Petugas Pemungutan Suara (PPS) dijabat WNI keturunan Tionghoa.

Mereka terbukti membiarkan WNA memilih dengan KTP palsu dan tanpa form A5. PPS di kawasan pecinan, kompleks pemukiman etnis cina hampir semuanya etnis cina. Mereka kolusi dengan membiarkan pemilih ilegal yang diduga WNA menyoblos Jokowi-JK.

Form A5 adalah surat bukti pindah TPS yang diterbitkan PPS asal pemilih. Ada 277 ribu pemilih di DKI yang tidak menyerahkan form A5 kepada PPS. Diskriminasi atau didiskriminasi Pada tahun 1930, populasi Tionghoa di Indonesia sekitar 1,2 juta atau 2 persen.

Namun, etnis Tionghoa di negeri gemah ripah loh jinawi ini, sesuai data 2012, menjadi 12 juta orang atau 5 persen dari total populasi Indonesia. Peningkatan yang luar biasa besar, yakni 10 kali lipat dalam kurun waktu 80 tahun.

Kontrol negara yang lemah terhadap migrasi etnis Tionghoa ke nusantara dan kekuatan uang serta pembentukan opini melalui penguasaan media massa membuat pribumi makin terpuruk.

Fakta yang tidak terbantahkan adalah kendati minoritas, etnis Tionghoa ternyata mampu mengendalikan 90 persen ekonomi RI. Ironis dan tragis nasib pribumi di negeri sendiri.

Lebih ironis lagi, setiap upaya penyadaran tentang kebenaran tersebut, publik, tak terkecuali para pribumi sendiri, senantiasa berteriak lantang soal diskriminasi dan rasis

Lebih ironis lagi, setiap upaya penyadaran tentang kebenaran tersebut, publik, tak terkecuali para pribumi sendiri, senantiasa berteriak lantang soal diskriminasi dan rasis. Padahal, itu fakta yang menjelaskan siapa yang berlaku diskriminasi atau didiskriminasi, siapa yang rasis dan siapa yang dirasisi. Mengutip pernyataan Bustanil Arifin, pada Pasific Business Forum 1997, etnis Tionghoa mengendalikan 90 persen perusahaan kecil & menengah di Indonesia.

Pada 1997 populasi etnis Tionghoa yang hanya 5 persen dari total populasi penduduk Indonesia mampu mengendalikan lebih 75 persen ekonomi nusantara. Penguasaan dan pengendalian ekonomi etnis Tionghoa pada 2014 diprediksi melebihi 90 persen ekonomi Indonesia. Hegemoni dan dominasi ekonomi Indonesia mudah diperoleh etnis Tionghoa berkat penerapan sistem ekonomi pasar bebas & liberal.

Sistem ekonomi persaingan bebas tersebut nyaris mengarah ke persaingan bebas sempurna (free fight competition) yang diterapkan Pemerintah Indonesia. KKN di kalangan pejabat pemerintah dan aparat hukum kian menghancurkan kehidupan ekonomi pribumi. Bukti nyata penguasaan/pengendalian etnis Tionghoaatas ekonomi nampak dari mayoritas kaum minoritas itu yang menjadi orang terkaya Indonesia.

Dalam catatan Forbes pada 2013, daftar orang terkaya Indonesia sejak 1998 – 2013, 90 persen dari 10, 100 atau 1.000 orang terkaya Indonesia adalah etnis Tionghoa. Indonesia menjadi surga bagi etnis Tionghoa dan kini melalui bantuan RRC, AS dan China Connection, mereka yang minoritas tersebut ingin menguasai Republik Indonesia secara total. Hegemoni ekonomi sudah di tangan, kini kekuasaan politik yang menjadi incaran dan tak boleh terlewatkan pada pilpres kali ini. Tahun 2012, warga DKI Jakarta dengan segala tipu daya berhasil mendudukan Ahok mantan Bupati Belitung Timur menjadi Wagub DKI mendapingi Joko Widodo.

Padahal, status Ahok adalah tersangka kasus korupsi di Polda Bangka Belitung. Dan pada 2014, warga Jakarta dan Indonesia tanpa sadar juga mendukung Ahok alias Basuki Indra kriminal di Beltim jadi Gubernur DKI Jakarta. Kini, ibukota pun sudah dikuasai Tionghoa secara ekonomi dan politis.

Tragisnya, 10 persen pribumi yang tercatat daftar orang Indonesia terkaya tersebut umumnya pengusaha pribumi yang menjadi boneka.

Proxy alias boneka ini hanya menjalankan bisnis dari modal para etnis Tionghoa. Ambil contoh Chairul Tandjung. Pribumi terkaya Indonesia itu tak lebih sekadar ‘pemain’ bisnis Salim Grup) atau Sandiaga Uno (Williem Suryadjaja/mantan pemilik Astra Grup).

Mereka hanyalah proxy atau orang upahan yang diberi nol koma sekian persen saham dengan syarat namanya dicantumkan sebagai pemilik kerajaan bisnis.

Sejatinya, kaum pribumi asli yang masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia itu tidak lebih dari 2 persen. Dengan fakta-fakta tersebut, siapa sesungguhnya yang rasis dan diskriminatif di negeri ini?

Pribumi atau Tionghoa? Kaum mayoritas pribumi selalu jadi korban, tapi tidak mampu melawan karena kalah uang/kuasa. Kondisi pribumi dan Tionghoa di Indonesia sejatinya representasi penguasaan minoritas di atas kekuasaan mayoritas.

Pilpres 2014 = Tionghoa Rasis

Fakta-fakta itu membuktikan kaum Tionghoa selalu ‘menuntut’ adanya persamaan posisi dan perlakuan dengan kaum pribumi dalam persoalan sipil atau administrasi negara. Namun, faktanya, dalam pelbagai persoalan, etnis Tionghoa amat kuat memegang pembagian kelas di masyarakat. Contoh paling mudah persoalan menuntut ilmu. Disadari atau tidak, mereka menerapkan standar berbeda.

Buktinya, banyak lembaga pendidikan mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang dibangun khusus menampung etnis Tionghoa. Ironisnya, kritikan atau tudingan ‘tionghoaisasi’ selalu dibantai dengan alasan rasis.

Padahal, sikap rasis kaum Tionghoa itu fakta. Pilpres 2014 mungkin menjadi bukti, kaum Tionghoa sendiri yang menginginkan pembedaan golongan atau klas di masyarakat. Mereka selalu berteriak jangan bersikap rasis, tetapi mereka pula yang menerapkan strategi etnik untuk memenangkan pemimpin.

Dan itu menyeluruh di kalangan etnis Tionghoa di seantero nusantara. Kembali ke persoalan pilpres, sudah sepantasnya Jokowi-JK berterima kasih pada etnis Tionghoa. Soliditas mereka menjadi jaminan perolehan suara untuk bertarung melawan Prabowo-Hatta.

Suara dari kalangan etnis Tionghoa teramat nyata mewarnai perolehan Jokowi-JK. Namun, nampaknya kalangan etnis Tionghoa melupakan di mana mereka hidup. Lingkungan apa yang ada di sekitar mereka. Meski berada di kawasan ‘steril’ dan tidak mudah bagi seseorang dengan kasta menengah ke bawah masuk hunian kaum Tionghoa, tetapi sejujurnya rumah-rumah petak dan kampung pribumi mengurung kawasan perumahan mewah yang harganya miliaran rupiah.

Memang tidak semua etnis Tionghoa berpikiran sempit dan teramat etnik seperti dalam persoalan Pilpres 2014. Sayangnya, jumlah mereka yang tak ingin larut dalam romantisme etnik tidak lah banyak.

Memang tidak semua etnis Tionghoa berpikiran sempit, ambil contoh Kwik Kian Gie yang memilih jalan berbeda dengan pilihan kebanyakan etnis Tionghoa

Ambil contoh Kwik Kian Gie yang memilih jalan berbeda dengan pilihan kebanyakan etnis Tionghoa. Kwik sadar betul dan amat memaklumi ‘terbuang’ dari komunitas Jokowi hanya karena tidak sependapat dengan kaumnya.

Kwik amat teguh pada pendiriannya. Dia tidak memilih Jokowi-JK karena sadar betul, tanah air dan rakyatnya terampok dalam jumlah besar pada saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia. Kwik tidak yakin memilih orang yang terafiliasi pengambil keputusan perampokan kekayaan negara akan mampu memerbaiki kondisi.

Sayang, kelantangan suara Kwik tidak cukup untuk mengubah paradigma berpikir etnis Tionghoa. Pilihan politik Kwik yang lebih mengagungkan Indonesia sebagai tanah air, kalah nyaring dengan mayoritas suara kaum minoritas Tionghoa. [ahmed/adivammar/gnews/may/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version