JAKARTA (voa-islam.com) - Semua hanya karena ketidak mampuan para pemimpin Arab memahami perubahan 'geostrategi' Barat di Timur Tengah, berakibat sangat fatal. Nampak, beberapa waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus mengubah peta kekuatan politik dan militer di negara tersebut, seharusnya menjadi sebuah
warning bagi keberlangsungan entitas muslim Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih dominasi Sunni atas dunia Islam.
Pelan tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni beralih ke tangan Syiah. Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak pasca invasi AS, dan dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro Iran. Lebih luas lagi, secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan, termasuk diuntungkan oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Bahkan termasuk di Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar, melampaui statusnya sebagai minoritas.
Untuk membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah ada proses panjang di balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan dengan baik oleh kaum Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu saja tiba-tiba menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak disadari oleh kaum Sunni sendiri.
Tulisan ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah dogma, bukan untuk menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif usaha-usaha yang dilakukan dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah peradaban. Di antara klaim kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah masing-masing di antara kita menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki, seobyektif mungkin dan tanpa prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban
Generasi kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh paham Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah mayoritas, sedang Syiah hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita bisa lengah, dengan mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh Syiah, apalagi dalam waktu dekat.
Tetapi dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan berbagai ideologi dan peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan keruntuhannya, sesungguhnya sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada dalam situasi yang cair. Pintu sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci, sehingga tidak ada tempat yang aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat dan tidur dengan tenang, sekokoh apapun mereka.
Pasca dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa diibaratkan seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika segelintir orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban besar. Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan peradaban besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.
Bukan sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak juga terjebak pada sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya khayal dan angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan retorika-retorika kosong, tetapi membutuhkan usaha-usaha luar biasa, upaya-upaya taktis dan terukur untuk merealisasikannya. Mencari celah-celah sempit untuk menembus kukuhnya benteng dominasi Sunni, menaklukkan sebuah kemustahilan.
Bukan sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan waktu, bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang terarah pada target yang ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia, memanfaatkan berbagai friksi dan konflik kepentingan, serta bermain di antara berbagai benturan ideologi dan peradaban besar.
Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan Tradisionalisme
Sebuah retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya dominasi Sunni dalam dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus menghadapi mayoritas Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti hanya perlu menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi lebih ringan, bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam tubuh Sunni itu sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.
Islam pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab menjadi sesuatu yang tak bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang, situasi dan kultur yang bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin komplek. Antara menjaga orisinalitas agama dengan mengakomodasi fleksibilitasnya akan terus memunculkan dinamika.
Nabi Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang dibawanya bukan hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak ada lagi nabi sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang mengembalikan orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para pembaharu tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat, tetapi orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama terdahulu. Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab semua problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.
Tidak semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara detail, tak mungkin tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan generasi, Islam tak memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek yang dijelaskan secara global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam beragam kondisi dan zaman yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu mencerna Islam sesuai kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi abad pertama Islam tidak terbebani semua permasalahan generasi kita. Sebaliknya, bagi generasi kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum dirumuskan secara langsung oleh generasi terdahulu.
Di antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan hidup umat Islam, muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya. Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring perjalanan panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak tradisionalis, puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.
Antara menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama, sering menjadi sebuah persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa tegak di atas penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari penyelewengan, tetapi keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut membutuhkan sikap obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan. Jika tidak, hal ini akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan kontraproduktif bagi umat ini sendiri.
Terlepas dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai friksi yang terjadi, dalam catatan-catatan gelap seperti Memoar of Hempher atau Lawrence of Arabiya, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan, tetapi kenyataannya memang dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme, persaingan politik, persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.
Friksi antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal seperti polemik tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan meneguhkan eksistensi Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil medan konfrontasi Syiah dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah dengan Syiah, pada sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh untuk mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi dengan kaum puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri lebih dekat dengan Syiah.
Antara Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya memiliki kesamaan akar keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani, hadis kutubussitah dan madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan di antara keduanya mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan praktek keagamaan di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi sulit untuk dipertemukan.
Ketika salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya, sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi oleh kalangan Sunni.
Sebaliknya, antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar keagamaan yang berbeda sama sekali, tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang serupa, dan mengakomodirnya, sehingga penampakannya memiliki banyak kesamaan, misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur, istighatsah, tawasul, tasawuf, wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin menarik kedekatan mereka dengan kalangan Syiah.
Menjaga eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk menyikapi friksi yang terjadi, membutuhkan pandangan yang obyektif dan komprehensif mengenai perkara ushul dan furu’, serta berbagai ikhtilaf yang sulit disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki. Jika tidak, justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus menjadi beban internal yang cukup melemahkan.
Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme Barat
Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi dunia.
Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.
Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini.
Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain.
Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.
Dunia Islam di Ambang Syiah
Ketika di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah bisa memadukan gerak langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah Imamiyah, Zaidiyah, Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi dengan kalangan sekuler, liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam.
Di sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis, konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para pemegang kekuasaan.
Arab Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit meluasnya pengaruh Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki kemampuan sumber daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai, tidak punya pilihan lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan bersyarat yang membuat mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis. Sedang Barat sendiri tidak tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan yang sangat rapuh.
Menjadi ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas muslim Sunni dalam mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami situasi agar tidak terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk makin melemahkan Sunni itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun benturannya dengan kalangan eksternal.
Sejauh mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan kalangan nasionalis, atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, yang bisa menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk meninggalkan identitas Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga komunitas Sunni makin terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin sempit.
Demikian pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim dan penguasa lokal, yang notabene masih muslim, dengan kebaikan dan keburukannya, agar terhindar dari benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan kepada penguasa yang lebih buruk. Benturan antara Islamis dan penguasa lokal seperti yang terjadi di Libya, Sudan atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan agar tidak menjadi blunder di belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak luar untuk makin melemahkan kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan realitas adanya kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di sisi lain mereka adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri menjadi solusi, mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang. Daripada kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut jatuh sepenuhnya ke pihak lain.
Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang
Di suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini dari segala penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya untuk memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup hanya dihadapi secara emosional buta.
Kebenaran memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah kebaikan bagi kehidupan, tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit. Sedang takdir yang baik senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan cara-cara curang, menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh dan mudah diperdaya.
Dalam keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan kesulitan yang menimpa, nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal pikirnya memiliki kesadaran, yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara, sebuah nilai unggul yang akan menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan untuk menguasai dan menaklukkan manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki.
Menjadi sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang dibangun dengan aliansi dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para pencari kebenaran yang hakiki?
Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.
Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad.
Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini.
Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.