JAKARTA (voa-islam.com) - Semua prediksi tentang ekonomi Indonesia tidak yang berpandangan optimis. Semuanya memiliki prediksi yang pesimis. Pandangan pesimis sejumlah kalangan atas perekonomian Indonesia, tentu punya dasar yang kuat.
Bisa jadi, ekonomi sudah memasuki bukan krisis lagi, sudah masuk tahap yang kritis. Karena, indikator dan tanda-tanda bahwa kondisi Indonesia sudah memasuki tahap kritis itu, sudah sangat jelas. Namun, kondisi ini akan bisa lebih memburuk lagi, bila ditambah dengan faktor politik yang sangat berpengaruh ikut menciptakan kondisi lebih buruk.
Seperti dikemukakan oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden, secara terbuka dia berbicara soal krisis ekonomi. "Saat ini, memang belum masuk krisis, tapi sangat berpotensi," kata Haedar, Selasa, 22/9/2015.
Ya, Haedar memang bukan ahli ekonomi. Meski demikian, pernyataan itu, tentu ada dasarnya. Apalagi, Haedar adalah akademisi, penulis, sekaligus tokoh senior IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Artinya, pernyataan orang nomor satu di PP Muhammadiyah ini, pasti tidak ngawur. Apalagi dalam kesempatan itu, Haedar menyerahkan hasil kajian Tim Ekonomi Muhammadiyah kepada Jokowi.
Pada perdagangan Rabu (23/9), nilai tukar rupiah atas US$ terjun bebas sampai Rp 14. 650 per US$. Kondisi ini, tentunya tak bisa dianggap remeh. Belum sampai tutup tahun, rupiah bisa jebol sampai Rp 15.000 per dolar AS.
Tentunya, ekonomi pasti makin berat. Khususnya bagi industri yang memiliki utang dalam bentuk valuta asing (valas). Berdasarkan catatan Bank Indonesia, sampai kuartal II-2015, jumlah utang luar negeri swasta mencapai US$ 169,7 miliar. Atau naik di bandingkan kuartal I-2015 sebesar US$ 165,3 miliar. Sedangkan utang luar negeri pemerintah pada kuartal II-2015 sebesar US$ 134,6 miliar.
Repotnya lagi, hanya segelintir swasta yang melakukan hedging (lindung nilai) atas utang luar negerinya. Padahal, salah satu penyebab rontoknya ekonomi Indonesia pada krisis 1997-1998, karena banyaknya korporasi yang tak menerapkan hedging atas utang luar negerinya.
Kala itu, perusahaan swasta memiliki utang luar negeri dalam porsi yang jumbo. Di saat dunia dilanda krisis moneter, Indonesia kena imbasnya. Saat itu, nilai tukar rupiah terus melemah. Semula rupiah berada di level Rp 2.500 per US$. Saat krisis, rupiah terbenam sampai level Rp 16.000 per US$.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang menanggung utang valas itu, langsung kelojotan. Pada akhirnya harus tutup. Mau tak mau, jumlah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pasti semakin tinggi. Baru-baru ini, KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) mencatat 100 ribu perkeja menjadi korban PHK. Kalau rupiah anjlok sampai Rp 15 ribu per US$, jumlah PHK pasti gede lagi.
Peringatan dari Fitch Ratings :
Awal September ini, Fitch Ratings mengeluarkan hasil stress test terhadap sembilan bank beraset kakap. Ditemukan adanya kenaikan risiko yang harus dihadapi perbankan. Terutama akibat meningkatnya rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang pada akhir Mei 2015 mencapai 2,6%. Angka ini naik di bandingkan 2013 yang berada di bawah 1,8%.
Kesembilan bank itu adalah, Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, CIMB Niaga, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia, Bank Pan Indonesia, dan Bank OCBC NISP. Dari Sembilan bank itu, menurut Fitch Ratings, hanya empat empat bank yakni Mandiri, BCA, BRI, dan BNI, yang memiliki modal besar untuk menahan kerugian akibat kenaikan biaya kredit.
Artinya, lima bank lainnya bisa terancam. Kalau lima bank beraset kakap saja bisa kolaps, bank yang jumlah asetnya di bawah, tentu sudah tenggelam, alias bankrut.
Dari hasil uji daya tahan ini, Fitch menilai, tekanan lebih besar bakal dihadapi bank-bank skala menengah. Kendati begitu, bank-bank tersebut masih memiliki bantalan yang cukup kuat untuk menahan gejolak, terutama dengan adanya dukungan dari induk usaha.
Penilaian Fitch, risiko kenaikan NPL perbankan, pemicu utamanya adalah porsi kredit dalam bentuk valuta asing (valas). Dalam catatan Fitch, dilihat dari komposisi kredit valasnya, sistem perbankan Indonesia menerima tekanan paling besar jika di bandingkan bank lain di ASEAN.
Bank-bank besar, seperti Mandiri dan BNI, memiliki risiko terbesar dari sektor ini, di bandingkan bank-bank lokal lainnya. Komposisi kredit valas di kedua bank tersebut berkisar di angka 14%-15%. "Bank-bank utama mendapatkan pengaruh yang lebih besar dari turunnya harga komoditas, tapi masih bisa terkelola dengan baik," papar Fitch.
Belakangan ini, banyak pejabat yang menuding faktor ekternal sebagai kambing hitam pelemahan rupiah. Data Bloomberg, sejak awal tahun hingga 24 Agustus 2015, pelemahan rupiah mencapai 12%. Bila disandingkan dengan negara-negara ASEAN, pelemahan rupiah kedua terjelek setelah ringgit Malaysia 18%. Sementara bath Thailand 7,6% dan peso Filipina 4,6%. Jadi, alasan apalagi?
Dampak krisis ekonomi Cina?
Ekonomi Indonesia juga tidak bisa dilepaskn faktor global dan regional. Belum lama terjadi chrash di pasar modal. Shanghai Stock Market terjadi kekacauan, dan Cina kehilangan sebesar lebih 30 persen uagnnya di bursa saham. Cina sudah duakali mendevaluasi mata uangnya Yuan, tapi tak dapat merendakan situasi. Cina kehilangan dana dalam sekejap $ 5 triliun dolar!
Pertumbuhan ekonomi Cina terus terkoreksi. Ekonomi Cina yang mula-mula tumbuh 10 persen, sekarang tinggal 5-6 persen setahun. Cina menjadi faktor determinan atas kondisi ekonomi regional. Karena itu, Presiden Cina Xi Jinping buru-buru pergi Amerika, bertemu dengan sejumlah pengusaha dan pembisnis. Namun, segalanya akan menentukan The FED (Bank Sentral Amerika).
Ketua PP Muhammadiyah itu, pasti menyampaikan hasil pertemuannya dengan Presiden Jokowi itu, memberikan 'warning' (peringatan) kepada bangsa Indonesia, dan bangsa Indonesia harus bersiap-siap menghadapi kondisi kritis dengan segala implikasinya. Bulan depan Presiden Jokowi akann ke Amerika dan bertemu dengna Obama. Skenario apa yang bakal terjadi? Kita tunggu. (afh/dbs/voa-islam.com)