DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
(Komisi Kumdang MUI Pusat)
Ideologi sebagai sistem kepercayaan sangat komplek, memiliki satu struktur yang logis, dan menuntut kepatuhan dari para pengikutnya. Unsur-unsur ini menjadikan ideologi sangat mengikat, mengarahkan penganutnya pada tujuan tertentu, dan biasanya dipegang hanya oleh para elite.
Oleh karena hanya beberapa orang saja yang dapat menangkap kompleksitas, struktur, dan karakter teoretisnya. Namun demikian, ideologi juga mengikat masyarakat awam atau massa yang memerlukan panduan.
Dapat kita katakan, bahwa ideologi menjadi alat yang sangat strategis dan signifikan dalam memobilisasi massa. Suatu sistem ideologi melahirkan sistem hukum tertentu yang diharapkan menjustifikasi kepentingan suatu Negara.
Di era globalisasi saat ini, keberadaan Negara semakin dipertanyakan eksistensinya. Sebab, selain otoritas Negara telah bermunculan kekuatan actor nonstate yang memiliki energi seperti layaknya Negara.
Konsep kedaulatan pasar telah mampu menandingi kedaulatan Negara. Pada banyak kasus, Negara Dunia Ketiga – termasuk Indonesia – ‘dihadapmukakan’ pada kenyataan ketergantungan Negara pada kekuatan pasar (market power). Lazim disebut dalam kajian hubungan internasional sebagai ketergantungan Negara-negara ‘pinggiran’ (periphery) terhadap Negara core.
Penulis tidak menyalahkan pandangan pakar yang menganggap liberalisasi adalah sebagai penjajahan model baru yang dikemas dalam konsep “Tata Dunia Baru (Novus Ordo Seclarum). Namun, selain ancaman liberalisasi terdapat ancaman yang lebih dahsyat, yakni ekspansi ideologi dan hukum sekaligus dengan karakter transnasional serta transendental.
Jika dalam ekspansi liberalisasi ekonomi banyak Negara yang terlibat, tapi dalam ekspansi yang satu ini, hanya satu Negara yakni Iran. Penyebaran ideologi dan hukum yang menonjolkan nilai-nilai kerohanian dan bahkan sukar untuk dipahami karena berdimensi gaib. Dikatakan demikian, oleh karena kepercayaan Syi’ah Iran atas Imam Mahdi as yang dalam masa kegaiban besar (major occultation), sejak 1074 tahun yang lalu.
Iran dengan massif dan ofensifnya telah membentuk pula actor nonstate di berbagai Negara, khususnya yang berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia dengan nama Islamic Cultural Center (ICC). Lembaga penyebaran ideologi ini – meminjam istilah Althusser – dapat disebut “Apparatus Negara Ideologis” (ideological state apparatus/ISA). Sistem hukum Syi’ah Iran merupakan pintu masuk (entry point) yang sangat efektif dalam ekspansi ideologi Syi’ah Iran. Mengapa dikatakan demikian? Jawabnya, bahwa hukum merupakan situs pertarungan ideologi.
Ideologi yang dominan pada akhirnya akan masuk ke dalam hukum dan pada akhirnya hukum itu sendiri akan semakin memperkuat ideologi untuk lebih dominan. Inilah yang penulis maksudkan sebagai ekspansi ideologi-politik Syi’ah Iran.
Ekspansi dimaksud juga didukung dengan pendekatan keagamaan (transcendental), dengan target “Syiahisasi”, mengeksodus kaum muslim menjadi Syi’ah dan berbaiat kepada pimpinan tertinggi Republik Iran (Rahbar), yakni Ali Khamenei sebagai mandataris atau deputi Imam Mahdi as selama masa gaib. Menjadi jelas bagi kita, aspek transendental yang mengusung ajaran Syi’ah merupakan sisi aktif ideologi (imamah) Iran.
Syiahisasi juga berpotensi melemahkan rasa, paham dan semangat nasionalisme Indonesia. Ketika Syiahisasi sudah demikian kuat dan melembaga dalam sistem politik dan pemerintahan, maka akan terjadi hubungan timbal balik (difusi) antara hukum dan ideologi yang hendak diberlakukan di Negara target.
Ideologi imamah Iran akan dikokohkan dengan sistem hukum Syi’ah. Di sisi lain produk hukum yang akan dihasilkan ditentukan pula oleh ideologi imamah Iran. Bukan hal yang mutahil, semua itu akan terjadi di Indonesia yang kita cintai ini.
Contoh kasus di berbagai Negara menjadi pelajaran berharga bagi kita. Lihatlah beberapa Negara telah menjadi “Negara bagian” Iran, seperti Lebanon dengan gerakan politik dan militer Hizbullah, Irak pasca pendudukan Amerika, dan Yaman dengan serangkaian gerakan kudeta militer yang dibantuk oleh Iran.
Pada kasus di Indonesia, perjuangan subjek yuridis Iran adalah menguasai pembentukan hukum (making law). Untuk kepentingan ini, mereka masuk dalam struktur kekuasaan untuk memproduksi hukum yang mendukung rencana, aksi dan kondisi juang (RAK-Juang). Diharapkan struktur kekuasaan (baca: pemerintah) akan memihak kepada Iran.
Ketika tercipta keberpihakan, para subjek yuridis Iran yang notabene adalah agen Iran akan menciptakan kondisi bersekutunya elite politik, cendekiawan dan kaum pebisnis dengan Iran dalam bentuk kebijakan yang mendukung penguasaan dan penundukan para pegiat anti Syi’ah. Pola ini merupakan perluasan dari teori Marx.
Jika teori Marx berbicara tentang motif ekonomi di balik aturan hukum, maka Syi’ah Iran mengusung motif-motif kekuasaan. Walaupun keduanya sama-sama mengusung jargon kaum tertindas (mustadhafin), borjuis – penindas (mustakhbirin), namun Iran lebih maju dalam memetakan hubungan-hubungan kekuasaan (authority) dalam menyedikan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Maksudnya, menegasikan kaum penindas yang tidak lain ditujukan kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ajaran mainstream di Indonesia.
Pada akhirnya, cita-cita memberlakukan hukum ala imamah diarahkan untuk mendukung dan melayani sang deputi Imam Mahdi as. Di saat yang sama, pihak yang bersekutu akan menjadi “Syi’ah Relasional”. Kelompok ini sudah terlanjur menikmati status ekonomi yang relatif tinggi, dan tentu cenderung memihak kepada Iran.
Disitulah terjadi penguasaan dan penundukkan, bukan hanya kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah tetapi juga kepada pemimpin nasional. Jika sudah sampai pada tahap ini, maka Indonesia akan mengalami nasib yang sama seperti Lebanon, “Negara bagian Iran”!
Semoga tidak terjadi dan pemerintah segera meningkatkan fungsi early warning dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional (National Resilience)dari ancaman nirmiliter Syi’ah Iran. [PurWD/voa-islam.com]