View Full Version
Selasa, 19 Jan 2016

Informasi Jibriel Merepotkan Siapa? Hipokrit Kaum Liberal Pasca Serangan Sarinah (Bagian Dua-Habis)

 

Oleh

Fajar Shadiq

Anggota Jurnalis Islam Bersatu (Jitu), Redaktur Pelaksana di media Kiblat.net

 

DENGAN pergaulannya yang cukup intensif selama di masa penahanan, mungkin Jibriel lebih mengenal sosok Bahrun Naim dibanding para pengamat terorisme lainnya.

Jibriel juga yang pertama kali mengidentifikasi dan menyebut sosok penyerang berkaus hitam dan bertopi yang menembak anggota polisi. Afif alias Sunakim, disebut oleh media massa secara perdana lewat mulut Jibriel. Jibriel mengenal Afif, juga semasa dalam tahanan.

"Afif adalah tukang urut Aman Abdurahman. Dia pernah dipenjara karena kasus teror di Aceh selama tujuh tahun di LP Cipinang,” kata Jibriel kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/1).

Agaknya, ada sejumlah pihak yang merasa kerepotan dengan informasi yang disampaikan Jibriel. Sehingga, CNN Indonesia yang mula-mula menampilkan sosok dikenal flamboyan ini langsung dihujani serangan bertubi-tubi.


Pemberitaan Terorisme dan Kaum Liberal yang Hipokrit

Sejak kasus Bom Bali I dan II, media di Indonesia menaruh perhatian besar pada isu terorisme. Apalagi selama sepuluh tahun terakhir, aksi pengeboman terus terjadi dalam skala yang berbeda dan wilayah yang beragam. Terorisme menjadi isu yang menarik untuk diliput. Media televisi malah menghadirkan banyak tayangan dialog membahas terorisme.

Menjadi kewajiban jurnalis untuk memberikan informasi akurat dan berimbang kepada publik. Tapi pada praktiknya, ada kecenderungan pergeseran. Informasi yang dihidangkan relatif kering dan searah. Keterbatasan akses, begitu alasannya. Jurnalis umumnya hanya mendapatkan informasi dari kepolisian, itu pun pejabat humas atau penerangan. Walhasil, jurnalis mendapatkan informasi satu arah.

Akibat lanjutannya, liputan media acapkali tergelincir menjadi corong pihak kepolisian semata. Padahal, jurnalis mestinya paham media bisa dijadikan alat propaganda oleh kelompok tertentu.

Terkait hal itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah menerbitkan buku “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme”.Menurut AJI, ada sejumlah dosa yang kerap dilakukan para jurnalis dalam meliput terorisme.

Dosa pertama, jurnalis acapkali mengandalkan satu narasumber resmi. Kedua, lalai dalam melakukan verifikasi. Ketiga, malas menggali informasi di lapangan. Keempat, lalai memahami konteks. Kelima, terlalu mendramatisasi peristiwa. Keenam, tidak berempati pada narasumber. Ketujuh, menonjolkan kekerasan. Kedelapan, tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan diri. Dan kesembilan, menyiarkan berita bohong.

Dalam kasus bom Sarinah, sayangnya para jurnalis media-media arus utama mengulangi kembali dosa-dosa ini. Kehadiran Jibriel sebagai mantan terorisme dipertanyakan segelintir pihak, tapi pada saat yang sama mereka tak keberatan jika mantan teroris seperti Ali Fauzi, Nasir Abbas dan Abdurrahman Ayyub dijadikan narasumber.

Pemberitaan yang menonjolkan kekerasan dan mendramatisasi peristiwa juga sekali lagi terjadi. Komisi Penyiaran Indonesia sampai harus menyemprot para pengelola media akibat pemberitaan bom Sarinah yang over eksposure.

Dandhy Laksono, Jurnalis senior yang juga menulis buku “Jurnalisme Investigasi”, turut mengkritik media arus utama terkait glorifikasi narasumber. “Di lapangan, ‘NKRI Harga Mati’ itu sama menakutkannya dengan ‘kafir halal darahnya’. Dan jangan tanya glorifikasi media pada yang pertama,” kata Dandhy.

Dandhy mengkritik para praktisi media yang bersifat hipokrit. Sebab, media arus utama kerap mengglorifikasi para pengusung semangat nasionalisme dengan slogan NKRI Harga Mati. Bagi jurnalis senior macam Dandhy, slogan semacam itu dianggap salah, jikalau memaksakan batas tanah airnya pada orang lain yang merasa tak sebangsa.

Walhasil, dari sini nampak terlihat betapa hipokritnya para pengusung ide-ide liberal. Mereka kerap meneriakkan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi sering kesurupan ketika ideologi yang mereka asongkan mendapatkan rival yang sepadan.

Fitrahnya, manusia itu kerap bertarung dalam hatinya ketika mendengar bisikan dari malaikat yang mendorong kebaikan dan dari setan yang menjerumuskan pada jurang kesalahan. Agaknya, ‘bisikan’ Jibriel, semacam bisikan yang membuat para setan kejang-kejang.* Selesai

 

Editor: Ibnu Syafaat


latestnews

View Full Version