Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM
Penggagas Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah & Konvensi Gubernur Muslim
KITA SADARI bahwa hukum (baca: peraturan perundang-undangan) adalah produk politik. Sebagai produk politik, tentunya lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan (power). Kekuasaan yang absolut, ternyata juga lebih dekat dengan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), seperi perilaku tindak pidana korupsi, sebagaimana dinyatakan oleh Lord Acton, “power tend to corrupt.”
Disisi lain, kemampuan aparat penegak hukum (law enforcement) dan lembaga legislatif sebagai badan pengawas masihlah lemah. Konsepsi negara hukum menjadi dipertanyakan!. Sistem demokrasi kita lebih kepada formalitas belaka, hanya untuk menyakinkan dunia “Indonesia sebagai negara demokrasi”.
Namun, sistem demokrasi yang dianut oleh semua negara juga dipertanyakan dalam keberhasilannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penerapan sistem demokrasi lebih condong kepada upaya pendistribusian kekuasaan belaka, sehingga menjauhkannya dari tujuan dan cita-cita nasional. Penyelenggaraan sistem desentralisasi (Otonomi Daerah) telah banyak melahirkan pejabat daerah yang korup. Kualitas Kepala Daerah juga hanya didasarkan kepada popularitas belaka. Semua Partai Politik berkeinginan agar kadernya menjadi orang nomor satu di wilayahnya masing-masing, dengan harapan mampu mengantarkan pimpinan Parpol menjadi orang nomor satu pula di Indonesia.
Lebih lanjut, diadakannya calon independen dalam Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur semakin membuat suara umat Islam terpecah belah, dan bahkan banyak melahirkan pemilih golput. Berbeda halnya, dengan partai politik yang telah mapan dengan kemampuan memobilisasi massa.
Calon independen belum mampu mendapatkan dukungan dari umat, mengingat keterbatasan dalam penggalangan dukungan. Calon independen juga belum memiliki sistem dan mekanisme pertanggungjawaban internal dalam hal yang bersangkutan terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Berbeda halnya dengan calon yang diusung oleh Parpol, terdapat kontrak politik diantara mereka.
Sejarah juga telah membuktikan bahwa sistem multipartai telah membawa ketidakstabilan sistem politik. Pada era Orde lama, pemerintahan “jatuh bangun”. Sementara itu, PKI diuntungkan dengan terkotak-kotaknya umat Islam dalam berbagai partai. Pada masa sekarang, sistem multi partai juga memperlemah kedudukan negara (baca: pemerintah). Suatu dilema, semakin menguatnya demokrasi menjadikan negara tidak berlaku efektif.
Sebaliknya semakin efektifnya negara, menjadikan tidak demokratis. Tesis Samuel Hungtinton inilah yang menjadikan semua negara berkembang – seperti Indonesia – lebih mengejar aspek demokrasi, terlebih lagi tampilnya kekuatan Civil Society sebagai kelompok penekan demikian banyak. Umat Islam juga harus membangun kekuatannya melalui Civil Society yang Madani guna menampung aspirasi umat Islam dalam rangka menghadirkan pemimpin muslim di setiap penyelenggaraan pemilu, termasuk Pilkada Jakarta.
Belum Ada dalam Ketatanegaraan
Tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan Jakarta pada perubahan yang sangat mendasar yakni harus adanya alternatif pilihan bagi konstituen muslim, khususnya kaum Golput. Penulis yakin dengan bersatunya komponen umat Islam melebur dalam suatu kelembagaan Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah akan dapat menaikkan suara dan memenangkan Pilkada Gubernur Jakarta tahun 2017 yang akan datang.
Bakal Cagub & Cawagub yang berkeinginan untuk maju pada Pilkada Jakarta tahun 2017 memiliki kesempatan yang sama dalam konvensi, baik yang berasal dari unsur independen maupun partai politik. Proses seleksi dilakukan secara bertahap, dimulai dari seleksi, jajak pendapat (polling) untuk mengukur popularitas bakal calon,, uji kompetensi yang dilakukan oleh tim independen – dengan melibatkan para pakar – sampai tahap akhir yakni wawancara dengan Dewan Pemilih dan Majelis Tinggi.
Publik dipastikan akan terhentak dengan adanya model dukungan dan pencalonan yang belum pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan selama Indonesia merdeka hingga saat ini. Jika takdir Allah SWT menetapkan kemenangan pada calon yang usung oleh umat Islam melalui Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah tentu akan menjadi perbincangan di seantero nusantara, dan bahkan di level dunia."
Ketika calon telah ditentukan secara definitive oleh Dewan Pemilih dan Majelis Tinggi, maka kepada calon diberikan dukungan suara umat dalam bentuk copi KTP dan surat dukungan sebagaimana yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Segera setelah itu, Majelis Tinggi akan mengumumkannya ke masyarakat luas dan mengantarkannya ke KPUD Jakarta untuk mendaftarkan diri.
Publik dipastikan akan terhentak dengan adanya model dukungan dan pencalonan yang belum pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan selama Indonesia merdeka hingga saat ini. Jika takdir Allah SWT menetapkan kemenangan pada calon yang usung oleh umat Islam melalui Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah tentu akan menjadi perbincangan di seantero nusantara, dan bahkan di level dunia.
Pada akhirnya, kita ingin membuktikan bahwa Islam lebih maju dari sistem apa pun yang dikembangkan oleh pihak asing. Kita ingin melepaskan diri dari cengkeraman asing yang selama ini telah terbukti membawa malapetaka ketidakadilan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.* Selesai