Oleh:
Harits Abu Ulya, pengamat terorisme
KASUS kematian Siyono saat ditangan Densus menjadi perhatian luas publik. Langkah serius Komnas HAM bersama banyak elemen Ormas Islam khususnya Muhammadiyah menempuh advokasi dengan tahapan awal otopsi menjadi sangat berarti bagi masyarakat sipil pencari keadilan.
Publik berharap dari otopsi berlanjut ke advokasi berikutnya biar terungkap kebenaran kasus Siyono.
Disisi lain sangat tampak pihak Polri "guncang" dengan langkah diatas. Sejak awal Polri bersikukuh Densus88 tidak berasalah. Bahkan paska otopsi dan belum diumumkannya hasil otopsi, pihak Polri membangun penguatan opini bahwa Densus 88 tidak melakukan kekerasan, tidak membunuh terhadap Siyono. Semua sudah dianggap sesuai SOP, cuma ada catatan kecil yaitu adanya kelalaian karena Siyono dikawal satu orang Densus.
Poin Penting
Mengkaji narasi yang dibangun oleh Polri dihadapan publik, perlu kiranya kita mengujinya. Berikut beberapa poin pentingnya:
Pertama: klaim bahwa kelompok yang nuntut keadikan atas kasus Siyono adalah pro terorisme. Jika konsisten dengan nalar tersebut maka kita bisa katakan bahwa pengacara yang advokasi tersangka koruptor di pengadilan adalah pro korupsi. Begitu juga setiap orang yang simpati kepada para koruptor hakikatnya adalah pro korupsi. Ini catat pertama dari logika yang diumbar pihak Polri.
Kedua: langkah densus 88 sudah sesuai dengan prosedur saat menangani Siyono. Kalau memang sesuai prosedur kenapa bisa sampai meninggal? bukankah amanah UU-nya seorang terduga dan atau tersangka itu ditindak dibawa ke pengadilan yang transparan?
Ketiga: info sepihak dari Polri dinyatakan Siyono melawan ketika diamankan anggota Densus. Ini berarti Densus sangat ceroboh, katanya pasukan elit tapi mengamankan seorang guru ngaji saja sampai melahirkan preseden buruk yakni hilangnya nyawa. Dan ini bukti kesekian kalinya Densus kerja tidak profesional.
Keempat: tidak ada yang ditutup -tutupi oleh Polisi. Kalau tidak ada yang ditutup-tutupi kenapa harus panik ketika jenazah Siyono mau diautopsi, paska di otopsi dan sebelum hasil otopsi dipublish? bukankah di Perkap Nomer 23 Tahun 2011 Pasal 19 ayat 3 dijelaskan ketika penindakan seseorang/tersangka berakibat hilangnya nyawa/kematian maka harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Lantas langkah apa yang dilakukan Polri untuk bisa mempertanggungjawabkan kematian Siyono secara hukum? Kenapa justru sangat terkesan keberatan dengan keluarga dan masyarakat yang menuntut keadilan atas kematian Siyono?
Kelima: muncul klaim masyarakat membuat-buat opini. Fakta aktualnya hari ini bukannya yang membuat-buat opini adalah Polisi sendiri?
Klaim sepihak polri atas Siyono yang belum pernah divonis dipengadilan dengan label lebih tepatnya vonis teroris dari pihak polri.Bahkan vonis lainnya seperti Siyono berbahaya, pegang senjata, orang penting kelompok Neo JI dll. Adakah semua itu terbukti dipengadilan? Siyono tewas dan tuduhan tersebut tidak akan pernah terkonfirmasi atas seorang yang sudah mati.
Jika Siyono dianggap orang penting dan petinggi Jamaah Islamiyyah kenapa penanganannya sembrono?
Kalau memang petinggi Jamaah Islamiyyah kenapa tidak dirunut jaringannya? Kenapa malah dibikin mati? katanya mau memutus jaringan terorisme.
Bagaimana mau mendeteksi anggota, anak buah dan gerakkannya kalau orangnya sudah tiada? Katanya mau memberantas terorisme sampai ke akarnya.
Kalau memang Siyono adalah kunci untuk mengungkap gudang persenjataan Jamaah Islamiyyah. Kenapa malah disiksa hingga tak bernyawa? Kenapa tidak "dirayu" dan "diperalat" saja?
Bukankanya Polisi punya "rayuan maut"? Nasir Abbas yang punya reputasi terorisme internasional saja bisa takluk, kenapa tidak dengan Siyono?
Apapun argumentasi Polri, fakta empiriknya Siyono tewas dan tidak bisa dihidupkan lagi. Maka menjadi hak keluarga menuntut kebenaran dan keadilan atas musibah yang menimpa keluarganya.
Rasa Keadilan menjadi hak dasar siapapun, karena rasa butuh kepada keadilan inilah yang mendorong banyak elemet masyarakat mendorong Polri untuk jujur dan legowo plus konsisten dengan segala konsekuensinya.**