View Full Version
Senin, 07 Nov 2016

Sepenggal Kisah Pak Oye yang Syahid Saat Membela al-Quran di Depan Istana Presiden (Bagian Satu)

MALAM sudah larut, namun Hermalina, perempuan paruh baya itu masih asyik menyetrika baju koko dan sorban putih yang akan digunakan suaminya, Syachrie Oemar Yunan (65). Sang suami pagi-pagi sekali akan berangkat mengikuti aksi damai Bela Islam menuntut keadilan bersama jutaan kaum muslimin lainnya di depan Istana negara.

Masih ingat dalam benak ibu tujuh anak ini, beberapa hari ini, suaminya nampak sangat berbeda dibanding hari-hari sebelumnya. “Bapak sangat semangat sekali, sampai mengajak tetangga-tetangga untuk berjihad. Beliau menyebut aksi tanggal 4 November sebagai jihad,” kenang Hermalina kepada anggota Jurnalis Islam Bersatu (Jitu), Sabtu (5/11/2016) di kediamannya di bilangan Binong Kabupaten Tanggerang.

Malam itu, ditatapnya lamat-lamat wajah suaminya yang tak lagi muda, sedang pulas tertidur setelah ba’da isya berkeliling kampung mengajak warga untuk ikut membela Islam Jumat ini. Herlina tak kan pernah menyangka, malam itu akan menjadi malam terakhir bersama sang belahan jiwa.

“Saya benar-benar nggak pernah menyangka. Mungkin karena beliau benar-benar sudah ikhlas ingin berjihad, tidak ada pesan khusus apapun” kenang Hermalina.

Namun, tetangga-tetangga yang didatangi Syahrie menyampaikan keanehan pada Syachrie. “Wajah bapak nampak cerah dan bercahaya malam itu,”kata Hermalina mengenang.

Syachrie Oemar Yunan, dikenal kerabat dan tetangga dengan panggilan karib Pak Oye. Beliau merupakan tokoh sepuh di RW 07 Binong Permai Kabupaten Tanggerang yang konsern pada umat apalagi ketika al Quran dinista.

Memang, pernah terjadi diskusi antara sejoli ini, mengapa Syachri yang sudah sepuh, berusia lebih dari kepala 6 harus capek-capek ikut aksi damai. “Kita ini membela al Qur’an dari si penista, jangan takut mati untuk membela kebenaran,” nasihat Syachrie bergebu-gebu kepada Harmalina yang terus terngiang-ngiang.

Jangan takut mati untuk membela kebenaran, maka, pagi itu Syachrie Oemar berangkat sebagi seorang mujahid. “Beliau berkali-kali menyebut aksi damai itu adalah jihad membela al Qur’an,” kata Dede Winata, kerabat dekat Syachrie yang juga warga Tanggerang.

Beberapa malam sebelum keberangkatan, di rumah Dede berkumpul para sesepuh yang akan melaksanakan aksi. “Saya masih ingat kata-kata beliau yang begitu menyentuh,” kenang Dede. Kata-kata yang menurut Dede begitu membekas di hadapan para hadirin. Inilah kata-kata Syachrie yang kelak terwujud.

“Jika ada 1000 orang mujahid berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah saya. Jika ada 100 orang mujahid berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah saya. Jika ada 10 orang mujahid berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah saya. Jika hanya tersisa seorang yang berjihad, maka seorang itu adalah saya”

Maka, pagi itu Syachrie Oemar Yunan berangkat sebagi seorang pejuang.”Doakan saya mau berjuang,” kata Syachrie menatap sang belahan jiwa setelah diam mematung cukup lama di depan pintu rumahnya. Itulah ucapan terakhir Syachrie kepada Herlina.

Pagi itu, Syachrie sendiri yang menyetir mobil bermuatan enam orang itu. “Saya berangkat tujuh orang, bersama Pak Oye, Pak Acang, Pak Ganda, Istri dan dua anak saya si Ben sama Aurel,” kata Wawan, tetangga Pak Oye yang merupakan jamaah ustaz Subki.

“Beliau berangkat dalam keadaan sangat sehat dan bersemangat, mobil aja dia yang nyetir,” kata Wawan.

Beberapa hari sebelumnya, memang kata Wawan, sebagai sesepuh kampung, Pak Oye terus mengajak warga untuk membela al Quran. “Padahal beliau bukan anggota partai politik apapun, bukan anggota ormas mana pun, beliau pencinta zikir dan shalawat, murni karena ingin membela al Quran,” Dede Winata menambahkan.

Saking semangatnya, Wawan, karibnya memutuskan untuk cuti kerja. “Ini jihad kita membela al Quran, bahkan kalau harus mati kita jalanin,” Pak Oye membuat Wawan terenyuh dan memilih bergabung bersama massa. “Saya tanya istri, dia juga mau ikut, sekalian saya mau nengok ke rumah mertua saya,” kenang Wawan.

Ahli Zikir dan Shalawat

Maka, pagi itu Syachrie Oemar Yunan berangkat sebagai seorang pejuang. Semobil dengan Pak Oye, Wawan begitu takjub mendengar beliau hanya berzikir dan membaca shalawat tak henti-hentinya. “Saya sama istri diturunin di Kota Bambu, saya ajak beliau mampir makan dulu, tapi beliau bilang mau ke Tanah Abang, kan dia banyak teman di sana,” kata Wawan yang akhirnya berpisah dengan pak Oye.

Suganda, yang hingga detik-detik akhir bersama dengan Pak Oye mengisahkan semangat beliau dan nostalgia Pak Oye bersama kawan-kawannya di Tanah Abang. “Jam 08 pagi kita sudah sampai di Tanah Abang, entah kenapa beliau mau ketemu teman-teman lamanya yang sudah 15 taun nggak ketemu, kangen katanya,” kata Suganda.

Suganda memperhatikan Pak Oye benar-benar menikmati silaturahim dengan kawan-kawannya, karena Pak Oye merupakan orang asli Betawi. “Obrolan beliau sepertinya begitu membekas bersama kawan-kawannya. Kita lanjutin shalat Jumat di Masjid Istiqlal, tapi ga memungkinkan karena sepanjang jalan sudah penuh,” kata Suganda.

Akhirnya, Pak Oye dan Suganda shalat bersama di Masjid Ar Rahal di bilangan Abdul Muis. “Beres Jum’atan kita makan, kita bawa bekel. Kita makan kesukaan beliau, pepes ikan,” kata Suganda.

Suganda mengenang, Rabu malam, Suganda membawakan pepes ikan kembung dan dimakan lahap berdua bersama Pak Oye. “Sampe dia catet sendiri resepnya pake HP, eh sekarang dia bawa pepes,” kata Suganda.

Usai makan, mereka bergerak, bersatu dengan lautan manusia menyusur Abdul Muis hingga jalan Budi Kemuliaan. “Selama di perjalanan beliau sangat sehat, sangat bersemangat,” kata Suganda yang menemani perjalanan beliau.

“Beliau tak henti-hentinya berzikir dan shalawat dengan semangat, memang beliau pencinta shalawat,”tambahnya.

Senja. Kuning keemasan, menaungi lautan manusia yang menyemut seakan tak berujung di sudut-sudut jalan protokol Ibu Kota. Suganda dan Pak Oye tiba di Patung Kuda, ujung Jalan Merdeka Barat dan Thamrin, bergabung dengan jutaan manusia yang terus menerus menyerukan keadilan.

Beristirahat sejenak, dengan semangat menggebu dan kondisi prima, Pak Oye berniat melanjutkan maju ke Istana, bersua dengan ulama mereka. “Saya baru teringat ucapan beliau di Patung Kuda, dia bilang mungkin bercanda.’Da, sampe sini aja kali ya kite, habis ini pisah kali ya’” katanya.

Suganda cuman bisa nyengir. “Maksudnya gimana? Jangan gitu dong, nanti kite balik yang nyetir siape?” kata Suganda sambil terkekeh. Mereka berdua menyusur lautan manusia hingga sampai di Ring 1 dekat para ulama dan habaib di depan. “Kira-kira di sebelah kanan para ulama, dekat monas,” kata Suganda. Bersambung....* [Jitu/Syaf/voa-islam.com]

Keterangan foto: Pak Oye (sebelah kanan) bersama almarhum Habib Munzir Al Musawa, Pimpinan Majelis Rasulullah


latestnews

View Full Version