Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI
Sebagaimana diberitakan, pihak Kepolisian mengatakan bahwa penyebar konten chat seks antara HRS dan FH berasal dari kelompok peretas atau hacker yang mengatasnamakan diri sebagai anonymous. Berdasarkan hasil penelusuran penyidik diketahui bahwa domisili penyebar awal konten mesum itu di Amerika Serikat. Penyebaran konten chat seks oleh kelompok peretas yang berlangsung secara masif dan ofensif ini merupakan salah satu bentuk perang asimetris (proxy war) yang dilakukan oleh nonstate actor.
Perlu diketahui, bawah kemunculan ancaman-ancaman yang bersifat asimetris telah menggeser paradigma pertahanan negara dengan menggunakan kekuatan militer (hard power) atau peperangan simetris menjadi peperangan yang bersifat asimetris yang tidak menggunakan metode serangan secara frontal, melainkan dapat melakukan serangan dengan menggunakan isu-isu ideologis, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi informasi.
Ditinjau dari pendekatan ancaman nirmiliter, proxy war tergolong mengancam Ketahanan Nasional Indonesia. Risiko yang ditimbulkan dari ancaman nir-militer dapat berimplikasi mengganggu stabilitas nasional. Terganggunya stabilitas nasional tidak saja menghambat pembangunan nasional, tetapi lambat-laun dapat berkembang menjadi permasalahan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ancaman nir-militer pada hakikatnya adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor nir-militer yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan keutuhan negara, kedaulatan wilayah negara, termasuk didalamnya keselamatan segenap bangsa.
Seiring dengan pesatnya infomasi dan telekomunikasi di era globalisasi ini, telah memunculkan pula suatu kondisi yang paradoks, mempengaruhi pola pikir anak bangsa dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi saat ini memperlihatkan adanya krisis kebangsaan yang cukup serius ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok eklusivisme berdasarkan pada sentimen primordial sehingga pada gilirannya berbagai konflik yang besifat horisontal sering dan cenderung mudah terjadi di seluruh Indonesia.
Pada saat yang sama, upaya penegakan hukum terhadap adanya dugaan konten chat seks HRS danFH, pihak penyidik telah menetapkan keduanya sebagai tersangka, padahal keberadaan pihak yang pertama kali melakukan penyebarluasaan belum diketahui. Di sisi lain, masyarakat telah terpolarisasi sedemikian rupa akibat pemberitaan anonymous yang provokatif. Sesama anak bangsa sudah mulai saling tidak percaya satu sama lain. Penegakan hukum terhadap HRS dengan pendekatan positivistik – yang hanya mengedepankan aspek prosedural – secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terciptanya polarisasi di masyarakat. Kondisi demikian tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Sepertinya kita terjebak dengan paradigma positivistik dalam cara berhukum, tanpa melihat adanya ancaman yang lebih besar yakni kepentingan geopolitik negara asing. Di sini kita dituntut untuk memahami geopolitik. Ketika kita mengabaikan geopolitik, maka sejatinya kita sedang membuka pintu yang seluasnya kepada berbagai kepentingan asing. Keterlibatan pihak asing untuk menciptakan proxy war dalam bentuk menciptakan hasutan dan konflik tanpa perlu terlibat langsung di dalamnya. Proxy war senantiasa bertujuan menciptakan agitasi melalui propaganda sistematis yang pada akhirnya menciptakan konflik, perang dan berkuasanya rezim baru yang dipengaruhi pihak asing. Pemenang proxy war kemudian akan menguasai pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukkan untuk kepentingan negara asing, dan kita tetap dalam posisi sebagai pelayan, tidak lebih. Proxy war telah merebak dimana-mana di sejumlah negara, sehingga banyak kalangan memprediksi proxy war ini menjadi pemicu pecahnya Perang Dunia Ketiga.