Oleh:
AB Latif*
BAHAYA mengancam partai pendukung Perppu Ormas 2/2017. Hal ini bisa dilihat dari berbagai penolakan yang terjadi. Penolakan luas dari rakyat itu kian hari kian terasa. Lihat saja aksi-aksi diberbagai daerah diseluruh Indonesia lebih-lebih di Jakarta. Lihat saja aksi 287 dan 299. Ini artinya penolakan terhadap adanya perppu 2/2017 cukup besar. Dari sinilah ancaman bagi parta pendukung perppu muncul. Pasalnya semakin kuat, tingkat kepercayaan pada partai pendukung perppu semakin menipis. Konsekuensi tragis akan didapat tatkala Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Seruan penolakan yang paling lantang dimotori ulama dan tokoh pergerakan yang sadar. Seruannya jelas kepada rakyat dengan melarang segenap umat islam untuk tidak memilih partai pendukung Perppu 2/2017 dan partai yang terindikasi mendukung komunisme. Dengan demikian harapan untuk kemenangan di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 sangat tipis. Inilah pertarungan politik bagi partai, apakah tetap menjadi pendukung Perppu atau berbalik menentang Perppu? Artinya keberanian dalam mengambil keputusan kebijakan partai sangat menentukan keberlangsungan partai. Hitungan kalkulator politik harus matang jika tidak ingin bernasib sial ditinggal rakyat.
Nasib Demi Nasib
Sebagai pertimbangan kecil yang belum lama terjadi adalah kasus tentang penista agama. Kita bisa berkaca dari Pilkada Jakarta ini, walau bagaimanapun kuatnya Ahok dengan para cybernya dan para kapital pemodal yang tidak tanggung-tanggung baik dari dalam dan luar negeri, ternyata bisa dikalahkan dengan satu isu. Artinya jika partai bersikeras untuk mendukung Perppu Ormas, maka bisa di prediksi bagaimana nasibnya kedepan. Lebih-lebih nanti saat pemilu 2019.
Selain Partai, lembaga tertinggi Negara yaitu MPR pun semakin tidak dipercaya umat jika Perppu ini sampai diundangkan. Pasalnya MPR merupakan wakil dari rakyat yang berarti apa yang di putuskan MPR merupakan wujud apirasi dari rakyat. Padahal dalam hal ini sebagian besar rakyat, baik dari kalangan pelajar, buruh, agamawan, dan ormas-ormas islam yang merupakan mayoritas negeri ini menolak adanya Perppu 2/2017 untuk dijadikan Undang–Undang.
Maka jika MPR tetap berpihak pada pembuat perppu maka istilah wakil rakyat akan menjadi pudar. Yang terjadi dinegeri ini MPR adalah wakil rezim dan penguasaha. Dalam hal ini kita lihat saja nanti apakah MPR menjadi wakil rakyat atau menjadi wakil Partai/rezim. Jika benar menjadi wakil rakyat maka keberpihakan kepada rakyat pasti aspirasi rakyat akan ia perjuangkan, tapi kalau tidak berarti MPR telah menjadi wakil parta/rezim.
Bukan tanpa alasan mengapa rakyat menolak Perppu 2/2017, lihatlah isi dan kandungannya. Salah satu alasan yang dilontarkan pemerintah dalam hal ini adalah untuk mempersempit kegiatan ormas. Dalam aturan tersebut, Pasal 59 ayat (3) huruf b, disebutkan bahwa suatu organisasi masyarakat dilarang untuk “melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.” Argumen bahwa Perppu ini dapat mempersempit ormas yang dianggap fundamenta terpatahkan sendiri lewat pasal ini. Melalui pasal inilah ormas keagamaan tertentu dapat memberangus kelompok agama lain yang tidak sama dengan mereka atas dalil penodaan/penistaan agama. Dengan kata lain, aturan ini sebetulnya justru jadi senjata baru bagi ormas fundamental dan sekaligus jadi momok baru bagi kelompok minoritas manapun.
Selain jadi ancaman serius bagi ormas keagamaan, Perppu ini juga sama bahayanya bagi eksistensi ormas apapun. Sepanjang ia ditetapkan berbahaya oleh Pemerintah. Pasalnya, melalui Perppu ini mekanisme pengadilan untuk melakukan pembelaan dihapus dan otoritas untuk menentukan suatu kelompok berbahaya atau tidak hanya berada di tangan pemerintah. Artinya ormas apapun tidak mempunyai ruang untuk pembelaan atau pra pengadilan jika pemerintah sudah menyatakan bahaya.
Istilah-istilah yang ada di dalam Perppu, semisal “penodaan” “separatisme” “bertentangan dengan Pancasila” dan-lain-lain, akan sangat tergantung dari kepentingan apa yang sedang diusahakan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Ini jelas berbahaya. Serikat Buruh, misalnya, bisa saja dianggap berbahaya karena mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional karena melakukan demonstrasi atau mogok kerja di kawasan industri. Begitu juga yang mungkin terjadi pada kelompok penentang pembangunan yang sekarang gencar dilakukan oleh rezim Jokowi-JK.
Inilah sebenarnya alasan mengapa sebagian besar rakyat Indonesia menolak Perppu 2/2017 ini. Jika dianalisa lebih dalam terbitnya Perppu ini justru dikarenakan kekhawatiran rezim akan 2019. Mengapa demikian ? hal ini bisa kita lihat reaksi pemerintah melihat kekalahan Ahok yang telah didukung oleh pemerintah dengan barisan para pengusaha yang sangat banyak. Kalau Ahok dengan dukungan sehebat itu bisa dikalahkan bagaimana dengan yang lain? Inilah yang melatarbelakangi terbitnya Perppu 2/2017.
Sekarang inilah saatnya partai dan MPR bergerak bersama rakyat menentang Perppu Ormas 2/2017. Jika masih ingin dipilih rakyat maka perjuangkan aspirasi rakyat jangan sampai rakyat memuntahkan kemarahannya. Lihat akasi rakyat berikutnya jika partai tidak segera bertindak. * Direktur Indopolitik Watch