View Full Version
Jum'at, 03 Nov 2017

TOLAK REKLAMASI 1: Reklamasi Itu Comberan Raksasa, Ini Temuan Peneliti Belanda

RUBRIK COUNTER FAITH 

Sahabat Voa Islam, Rubrik Intelligent Leak kali ini kembali menuangkan cerita berseri yang kerap tak diberitakan media nasional arusutama, demi rakyat dan pribumi yang telah berkorban jiwa, raga, darah dan nyawa, Voa Islam kembali hadirkan Berita Berseri Tentang : REKLAMASI (1)

=============================================

Sahabat Voa Islam yang di Rahmati Allah Subhanahu Wa Taala...

Reklamasi terus menerus menjadi isu yang bergulir ditengah warga ibukota, pasalnya bukan hanya kesewengan yang kentara, akan tetapi masalah hukum yang ugal-ugalan menjadi salah satu dari sekian ragam celoteh rakyat.

Kali ini Voa-Islam mengupas dari sudut pandang yang cenderung berbeda, apa pasal? 

Tak lain perbedaan sudut pandang yang diungkap, namun jika masalah ini diungkap rasanya tak mungkin lagi kita mampu mengelak.

Seorang peneliti asal Belanda mengungkapkan bahwa, reklamasi yang terus dibangun di selat Jakarta ini ternyata menyimbang COMBERAN RAKSASA, penulis itu adalah Simon A. van der Wulp a,⁎, Larissa Dsikowitzky b, Karl Jürgen Hesse a, Jan Schwarzbauer

Mari kita mulai... eng ing eng...

=============================================

Peneliti Belanda: COMBERAN RAKSASA itu BERNAMA REKLAMASI

Ismail Fahmi menulis pada akun media sosial Facebook miliknya, (26/10/2010) Ia mengunggah Paper terbaru, lumayan gres, tahun 2016. Tentang simulasi numerik limbah nitrogen yang dilepaskan oleh 13 sungai ke Teluk Jakarta, yang terakumulasi karena reklamasi dan Giant Sea Wall.

Jurnal peer-reviewed. Internasional. Dipublish oleh Elsevier. Ditulis oleh bule Jerman dan temen2nya, van der Wulp. Moga-moga ini menjawab kebutuhan teman2 yg butuh artikel di jurnal internasional.

ARTIKEL JURNAL

Master Plan Jakarta, Indonesia: The Giant Seawall and the need for structural treatment of municipal waste water
Simon A. van der Wulp a,⁎, Larissa Dsikowitzky b, Karl Jürgen Hesse a, Jan Schwarzbauer

Marine Pollution Bulletin, 2016.

http://dx.doi.org/10.1016/j.marpolbul.2016.05.048

HASIL PERHITUNGAN DAN SIMULASI

Buat yang ndak sempat baca, atau ndak bisa download, atau tidak biasa baca paper, ini dibuat summary bagian-bagian pentingnya.

Jadi, dalam simulasi itu ada 4 kondisi, yaitu:
- tanpa reklamasi dan GSW
- fase A, ketika pulau-pulau reklamasi dibangun
- ketika Giant Sea Wall dibangun, dan reservoir barat ditutup
- ketika reservoir timur ditutup

Yang diukur adalah kandungan nitrogen, fosfor, dan DEET (N,N-diethyl-m- toluamide, a molecular tracer for municipal waste water).

Hasilnya? Lihat gambar sendiri. Semakin merah warnanya, semakin besar kandungannya. Merah banget? Artinya itu udah jauuuuuh di atas ambang batas.

 

Akibatnya?

Makin banyak kandungan limbah di atas, maka akan muncul disaster... algae blooms... Air jadi hijau, penuh algae, ikan mati, air bau.. persis comberan. Tapi ini raksasa.

Itu terjadi kalau limbah dari sungai tidak diolah dengan baik sebelumnya. Namun, menurut paper tersebut, teknik pengolahan limbah paling canggih pun paling state of the art, hanya mampu mencapai 80% efisiensi.

Artinya? Limbah masih tetap lewat ke teluk, terakumulasi. Dan karena tidak bisa keluar dari GSW dengna kecepatan super besar, maka akan bertambah terus dan terus. Dan akan tetap meningkatkan kadar benda-benda di atas.

Kalau sudah begitu, 170 triliun kontribusi buat DKI tidak ada artinya. Ongkos operasional, pembersihan, maintenance, belum termasuk kerugian ekosistem, nelayan, ekonomi, dll.. jauuuuh lebih besar dari itu.

 

(lihat gambar terakhir, dari konsep NCICD, dimana air harus dibuang ke laut pake pompa raksasa, namun air di dalam GSW tidak dicuci)

Kalau sudah begitu, 170 triliun kontribusi buat DKI tidak ada artinya. Ongkos operasional, pembersihan, maintenance, belum termasuk kerugian ekosistem, nelayan, ekonomi, dll

KESIMPULAN

Kita mau ambil resiko ini? Siapa yang rugi? Siapa yang untung?

SOLUSI LAIN APA?

Resiko paling kecil adalah kondisi (a), tanpa reklamasi dan tanpa GSW. Tapi Jakarta kan turun terus daratannya? Solusinya apa?

Lihat di PPT hasil kajian Dr Muin. Cocok dengan paper ini. Kondisi (a) yang dipilih, dengan memasang tanggul di sepanjang pantai.

KONSEP NCICD

Gambar yang saya sertakan di bagian akhir adalah dari konsep NCICD, dengan keterangan tambah dari Dr. Muslim Muin.

Tampak bahwa air di dalam GSW (outer seawall), sebenarnya air kotor dari buangan 13 sungai. Air ini tidak dicuci. Kalau tanpa GSW, secara alamiah air dicuci oleh arus laut, sehingga secara alamiah akan bersih. Air kotor tersebut bertambah terus menerus, yg mengakibatkan teluk jakarta menjadi comberan raksasa.

Ini berbeda dengan konsep NCICD, yang mengatakan bahwa air ini 'fresh water', sumber air minum bagi penduduk Jakarta. Sebaliknya, hasil simulasi di atas berbeda 180 derajat dengan klaim NCICD ini, bahwa air ini lama-lama memiliki tingkat nitrogen, forfor, dan DEET yang luar biasa tinggi, di atas ambang batas aman. Bukannya jadi sumber air minum, malah mengalami 'algae blooms', hijau dan bau serta mematikan.

Lihat juga pompa raksasa yang harus membuang air dibalik GSW ke laut lepas. kalau pompa mati, jakarta akan tenggelam. Kalau dipompa terus, teluk jakarta akan kehabisan air, sehingga jadi kering.

Kalau air teluk jadi kering, PLTU Muara Karang akan mati, kekurangan air, shg harus dipindahkan.

Coba hitung berapa besar ongkos yang harus dibayar untuk mengoperasikan GSW ini, dan berapa kerugian yang ditimbulkan?

bersambung... 


latestnews

View Full Version