Oleh:
Tony Rosyid*
PARTAI Bulan Bintang (PBB) porak poranda. Partai gurem ini dilanda tsunami setelah tanggal 27 Januari 2019 memutuskan mendukung incumben. Sebagian kadernya mundur dari caleg dan keanggotaan. Sebagian yang lain mencoba melakukan kudeta. Munaslub.
Sebelumnya, partai reinkarnasi Masyumi ini sempat membaik. Elektabilitasnya merangkak naik. Sempat tembus 2%. Peluang untuk bangkit ada. Ini diantaranya karena faktor solidnya kekuatan umat, dan PBB ikut berlayar di dalamnya. Berbagai pernyataan Yusril, ketum PBB, menegaskan bahwa “PBB akan jadi leader oposisi.”
Lebih dari itu, Yusril pun sering menyindir presiden dalam berbagai ucapannya. “Orang di luar negeri tidak tahu siapa KPK, siapa Jaksa. Yang tahu presidennya goblok”. Itulah salah satu sindiran pedas Yusril kepada penguasa.
Ketegasan Yusril disambut umat. Karena “keputusan” ini, sebagian tokoh umat bersedia jadi caleg PBB. Sebagian diantaranya adalah aktifis FPI. Bahkan Habib Rizieq, pendiri FPI ini, juga menyerukan anggotanya untuk memenangkan PBB.
PBB yang di beberapa periode sebelumnya terpuruk karena tak mencapai target elektoral threeshold mulai terbuka peluang. Umat mulai mengapresiasi dan ektabilitasnya merambat naik. Tapi sayang. Yusril berbalik wajah dari umat. Yusril berubah haluan dan memilih jadi pembela penguasa. Umat kecewa.
Kecewa, sebab mereka bersedia bergabung dengan PBB karena ketegasan posisinya sebagai oposisi. Bukan sebagai pendukung penguasa. Nyesal? Pasti! Ketika tawaran dari partai lain mereka tolak, lalu milih PBB, eh…malah “dikhianati”. Tepatnya merasa “dikhianati”.
Apakah kekecewaan umat akan berpengaruh terhadap elektabilitas PBB? Banyak pengamat memprediksi, suara PBB akan tergerus kembali. Capaian 2% saat ini tak akan mampu dipertahankan. Malah akan cenderung turun.
Analisis para pengamat itu logis. Sebagai perbandingan saja. TGB saat branding sebagai bakal capres dari umat (oposisi), elektabilitasnya terus merangkak naik. Umat saweran, berbondong-bondong jadi relawan dan konsultan gratis untuknya. Berawal dari 0, sekian persen, tembus 2,5% di bulan April 2018. Tapi, ketika TGB dukung penguasa, elektabilitasnya turun bebas. Di bulan Juli hanya tersisa 0,2% (Survei Median).
Membayangkan PBB bisa dapat 4%, apalagi 6% sebagaimana khayalan Yusril, memang sangat berat. Situasi inilah yang membuat sebagian besar kader PBB frustasi. Sebagian mereka tetap jadi caleg, tapi tak aktif. Sebagian lagi mundur. Sebagian lainnya berencana melakukan kudeta.
“Yang mundur kan cuma 80 caleg dari 15.000 caleg PBB”, kata Yusril menganggap kecil. Betul, 80 caleg yang berani menyatakan konfrontasi. Yang diam tapi mendukung mereka? Yang silent protes? Seperti demo. Yang ikut dan berangkat demo 212 cuma 7 juta. Tapi yang ingin ganti presiden lebih dari 47% rakyat Indonesia. Lebih besar dari yang ingin tetap Jokowi presiden. Inilah teori representasi. Nampaknya Yusril tak menyadarinya.
Diantara yang ingin melakukan kudeta adalah Habib Muchsin Alatas, caleg dapil Jabar VI (Bekasi-Depok) dan Irfianda Abidin, caleg DPR Dapil I Sumbar.
Mereka menganggap kudeta adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan PBB. Yusril turun, ganti tokoh lain, lalu kembali ke posisi semula sebagai oposisi. Ini lebih memiliki harapan dan menjanjikan. Apalagi jika pengganti Yusril adalah Habib Rizieq. Maka, harapan PBB mendapatkan 4% suara akan sangat besar. Boleh jadi, di bawah kepemimpinan Habib Rizieq, PBB bisa bersaing suaranya dengan PKS dan PAN. Tak menutup kemungkinan.
Saat ini, pengaruh Habib Rizieq sedang naik daun. Pendiri FPI ini menjadi icon yang merepresentasikan seluruh perlawanan terhadap penguasa. Habib Rizieq adalah rising star di pilpres 2019 ini. Suka tidak suka, itulah faktanya. Apalagi jika Bachtiar Nasir, orator dan ustaz ahli strategi ini bersama seluruh jaringan nasionalnya ikut bergabung, akan semakin memberi harapan baru buat PBB.
Mengganti Yusril dengan Habib Rizieq adalah langkah sangat cerdas. Pas sekali momentumnya. Jika ini benar terjadi, maka akan terjadi konsolidasi umat besar-besaran. Suasana heroisme perlawanan akan semakin terstruktur.
Untuk mengkudeta Yusril, ada dua langkah berat yang harus dihadapi. Pertama, memastikan kekuatan Anti-Yusril (AYu) harus lebih besar. Dan yang kedua, ini yang paling berat, yaitu mendapatkan legalitas. Sebab, ini otoritasnya ada di tangan penguasa. Dalam hal ini adalah Kemenkumham.
Meski punya kekuatan kader dan menang dalam munaslub, tetap saja tidak mudah untuk mendapatkan legalitas dari Kemenkumham. Ingat nasib PPP sekarang? Untuk mempertahankan legalitas, tak ada pilihan politik kecuali dukung penguasa.
Langkah dan manuver kudeta terhadap Yusril, seandainya pun gagal, akan menjadi memori penting pasca pilpres 17 April nanti. Jika incumben kalah dan presiden ganti, maka siapapun ketua partai Islam pendukung penguasa, terancam dikudeta. Besar kemungkinan akan terjadi suksesi di PKB, PPP dan PBB. Suksesi adalah salah satu bagian dari strategi partai-partai Islam ini bisa bergabung dengan pemenang pilpres 2019. Kok bergabung? Pertama, jadi oposisi itu susah, miskin dan melelahkan. Kedua, presiden, siapapun ia, selalu ingin aman di parlemen. Caranya, ajak gabung semua partai, agar kerja pemerintahan stabil dari gangguan oposisi. Gayung bersambut.
Kecuali jika para pimpinan partai Islam yang sekarang ini berhasil merapat ke presiden baru. Gak malu? Di dunia politik, rasa malu tak berlaku! Kendati tak mudah bagi presiden baru menerima pemimpin stok lama. Loyalitasnya, gak bisa dipercaya!
Tapi, jika kudeta kepada Yusril sukses, besar kemungkinan PBB akan bisa diselamatkan. Terutama jika tokoh yang menggantikan Yusril punya massa dan pengaruh besar seperti Habib Rizieq. Tidak hanya selamat, PBB bahkan kemungkinan bisa bersaing dengan PAN dan PKS.
Jakarta, 31/1/2019
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa