View Full Version
Jum'at, 22 Feb 2019

Kesakralan ‘Sajadah Bekas’

 

Oleh:

Asyari Usman*

 

DI TENGAH hiruk-pikuk debat capres, ada satu peristiwa yang memilukukan, yang membangkitkan murka sabilillah, dan yang harus menjadi pelajaran pahit dan komprehensif bagi kaum muslimin. Peristiwa itu ialah penginjak-injakan sajadah oleh para pejoget kurang aj*r, para pejoget bi*dab. Salah seorang pejoget bi*dab itu adalah Doddy Akhmadsyah Matondang (DKM). Dia adalah caleg PDIP untuk DPRD DKI dari dapil 9.

Peristiwa joget yang menyakitkan hati itu terjadi pada Ahad pagi, 17 Februari 2019, di depan sebuah musholla. Mereka sebut itu senam pagi.

Saya melakukan konfirmasi ke pengurus musholla, Pak Banras Affandi. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu kegiatan itu. Dia sedang tidak ada di rumahnya. Dikatakannya, para pelaksana acara joget dan para pejoget mengambil sendiri sajadah bekas itu tanpa izin pengurus musholla.

Luar biasa kelakuan mereka. Para pejoget ini, termasuk beberapa wanita yang berpakaian ketat dan bersepatu trainer, beralasan bahwa sajadah yang mereka injak-injak sambil berjoget itu adalah sajadah bekas. Sudah tidak dipakai lagi. Pak Barnas membenarkan sajadah itu bekas.

Tetapi, jangan lupa bahwa sajadah bekas itu kemungkinan sudah disujudi puluhan ribu kali. Karena sudah dipakai belasan tahun. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sudah ribuan orang yang berdiri, ruku’ dan sujud di atas sajadah-sajadah yang dinjak-joget oleh para pejoget bi*dab itu.

Doddy Akhmadsyah Matondang sudah menyampaikan perminataan maaf lewat rekaman video. Boleh saja. Mungkin pantas juga diterima. Tetapi, kelakuan dia yang sangat menyakitkan itu harus tetap diproses berdasarkan hukum pidana penghinaan agama. Penghinaan fasilitas ibadah. Meskipun sajadah itu tidak dipakai lagi.

Sajadah itu memang tidak sesuci al-Quran. Tetapi, perbuatan joget di bawah suasana gembira-ria dengan menginjak-injak sajadah, meskipun bekas, sangat mencederai perasaan umat.

Bagi orang yang ‘tidak tersambung’ dengan sajadah, boleh jadi sulit memahami ‘kesakralan’ sajadah. Termasuk sajadah bekas. Di dalam rumah ibadah, sajadah memang setiap hari ‘dipijak’ oleh para jemaah masjid atau musholla. Tetapi, ‘dipijak’ sangat berbeda dengan ‘diinjak-injak’. Apalagi ‘diinjak-injak’ dalam suasana joget. Untuk ini, tidak ada tafsiran lain kecuali penghinaan.

Sajadah bekas itu memang mengalami degradasi. Tetapi, bukan degradasi kesakralannya. Hanya degradasi fisik. Misalnya, rusak atau koyak pertanda sudah lama dipakai. Dalam arti, sajadah yang diletakkan di luar Musholla Nurul Iman di Jalan Nurul Amal itu, dirasakan kurang nyaman bagi para jemaah. Sehingga perlu diganti dengan yang baru. Bekalangan ini, banyak masjid dan musholla yang mengganti sajadah dengan ukuran sujud yang lebih panjang.

Bagi kaum muslimin, sajadah bekas tidak sama dengan pakaian bekas. Tidak serupa dengan mobil bekas. Sekalipun mobil merk mewah.

Sajadah bekas tidak masalah kalau “disepelekan”. Tapi, bukan disepelekan sampai dijadikan alas untuk berjoget ria. Bukan disepelekan untuk fungsi-fungsi yang sifatnya ‘najas’. Yakni, dalam kaitan dengan kekotoran. Atau disepelekan di dalam suasana ‘immoral’, suasana maksiat. Tidak bisa diterima kalau sajadah bekas disepelekan dalam konteks seperti ini.

Boleh-boleh saja sajadah diletakkan di luar masjid atau musholla. Atau bahkan diletakkan ditumpukan sampah yang tidak bernajis. Misalnya, sampah bangunan.

Sebagai seorang caleg yang memiliki wawasan yang luas, apalagi seorang muslim, Doddy Akhmadsyah seharusnya menengerti kesakralan sajadah. Termasuk sajadah bekas. Dia tidak punya alasan untuk mengatakan ‘tak sengaja’ melakukan joget injak-injak sajadah.

Karena itu, kita meminta agar pimpinan PDIP mengambil tindakan tegas dengan mendiskualifikasikan Doddy Akhmadsyah dari pencalegan. PDIP harus melakukan ini mengingat Partai Banteng sering dijuluki sebagai partai penista agama. Selain itu, pimpinan PDIP tampaknya perlu meningkatkan pemahaman tentang Islam di kalangan mereka. Perlu juga mempertajam sensitivitas.

Kita yakin, pimpinan dan para politisi PDIP pastilah tidak ingin partai ini disebut sebagai ‘sarang penista agama’. Juga pastilah mereka tak berkenan mendengar yel-yel yang berbunyi ‘Tenggelamkan PDIP”.

Kita juga meminta agar Bawaslu di semua level melakukan pengusutan terhadap acara joget ini. Kuat dugaan, Doddy Akhmadsyah melakukan pelanggaran pidana pemilu.

*Penulis adalah wartawan senior

 


latestnews

View Full Version