Oleh:
Hersubeno Arief, Konsultan media dan politik
HARI INI, Kamis (28/2) Ratna Sarumpaet akan menjalani sidang perdana. Kasus ini sempat membuat heboh ketika Ratna pada awal Oktober tahun lalu mengaku dipukuli sejumlah orang di Bandara Husein Sastranegara Bandung.
Bagaimana jalannya sidang? Dan bagaimana nasib Ratna? Sebenarnya sudah bisa ditebak. Sehari sebelum sidang berlangsung Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Supardi sudah menyatakan 1.000 persen Ratna bersalah.
“Kalau yang namanya sudah mendakwakan orang ya keyakinan saya bukan 100 persen lagi (dipenjara). Malahan 1.000 persen. Ya iyalah, artinya sudah memenuhin unsur. Ada perbuatan, ada pasal, masuk (penjara) kan gitu,” jelasnya.
Bagaimana mungkin seorang hakim sudah memastikan seorang terdakwa bersalah, sebelum memeriksa fakta-fakta hukum di persidangan? Kalau memang sudah pasti 1.000 persen bersalah, seharusnya tidak perlu lagi ada persidangan. Tinggal ketok palu!
Jelas sudah, Ratna memang menjadi target. Dia sudah divonis bersalah oleh hakim, sebelum persidangan. Bisa disimpulkan persidangan terhadap Ratna hanya formalitas. Sebuah panggung drama, lebih tepatnya serial telenovela yang dipersiapkan untuk kepentingan kampanye Pilpres.
Beberapa orang produser stasiun televisi mengaku sudah diminta menyiapkan siaran langsung untuk sidang Ratna. Namun ternyata dilarang. Mereka tetap boleh meliput, tapi tidak siaran langsung.
Persidangan akan digeber supaya bisa selesai sebelum hari pencoblosan. Jadi setiap hari media akan mendapat bahan segar untuk menggoreng isu ini.
Di beberapa group media sosial pendukung paslon 01 para buzzer sudah diminta bersiap-siap menyambut “pesta kemenangan.” Gak perlu kaget bila media dan media sosial akan banjir berita persidangan Ratna. Kubu pendukung paslon 01 akan gas puuoolll isu ini.
Mengapa aparat penegak hukum menjadikan Ratna sebagai target? Dia bukanlah target sebenarnya. Dia hanya sasaran antara. Target sesungguhnya adalah paslon 02 Prabowo-Sandi dan para pendukungnya.
Targetnya juga bukan hukum. Tapi opini publik. Seperti dikatakan oleh pakar hukum pidana dari UII Yogyakarta, kasus Ratna sangat sulit untuk dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
“Kalau temanya berita bohong itu melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana Hukum. Itu harus ada akibatnya, yaitu terjadi keonaran dalam masyarakat. Yang ribut hanya di sosial media,” ujar Mudzakir.
Kalau pasalnya soal penipuan, seharusnya yang mengadu kepolisi adalah Prabowo. Sebab akibat pengakuan bohong Ratna yang menjadi korban dan sangat dirugikan adalah Prabowo. Dia sampai harus menggelar jumpa pers mengakui bersalah tidak melakukan cek dan ricek menanggapi pengakuan Ratna.
Sejumlah aktivis juga merasa ditipu Ratna sempat mengadukannya ke polisi. Namun sampai sekarang laporan tersebut tidak diproses. Ketika Ratna mengaku dipukuli, ratusan aktivis dipimpin oleh Hariman Siregar menggalang dukungan dan meminta polisi mengungkap kasus tersebut. Belakangan baru menyadari, seperti halnya Prabowo, mereka adalah korban penipuan Ratna.
Adu kuat labeling dengan fakta
Dengan bisa ditebaknya jalannya persidangan, sebenarnya kita tinggal menikmati adu kuat perang opini antara pendukung paslon 01 dan 02.
Pendukung paslon 01 akan mengamplifikasi persidangan Ratna, bahwa paslon 02 adalah Raja Hoax. Sebaliknya pendukung paslon 02 harus bisa membantah dan membuktikan sebaliknya.
Sudah sejak lama kubu paslon 01 menerapkan strategi membangun persepsi publik bahwa paslon 02 adalah Raja Hoax. Seperti kata mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli kubu paslon 01 sudah punya standard operating procedure (SOP) soal ini.
Pertama, modal utamanya adalah ngotot. Meskipun tidak punya dan tidak didukung dengan data, harus tetap ngotot. Apapun risikonya.
Kedua, harus dimintakan apa saja data-data, dan fakta di lapangan dari mereka yang tidak mendukung Jokowi tersebut
Ketiga, kalo dijawab dengan diberikan data-data dan fakta yang merugikan Jokowi, maka data tersebut harus dibilang hoax. Jangan keluarkan kata apapun dalam menghadapi data-data dan fakta lapangan, kecuali cepat-cepat bilang HOAX
Keempat, kalo ngotot tidak kuat. Minta data-data dan fakta lapangan juga tidak kuat. Setelah itu dibilang HOAX juga tidak kuat, maka langkah selanjutnya adalah laporkan saja ke polisi.
Strategi ini diterapkan secara konsisten, mulai dari buzzer kelas coro sampai Jokowi. Mereka menuding kubu Prabowo menerapkan strategi firehouse of falsehood. Jokowi menyebutnya sebagai Propaganda Rusia. Sebuah strategi terus menerus menebarkan kebohongan dan ketakutan ke masyarakat.
Sejumlah pendukung paslon 02 juga sudah jatuh menjadi korban. Mereka dilaporkan ke polisi dan kemudian di bawa ke pengadilan. Salah satunya yang paling menonjol adalah kasus Ahmad Dhani. Musisi jenius itu malah sudah dijebloskan ke penjara sebelum kasusnya mempunyai kekuatan hukum tetap. Dia juga sudah menjalani persidangan kasus lain di Surabaya.
Apakah persidangan Ratna bisa jadi senjata untuk memperkuat opini publik yang coba dibangun kubu paslon 01? Melihat fakta-fakta dan arus opini publik nampaknya sangat sulit. Namun bukan tidak mungkin. Dengan kekuatan media, mereka pasti akan mencoba memaksakan agenda tersebut sekuat tenaga.
Sejauh ini kubu paslon 02 berada di atas angin. Kubu paslon 01 sedang kedodoran. Terungkap banyak fakta dan data justru kubu 01 yang paling banyak mengumbar hoax.
Debat kedua antar-capres menjadi sebuah panggung besar terungkapnya kebohongan itu. Sejumlah LSM dan media massa mengungkap klaim keberhasilan pembangunan Jokowi tidak sesuai fakta.
Para pembantu dekat Jokowi juga membantah berbagai klaim yang dia sampaikan. Wapres Jusuf Kalla memaparkan fakta tentang kepemilikan tanah Prabowo. Pernyataan Kalla sangat memukul Jokowi, karena faktanya sangat jauh berbeda. Jokowi menyerang secara pribadi dan sedang mencoba menggambarkan Prabowo sebagai orang kaya yang jahat. Kalla justru mengungkap Prabowo adalah pahlawan.
Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Mayjen TNI Maruli Simanjuntak dan Kepala Staf Kepresiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko juga ikut menelanjangi Jokowi.
Pada debat kedua Jokowi menceritakan sebuah peristiwa heroik. Dia berkunjung tengah malam ke kampung nelayan di Tambak Lorok, Semarang hanya berdua sopir pribadi. Ternyata sopir pribadinya adalah Maruli. Moeldoko juga menyebut anggota Paspampres disebar sepanjang lokasi kunjungan Jokowi.
Batal lah pencitraan Jokowi yang coba digambarkan seperti seorang penguasa Islam yang hebat, Kahlifah Umar Bin Khattab. Sahabat Nabi Muhammad ini dalam sejarah dikenal sebagai seorang penguasa yang adil dan tegas. Dia juga dekat dengan rakyat. Khalifah Umar sering berkeliling malam hari tanpa pengawalan untuk memahami masalah rakyat yang dipimpinnya.
Dalam beberapa hari terakhir para pembantu dekat Jokowi juga membuat blunder besar. Menakertrans Hanif Dakhiri menyebut berita tenaga kerja asal Cina di Cianjur, Jabar memiliki e-KTP, sebagai hoax.
“Super hoaks itu. Itu editan. Saya sudah dapat informasi itu editan. Saya sudah melakukan cross-check,” ujarnya.
Bagaimana faktanya? Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Cianjur mengakui benar ada sejumlah TKA Cina yang memiliki e-KTP. Kemenkumham dan Kemendagri juga mengakui bahwa WNA memang berhak memiliki e-KTP. Hal itu sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun menyusul keributan itu Depdagri akan menghentikan sementara sampai setelah pemilu.
Menteri segala urusan Luhut Panjaitan juga membantah data Prabowo bahwa dana orang Indonesia yang diparkir di luar negeri sangat besar, mencapai Rp 11.000 triliun. “Hebat banget! Saya gak tahu. Akan saya cek. Tapi nggak mungkinlah, itu angka yang sangat fantastis,” kata Luhut.
Faktanya? Situs resmi kantor Sekretaris Kabinet setkab.go.id edisi 25 November 2016 memuat pernyataan Jokowi soal dana parkir itu. Jumlahnya persis seperti dinyatakan Prabowo. Kurang lebih Rp 11.000 triliun.
“Datanya saya ada di kantong saya ada. Yang hadir di sini saya hapal satu, dua masih nyimpan di sana, masih. Wong namanya ada di kantong saya,” kata Jokowi saat menghadiri acara sosialisasi program pengampunan pajak atau tax amnesty, di Hotel Clarion, Makasar, Sulsel, Jumat (25/11/2016) malam.
Banyaknya kesalahan dan overclaimed data dan fakta yang dilakukan Jokowi, serta blunder-blunder yang dilakukan para pembantunya akan menyulitkan mereka untuk membangun opini bahwa kubu palson 02 sebagai penyebar hoax. Fakta dan data membuktikan justru sebaliknya. Kubu paslon 01 lah yang banyak menyebar hoax, termasuk Jokowi.
Tak salah bila Rocky Gerung menyebut istana adalah pembuat hoax terbaik. Tak salah pula bila kubu paslon 02 sering menyebut, kubu paslon 01 menerapkan strategi “Maling Teriak Maling.”
Seperti gerombolan pencopet yang kepergok, mereka mencoba berteriak ada pencopet untuk mencari kesempatan melarikan diri dan mengalihkan sasaran. Namun warga di sekitar sudah hapal dengan kelakukan gerombolan ini. Mereka sudah waspada dan tidak akan terpedaya.
Repot khan? End