Oleh:
Asyari Usman*
SETELAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai 180 juta plus 30 ribu USD dari laci meja kerja Lukman Hakim Saifuddin (LHS), secara otomatis saldo moralitas beliau sebagai menteri agama tidak ada lagi. Menjadi nol. Penyitaan ini mungkin masih bisa diperdebatkan apakah terkait dengan kasus korupsi di Kemenag atau tidak. Tetapi, temuan KPK itu tidak akan pernah diakui publik sebagai sesuatu yang “innocent” (tanpa dosa).
Karena itu, sangat tak bisa dipahami kalau LHS beratahan atau dipertahankan sebagai menteri agama. Dia menjadi tidak berwibawa lagi, di mata siapa pun juga. Mengapa? Karena LHS tidak akan pernah bisa memberikan penjelasan yang akan diterima publik tentang status uang tunai itu.
Mari kita tanya langsung di sini. Untuk apa uang tunai segitu banyak di dalam laci meja kerja Anda, Pak Lukman? Kalau Anda jawab untuk operasional, apakah begitu cara Kemenag dikelola? Atau, apakah Anda sedang menjaga superstore besar sehingga perlu ada duit di laci sejumlah itu?
Tak terbayangkan bagaimana Pak Lukman bisa menjelaskan status uang tunai tsb. Tak bisa dibayangkan karena memang tidak ada jawaban yang masuk akal.
Coba kita buatkan simulasi tentang asal-usul duit yang disita KPK itu. Pertama, kita sebut saja uang itu adalah hasil penjualan benda bergerak atau benda tak bergerak milik Pak Menteri. Misalnya, beliau baru saja menjual mobil. Katakanlah merk Kijang Innova. Harganya 180 juta rupiah.
Pertanyaannya, apakah Pak Lukman masih punya waktu (apalagi di musim kampanye ini) untuk menjual mobil dan bertransaksi? Apa wajar seorang menteri harus menjual sendiri mobil pribadinya? Tidak ada yang bisa dimintai tolong? Terus, apakah wajar pembeli menyerahkan duit harga mobil langsung kepada LHS di kantornya, kemudian dimasukkan ke dalam laci?
Kedua, bagaimana dengan dollar sebanyak 30,000 itu? Mau kita sebut hasil penjualan benda apa, kira-kira? Yang agak masuk akal, mungkin, adalah penjualan benda antik kepada orang asing. Dia bayar dengan dollar. Penjelasan ini “boleh juga”. Tapi, akan ada pertanyaan susulan. Apakah Pak Lukman ‘nyambil’ sebagai pedagang barang antik? Kalau jawabannya ‘iya’, apakah wajar penyerahan uangnya dilakukan di kantor Pak Menteri?
Kemungkinan lain tentang dollar itu adalah sebagai persiapan untuk perjalanan ke luar negeri. Kalau ini jawabannya, orang akan bertanya: apakah perlu sebegitu besar dollar dalam bentuk tunai? Apakah seorang menteri masih harus menggunakan uang tunai dollar kalau bepergian ke luar negeri?
Ketiga, kita sebut saja uang tunai itu (rupiah dan dollar) adalah hadiah dari anak atau kerabat Pak Lukman. Hadiah murni. Halal dan boleh, tentunya. Dari seseorang yang bertalian kandung dengan LHS. Pertanyaannya, apakah hadiah itu harus diantarkan ke kantor Pak Menteri? Apakah hadiah itu harus tunai? Tidakkah bisa ditransfer saja ke rekening Pak Lukman?
Keempat, kita katakan saja uang itu titipan seseoang untuk disampaikan kepada seseorang lainnya. Skenario ini “halal juga”. Tapi, apakah iya Pak Menteri tak punya cara lain untuk menerima atau menolak titipan itu, mengingat beliau adalah pejabat yang sangat padat jadwal?
Kelima, kita sebut saja uang itu sebagai “duit siluman”. Nah, ini baru sangat masuk akal. Dan, karena itulah KPK menjadi berkepentingan untuk menyita uang yang ditemukan di laci meja kerja Pak Lukman itu. Karena KPK, untuk sementara ini, tidak bisa menerima empat penjelasan terdahulu.
Walhasil, penjelasan nomor lima di atas membuat Pak LHS kini berubah menjadi “beban moral” bagi Pak Jokowi. Beban ini akan menambah rumit posisi petahana di tengah elektabilitas beliau yang semakin merosot.
Pak Jokowi hampir pasti berharap agar Pak Lukman meletakkan jabatannya. Sebab, Pak Jokowi tak akan sampai hati menerbitkan surat pemecatan.*Penulis adalah wartawan senior