Oleh:
Hersubeno Arief, Konsultan Median dan Politik
POLISI menangkap seorang anak muda asal Bogor, Jawa Barat. Dia mengancam akan memenggal kepala Presiden Jokowi seperti dilakukan oleh pelaku teror di Poso.
Ancaman tersebut dilontarkan ketika sang pemuda ikut hadir dalam unjukrasa memprotes kecurangan pilpres di Bawaslu Jumat (10/5). Videonya viral dan segera mengundang kontroversi.
Tindakan polisi sudah tepat. Ancaman terhadap nyawa dan keselamatan seorang kepala negara, harus direspon secara serius. Tidak boleh dianggap main-main.
Hanya masalahnya tak lama kemudian di media sosial muncul video seorang remaja yang melakukan ancaman serupa. Dia mengancam akan menembak dan memancung Presiden Jokowi.
Si remaja terlihat sangat serius dengan ancamannya. Ekspresi kemarahannya terlihat memuncak. Dia menenteng foto resmi Presiden Jokowi dan menantang polisi untuk menangkapnya.
Beda dengan si pemuda asal Bogor. Dia menyampaikannya dengan nada relatif datar. Di tengah kerumunan pengunjukrasa yang terlihat mengacung-acungkan salam dua jari.
Kepada polisi HS mengaku terbawa emosi. Bawa perasaan (baper) karena suasana heroik di antara pengunjukrasa. Seorang penakut bertemu penakut lainnya, menjadi dua orang pemberani. Begitulah psikologi kerumunan.
Video remaja yang mengancam akan membunuh Jokowi, adalah video lama. Setahun lalu. Peristiwanya juga terjadi pada bulan Mei 2018. Netizen nampaknya sengaja memunculkan kembali karena melihat ada perlakuan yang berbeda dalam menangani dua kasus yang sama.
Pada kasus HS, seperti dikatakan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono, polisi menjeratnya dengan pasal makar 104 KUHP. Ancamannya tidak main-main. Maksimal hukuman mati, atau penjara 20 tahun.
Selain itu, si pemuda yang namanya disebut berinisial HS itu terancam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sementara pada si remaja yang namanya juga disebut dengan inisial RJT, polisi memperlakukan berbeda. Sama-sama ditangkap. Namun si remaja kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke orang tuanya.
Alasan polisi, tindakan si remaja hanya untuk lucu-lucuan saja. Dia juga melakukan itu karena memenuhi tantangan seorang temannya. Mengetes polisi apakah bisa menangkapnya atau tidak.
Pertimbangan lain, si remaja masih di bawah umur. 16 tahun. Beda dengan si pemuda yang sudah berusia 24 tahun. Secara hukum bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Persamaan di muka hukum
Perbedaan perlakuan kepada HS dan RJT, di mata para netizen adalah bentuk ketidak-adilan. Tidak ada persamaan hukum ( equality before the law ).
Di tengah pembelahan masyarakat yang sangat tajam akibat pilpres, hal semacam itu bisa menjadi isu sensitif. Apalagi dalam kasus HS dia diduga merupakan pendukung Paslon 02. Pendukung oposisi. Sementara RJT kebetulan berasal dari etnis keturunan Cina.
Polisi harus sangat hati-hati menanganinya. Jangan sampai memperkuat stigma yang muncul, polisi tebang pilih dalam menangani berbagai kasus.
Sangat tegas dan responsif ketika menangani maupun memproses pelaporan terhadap kasus-kasus yang melibatkan pendukung oposisi. Sebaliknya lambat dan tidak merespon laporan yang melibatkan pendukung pemerintah. Polisi juga bisa dituding hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Polisi sebelumnya membatalkan kasus Ny Minurlin istri Letjen TNI (Purn) Agus Sutomo dan membatalkan pencekalan atas Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen.
Minurlin dilaporkan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin karena memasuki gudang KPU dan memprotes pemindahan kotak suara. Kivlan dilaporkan dengan dugaan makar.
Apakah pembatalan kasus Minurlin dan Kivlan karena latar belakang keduanya yang berkaitan erat dengan institusi militer. Atau benar seperti dikatakan polisi karena pelapor mencabut laporannya.
Agus Sutomo bukan orang sembarangan. Melihat latar belakangnya, dia seorang jagoan. Sebagai prajurit dari korps baret merah Kopassus, dia pernah menduduki jabatan penting dan prestisius.
Dia pernah menjadi Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres), Komandan Jenderal Korps Komando Pasukan Khusus ( Kopassus), dan Pangdam Jaya. Dia mengakhiri karirnya sebagai Irjen di Kementrian Pertahanan.
Di kalangan prajurit baret merah, Agus menjadi legenda karena keberanian dan kesediannya mengambil-alih tanggung jawab atas kesalahan anak buahnya. Sebuah perilaku yang belakangan ini jarang kita temukan di kalangan petinggi negara.
Pada bulan Maret 2013 sejumlah orang menyerbu Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Mereka menyerang dan membunuh narapidana pelaku pembunuhan Serka Heru Santoso. Belakangan diketahui pelakunya adalah prajurit Kopassus dari Group II Kartosuro.
Sebagai Danjen Kopassus Agus Sutomo menyatakan bertanggungjawab. “Semua (yang terlibat) itu bawahan saya, anak buah saya. Maka di Kopassus, saya orang yang terdepan yang paling bertanggung jawab,” tegasnya.
Sementara Kivlan Zen catatan prestasinya juga tak kalah mentereng. Walau jabatan tertingginya “hanya” sebagai Kepala Staf Kostrad TNI AD semasa Panglima Kostrad dijabat oleh Prabowo. Kivlan banyak terlbat dalam operasi militer dan dikenal sebagai negosiator handal pembebasan sandera.
Banyak pertanyaan yang muncul di benak publik tentang perbedaan penanganan beberapa kasus itu. Sebaiknya polisi tidak boleh membiarkan muncul dugaan-dugaan liar.
Situasi ini bisa menimbulkan perasaan tidak adanya keadilan ( percieve injustice ). Dalam jangka panjang bisa memunculkan sikap apriori dan tidak percaya kepada Polri sebagai penegak hukum.
Polisi menghadapi sebuah dilema. Antara penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Mana yang akan mereka pilih dan kedepankan.
Kasus HS akan menjadi salah satu ujian. Masyarakat bisa menyaksikannya dengan gamblang, apakah polisi memperlakukan secara sama, semua warga negara di mata hukum? Atau menerapkan perlakuan berbeda, baik karena latar belakang, maupun afiliasi politiknya.
Sesuai mottonya : Rastra Sewakotama, polisi adalah abdi utama bagi nusa dan bangsa. Bukan abdi sekelompok orang, atau golongan. Juga bukan abdi penguasa! end.**
Sumber: www.hersubenoarief.com