Oleh:
M Rizal Fadillah, pengamat politik
REKOR Muri untuk Bapak Makar bisa disematkan pada Bapak Wiranto. Bahkan bisa diusulkan kepada panitia Guinness Book of Record. Begitu mudahnya menuduh tokoh dan aktivis kritis dengan predikat "makar". Input asal asalan sehingga bacaan medsos pun disetarakan dengan laporan "confidential" intelijen. Baru saja medsos dibunuh dengan alasan banyak hoax eh kini malah diinput beritanya untuk menangkap orang dengan tuduhan makar.
Wiranto yang dulu simpatik kini antagonistik dan banyak mengundang antipati. Di intern partainya pun dihajar kader-kader yang kecewa. Dua Menteri dari Hanura diganti satu orang yakni Bapak Wiranto. Ketika dahulu disudutkan dunia sebagai pelanggar HAM rakyat Indonesia tak percaya. Wiranto orang baik. Sekarang terbukti ia menjadi algojo Pemerintah. Teman berkata Wiranto "su"ul khotimah" akhir yang jelek. Gaya dan ucapannya makin bengis. Ancamannya menghambur. Makar..makar.
Makar itu adalah gerakan untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah. Sedangkan usulan atau petisi atau kritik setajam apa pun bukanlah makar. Minta Presiden mengundurkan diri bukan pula makar. Aksi unjuk rasa seperti 21-22 Mei jauh dari makar, isu nya pun kecurangan KPU. Menurut KBBI makar mengandung makna 1. akal busuk; tipu muslihat 2. perbuatan (usaha) dengan maksud menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya 3. perbuatan (usaha) untuk menjatuhkan pemerintah yang sah.
Makar bermakna buruk yang secara politik elemen utamanya adalah perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Secara hukum dapat dilihat dalam Pasal 107 KUHP ayat 1 "makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah". Menurut Pasal 87 KUHP adanya makar unsurnya harus ada "niat" dan "permulaan pelaksanaan". Hanya bicara atau pidato bukan unsur makar.
Dengan dasar seperti ini kasus Kivlan Zein (sebelum digeser jadi pemilikan senjata ilegal), Eggy Sudjana, Lieus Sungkharisma, Rafdinal, ataupun Zulkarnaen bukanlah perbuatan makar. Demikian juga pidato Mualeem tokoh Aceh yang mengangkat masalah referendum.
Soal pemilikan senjata yang dituduhkan pada Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan Mayjen (Purn) Sunarko jelas mengada ada. Teliti pula dong kubu sendiri seperti para "jagoan" yang ribut mau dibunuh Budi Gunawan, Gories Mere, Luhut dan Wiranto apakah tidak punya senjata ? Juga Hendro dan Moeldoko.
Sebagai spesialis makar "dosa" Wiranto jadinya dibongkar bongkar. Kasus penyerangan PDI 96, tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi, penculikan Mahasiswa 98, korban Pamswakarsa, maupun Biak berdarah. PBB pun menggelari Wiranto sebagai pelanggar HAM. Dibalik wajah "tanpa dosa" nya ternyata Wiranto memendam kebrutalan. Apakah peristiwa 22 Mei juga ada andil dari buah tangannya ? Misteri masih terus dikuak. Tapi umbaran makar pasca tragedi 22 Mei ini mengindikasi dugaan "maling teriak maling". Wiranto dan mulut rezim lain mulai teriak ke arah Fadli Zon, Amien Rais, hingga Prabowo.
Negara ini menjadi panas dan gawat di samping soal Jokowi penyebabnya juga Wiranto sang "pengawal". Peluru makar terus ditembakan ke mana mana dan ke siapa siapa. Kata Joyoboyo ini zaman edan. Yang gila berkuasa. Yang milih dikotak suara juga orang gila. Kotaknya juga gila, dari kardus. Rakyat yang ingin mengambil hak kedaulatannya disebut makar. Sebagai orang sehat seharus bukan teriak makar makar tapi mikir mikiiiir..! Bapak harus berfikir.*